Impor Beras dan Likuiditas Surplus

OPINIJATENG – Salah satu topik yang cukup hangat di setengah bulan penghujung tahun ini adalah diambilnya kebijakan impor beras oleh pemerintah. 500 ribu ton beras akan didatangkan dari luar negeri di akhir tahun ini hingga jelang panen raya, yang diperkirakan terjadi di awal tahun depan. Kebijakan ini dilakukan dengan alibi dasar oleh stok beras yang ada di Bulog dirasa tidak cukup ketika harus menghadapi perayaan Natal dan tahun baru yang biasanya terjadi lonjakan harga beberapa komoditas di pasar, tak terkecuali beras.
Apalagi diketahui bahwa sedikit saja flutuasi harga yang terjadi pada komoditas beras maka akan mampu menggoyang secara signifikan besaran angka inflasi. Karena memang nilai konsumsi dari komoditas ini menjadi penyumbang terbesar pada penghitungan inflasi oleh tingginya ketergantungan masyarakat kita pada beras. Inflasi yoy hingga November yang sudah cukup tinggi dengan 5,42 oleh sebab kenaikan harga beberapa bulan yang lalu tidak ingin diperparah oleh naiknya harga beras. Kemungkinan daya beli masyarakat semakin rendah. Oleh karenanya kepastian suplay beras di tengah masyarakat, terutama pasar menjadi penting untuk mempertahankan stabilitas harganya.
Harapan terserapnya hasil panen masyarakat oleh bulog sebesar 500 ribu ton diakhir tahun ini ternyata jauh panggang dari api. Hanya kurang dari 20 persen saja dari target tersebut mampu diserap. Cadangan beras per bulan mulai Agustus tahun ini menunjukkan tren yang semakin menurun. Akhir tahun yang diharapkan sebesar 1,2 juta ton hanya terpenuhi kurang lebih 40 persennya saja. Dari jumlah tersebut sekira 60 persennya merupakan cadangan pemerintah dan 40 persennya beras komersial. Maka menjadi hal yang logis ketika kekurangannya untuk segera dapat dipenuhi yang jalan instannya adalah melalui skema impor.
BACA JUGA: Game BPS AGRI Cara Jitu Gandeng Milenial Sosialisasi ST 2023
Disayangkan
Kebijakan tersebut oleh beberapa pihak perpandangan sangat disayangkan. Di beberapa kali kesempatan yang langsung penulis temui ketika mengikuti beberapa kesempatan FGD atau semacamnya akhir-akhir ini. Beberapa pembicara, mulai dari perwakilan petani, anggota dewan dan akademisi mengemukakan tersebut, dimana ketika data yang dirilis menunjukkan kondisi perberasan nasional yang mengalami surplus justru kebijakan impor ditempuh.
Data produksi beras yang dirilis pemerintah menurutnya pantas untuk dipertanyakan. Atau juga muncul kecurigaan terjadinya dualisme data produksi beras di antar lembaga pemerintah sendiri. Hingga isu ini berimbas pada ranah politis dimana presiden dituntut seorang senator senior untuk mengevaluasi kinerja kementerian terkait oleh sebab yang bersangkutan berseberangan politik dengannya.
Data yang disampaikan BPS menjadi acuan bagi pemerintah khususnya Kementerian Pertanian sebagai satu-satunya data produksi beras nasional. Deputi Bidang Statistik Produksi-BPS saat webinar ICMI Talk “Polemik Impor Beras di Akhir Tahun” (Selasa, 27/12/2022) menyampaikan bahwa hasil penghitungan dari pengukuran lapangan melalui metode KSA (Kerangka Sampling Area) yang dilakukan BPS, produksi beras nasional tahun ini sebesar 31,94 juta ton. Ini merupakan konversi 55,44 juta ton gabah kering giling yang dihasilkan selama sebelas bulan pertama dan potensi satu bulan terakhir.
Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebanyak 580 ribu ton atau 1,86 persen dibandingkan produksi beras di 2021 yang sebesar 31,36 juta ton. Setelah dikurangi dengan kebutuhan konsumsi langsung maupun tak langsung, maka terjadi surplus hingga 1,74 juta ton. Artinya secara nasional terjadi kondisi swasembada beras karena 100 persen dapat dipenuhi dari produksi sendiri.
Kondisi ini menjadi alasan bagi beberapa pihak yang berpendapat terjadi keanehan ketika produksi berlebihan dari kebutuhan tetapi mengapa harus melakukan impor. Bahkan menurutnya justru dari kondisi tersebut memungkinkan untuk melakukan ekspor.
Hasil Survei Stok
Pada kenyataannya tidak serta merta kondisi yang ada diatas kertas, begitu pula yang terjadi di lapangan. Seperti yang dianggap banyak pihak yang mempertanyakan dimana barang sebanyak 1,7 juta ton itu berada. Jangan-jangan hanya ilusi saja. Jika sejumlah tersebut riil barangnya ada maka cadangan pemerintah sebanyak 1,2 juta ton akan dengan mudah terpenuhi, tak perlu impor lagi.
BACA JUGA: Kabupaten Banyumas Peraih Kinerja Terbaik Pertama Pelaksanaan Kegiatan Statistik Produksi 2022
Perlu diketahui bahwa hasil survei yang dilakukan BPS terkait dengan stok beras menunjukkan bahwa persediaan beras hasil produksi yang ada berada pada lokasi yang berbeda. Sebagian besar atau 67,94 persen stok beras berada di rumah tangga, 10,67 persen berada di pedagang, 7,15 persen berada di pengilingan, 2,84 persen berada di hotel, restoran, kafe dan bahan baku industri. Sementara yang berada di Bulog sendiri ada 11,40 persen.
Dari sini dapat dilihat bahwa dari jumlah produksi beras selama setahun hanya sekitar 3,66 juta ton saja yang bersedar keluar masuk di Bulog sebgai cadangan beras. Jika angka tersebut harus keluar masuk akibat kebutuhan pasar, bantuan sosial akibat bencana, sengaja dilepas oleh kekhawatiran penurunan kualitas dan lain sebagainya, maka jika dirata-rata hanya sekitar 300 ribu ton saja yang berada di kantong Bulog.
Bagaimanapun stok beras yang berada dinstitusi lain seperti pasar, rumah tangga, pedagang, penggilingan dan lembaga profit lain tidak bisa dikatakan sebagai cadangan strategis yang sewaktu-waktu dapat dikeluarkan. Dalam arti stok tersebut tidak bersifat liquid.
Mayoritas Stok Tidak Liquid
Maka ketika tingkat keamanan cadangan beras yang ada di pemerintah seharusnya sebesar 1,2 juta ton oleh kekawatiran akan naiknya harga beras seperti saat ini, maka satu-satunya jalan yang cepat untuk memenuhinya hanya dengan mekanisme impor. Tidak mungkin dengan segera menarik stok itu dari rumah tangga misalnya. Bagaimanapun petani masih banyak yang berpikir untuk menyimpan gabahnya dalam memenuhi kebutuhan sendiri dulu. Baru kemudian berpikir untuk menjual selebihnya kemudian setelah dipastikan kebutuhannya tercukupi. Apalagi sebagian besar petani yang ada di Indonesia adalah petani gurem, yang notabene produksi sedikit yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Begitupun terhadap stok yang ada di insitusi lainnya diatas yang sepertinya tidak mungkin diandalkan sebagai bagian dari cadangan.
Ditambah lagi harga yang ditawarkan oleh pemerintah terhadap stok beras yang ada di rumahtangga dalam hal ini Bulog tidak cukup menarik dan mampu memberi margin yang cukup bagi petani untuk mendapat nilai tambah yang cukup dari hasil panennya. Jangan-jangan menjual dengan harga murah untuk kemudian membeli kebutuhan lain bahkan beras untuk makannya sendiri menjadi lebih mahal.
Seperti diketahui selama ini ketika Bulog membeli gabah/beras dari petani masih mitra-mitra Bulog yang notabene adalah lembaga profit oriented yang tentunya dituntut dengan harga sama atau lebih tinggi dari harga pasar. Bulog sendiripun kemudian harus mengeluarkan biaya-biaya lain seperti penggilingan, pengeringan dan penyimpanan yang tentunya tidak sedikit.
Beda halnya dengan beras impor yang notabene lebih murah sehingga biaya-biaya perawatan yang dikeluarkan masih cukup untuk menutup ketika beras harus dilempar ke pasar dengan harga yang sama atau lebih rendah untuk mampu meredam terjadinya kenaikan harga.
BACA JUGA: Medha Wardhany: Satu Pintu, Menuju Satu Data Pertanian Indonesia
Minimalisir Polemik Maksimalkan Pengawalan
Berbekal dari kondisi tersebut mungkin tidak waktunya lagi untuk berpolemik terhadap kebijakan impor yang terjadi, apalagi diiringi dengan kecurigaan-kecurigaan tanpa dasar hingga dibawa ke ranah politik. Yang terpenting adalah diperlukan pengawalan terhadap dasar kebijakan yang dibuat dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan yang baik. Lebih dari itu bagaimana kebijakan yang dilakukan itu kemudian tidak merugikan bahkan mendegradasi kesejahteraan petani melalui kebijakan lain dan kepastian efektifitasnya, diantaranya terhadap berbagai kebijakan subsidi terhadap petani.
Di luar itu kedepan perlu dilakukan inovasi maupun peningkatan luas lahan sawah untuk lebih meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Dengan begitu stok yang tersedia diinstitusi Bulog walau dengan persentase komposisi tetap tetapi dengan jumlah yang semakin tinggi.***
Oleh : Tri Karjono, Statistisi Ahli BPS Provinsi Jawa Tengah