Cinta Tanah Air, Hari Santri, dan Terorisme

OPINIJATENG.com – Hari ini, Senin 1 November 2021 saya mendapat kehormatan menghadiri acara Forum Cinta Tanah Air.
Kegiatan itu diprakarsai KH Muhammad Munif Zuhri pimpinan Pesantren Girikusumo menggelar halaqah di Gedung Gradhika Bhakti Praja Provinsi Jawa Tengah.
Tema yang diusung sangat menarik, yaitu “Seirama untuk Jawa Tengah Tangguh”.
Acara silaturrahim yang digelar ini masih kental aroma peringatan HSN (Hari Santri Nasional) Ke-6, 2021 tanggal 22 November 2021.
Tema HSN adalah “Santri Siap Jiwa Raga” dan “Santri Bertumbuh, Berdaya, Berkarya”.
Forum Cinta Tanah Air boleh jadi ingin menyatukan tema tersebut agar antara Perguruan Tinggi dan Pondok Pesantren dapat berjalan seirama demi mewujudkan Jawa Tengah Tangguh.
Banyak tantangan yang harus dijawab oleh perguruan tinggi.
Apalagi beberapa waktu lalu, statemen Menkopolhukam Mahfud MD terkait banyaknya koruptor adalah produk perguruan tinggi 26 Mei 2021.
Laman medcom.id 11 Mei 2021 merilis dari LPDP bahwa 64 % koruptor lulusan PT.
Kabar yang lebih baru lagi KPK menegaskan, 86% koruptor yang ditangkap alumni PT. (cnnindonesia).
Densus 88 20 Agustus 2021) meringkus 53 terduga teroris dari 11 provinsi yang merencanakan aksi teror saat 17 Agustus 2021.
Operasi dilakukan 12-17 Agustus 2021 yang sebagian besar adalah Jamaah Islamiyah (JI) sebanyak 50 orang dari 10 provinsi dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Ada juga pendukung ISIS 3 orang di Kalimamtan Timur (pikiranrakyat).
Ali Imron, mantan teroris yang sudah insyaf dan taubat, dan rutin mengampanyekan deradikalisasi kepada para napiter lain yang mendekam di rutan Polda Metro Jaya.
Dalam acara deradikalisasi pada 80 napiter itu, Ali Imron jadikan kasus bom Bali I sebagai contoh jihad yang salah (tribunnews).
Illustrasi di atas menunjukkan bahwa kelompok radikal dan teroris itu memang ada.
Bahkan versi Ali Imron cukup dua jam untuk menjadikan seseorang menjadi teroris.
Oleh karena itu apabila MUI melakukan program deradikalisasi dengan mengarusutamakan moderasi Islam (wasathiyatul Islam), dan di kampus-kampus PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri) banyak membentuk “Rumah Moderasi” adalah ikhtiar serius untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi radikalisme dan terorisme dari bumi Indonesia.
Kurikulum Cinta Tanah Air
Banyak kampus PTU yang merekrut calon mahasiswa dari pesantren, termasuk dari para penghafal Alquran (hafidh/hafidhah).
Tentu yang lebih penting adalah bagaimana para mahasiswa baik PTU dan PTKIN dan juga PTS/PTKIS, dapat memahami dan menjalanka ajaran agama secara wasathiyah atau moderat.
Di antara problem serius bangsa yang mudah dibrain-washing adalah mereka yang secara ekonomi dalam keadaan kekurangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah menyebutkan, penduduk miskin Jawa Tengah per-Maret 2021, sebanyak 11,70% (4,11 juta orang).
Pola rekrutmen teroris menurut mantan napiter Haris Amir Falah lebih mudah dilakukan di media sosial terutama telegram dan facebook (merdeka).
Seseorang bisa direkrut tanpa tatap muka, bahkan mereka bisa membina dan membaiat tanpa harus “bertemu”.
Kata Haris “Iya boleh dibilang pelaku dan korban, artinya ada karena ada usaha yang terprogram yang mencari mangsa dan merekrut, membina, karena sistem baiat itu tidak perlu bertemu.
Mereka bisa melakukan baiat ghaib.
Mereka bisa bertemu dengan pimpinan, bisa di kamar sendirian, kemudian berbaiat, mereka sudah terikat dengan program itu” (ibid.).
Silaturrahim Forum Cinta Tanah Air yang kelima ini sepakat akan perlunya menyiapkan kurikulum “Islam Kebangsaan” atau kurimulum “Cinta Tanah Air”.
Dalam bahasa santri “hubbul wathan minal iman”. Artinya “cinta tanah air adalah sebagian dari iman”.
Di dalam merumuskan kurilulum tentu dibutuhkan ketajaman visi misi tujuan dan terlebih filosofi dan wawasan kesejarahan bagaimana Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Meskipun Forum Cinta Tanah Air ini isinya adalah keseiramaan antara perguruan tinggi dan pesantren, namun komitmen dan strategi pembuatan kurikulum di sekolah/madrasah dari tingkat dasar dan menengah. Bahkan semua domain pendidikan dari kebudayaan.
Bahkan semua domain pendidikan dari keluarga, sekolah/madrasah, dan perguruan tinggi, dan di masyarakat.
Mengingat media cetak, elektronik, dan sosial, perlu juga diisi dengan konten-konten Islam dan Kebangsaan agar cinta tanah air menjadi conten masif yang harus digarap secara masif.
Artinya, pengarusutamaan Islam wasathiyah dan Islam Kebangsaan merupakan suatu keniscayaan dalam rangka menjaga NKRI Harga Mati dan Pancasila final.
Semoga dengan ikhtiar ini, kita berharap terwujudnya baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Allah a’lam bi sh-shawab.
Penulis adalah Prof Dr H Ahmad Rofiq MA, Guru Besar UIN Walisongo, Wakil Ketua Umum MUI Jawa Tengah, Direktur LPPOM MUI Jawa Tengah, Ketua Bidang Pendidikan MAJT dan Ketua II YPKPI Masjid Raya Baiturrahman Semarang.***