Ada Apa dengan Shalat Kita?

Prof Ahmad Rofiq
OPINIJATENG.COM – Alhamdulillah, hari ini kita bersama sebagai warga negara Indonesia, masih diberi usia panjang dalam keadaan sehat afiat. Kita berada di 27 Rajab (syahru Allah) 1433 H, bulan penuh keberkahan. “Ya Allah limpahkanlah keberkahan pada kami dalam bulan Rajab, sampaikan kami bulan Sya’ban dan Ramadhan dalam keadaan sehat afiat dan keselamatan”.
Sebagaimana sudah lazim kita fahami bersama, bahwa peristiwa Israk Nabi Muhammad saw dari masjidil Haram Mekah ke Masjidil Aqsha Palestina, dan di-Mikraj-kan ke Sidratil Muntaha, adalah perintah shalat yang semula 50 waktu, atas saran Nabi Musa as, kemudian diberi keringanan hingga 5 waktu. Karena itu shalat wajib lima waktu disebut shalat maktubah.
Shalat adalah Mikraj orang-orang yang beriman. Kita sebagai hamba dapat sowan dan menghadap kepada Allah kapan saja, sepanjang tidak dalam waktu-waktu yang terlarang. Karena saat Rasulullah saw menerima perintah shalat, tidak didampingi oleh Malaikat Jibril.
BACA JUGA : Taj Yasin: Isra Miraj Sebagai Inspirasi Sains dan Perintah Shalat 5 Waktu
Ini sesungguhnya pertanda, bahwa ketika sebagai hamba menghadap kepada Allah ‘Azza wa Jalla, tidak ada halangan apapun, selagi kita benar-benar penuh kerendahan hati (tawadlu’) dan dhepe-dhepe mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah.
Shalat sebagai ibadah ritual vertical antara hamba sebagai makhluk kepada Allah Sang Khaliq, tentu di dalamnya terkandung banyak sekali nilai-nilai dan hikmah yang sangat dalam.
Diawali dari takbiratul ihram, adalah kesaksian seorang hamba, bahwa hanya Allah saja yang Maha Besar. Sementara manusia sebagai makhluk apapun keadaannya yang menjadi pemimpin, pejabat, hartawan, semuanya di hadapan Allah sama.
Demikian juga semua tindakan atau disebut dengan rukun fi’ly dan qauly di dalamnya, adalah menyiratkan kepada manusia, bahwa “sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, semata-mata hanyalah untuk Allah semata Tuhan semesta alam”.
BACA JUGA : 7 Keutamaan Memiliki Sahabat Sholeh sampai ke Surga Perlu Diketahui
Pertanyaannya adalah,, apakah shalat yang kita laksanakan dari waktu ke waktu, sudah benar kita tegakkan dengan kesungguhan dan ketulusan, sehingga mampu menghadirkan makna shalat yang sesungguhnya dan membawa limpahan keberkahan? Ataukah shalat kita masih sebatas “basa-basi” untuk sekedar menggugurkan kewajiban ritual kita kepada Allah.
Apakah shalat yang kita kerjakan sudah mampu mencegah dan menjauhkan diri kita dari perbuatan yang tak pantas dan bertentangan dengan ketidakpatutan atau bahkan perbuatan yang keji dan munkar?
Mengapa di negeri kita Indonesia yang sangat kaya sumber daya alam, yang seharusnya dapat membawa masyarakat yang adil dan makmur, namun ternyata masih banyak warga yang hidup dalam gelimang kemiskinan?
Mengapa banyak yang terus mempertahankan jabatannya, demi dalih mengabdi kepada umat dan masyarakat? Bahkan tidak sungkan-sungkan untuk mengondisikan supaya, posisinya tetap aman? Mengapa ada pimpinan yang mengusulkan untuk melanggar konstitusi, dengan dalih rakyat menghendakinya?
BACA JUGA : Menebar Kebaikan dan Menjadi Bahagia dengan Menulis Adalah Cita-cita Wanita Ini
Mengapa masih banyak terjadi perbuatan keji dan mungkar? Mengapa masih banyak pejabat dan tokoh yang sudah menyadang jabatan dan kekuasaan, masih senang menebar fitnah, ghibah, dan tajassus?
Mengapa banyak oknum pejabat yang muslim, melakukan korupsi dan bahkan banyak di antara mereka terkena OTT KPK? Banyak juga mereka yang secara keilmuan, adalah termasuk berilmu agama yang cukup atau bahkan ulama? Tetapi mereka masih banyak didera oleh sindrom hubbul jah wal mal? Bahkan jabatan itupun yang seharusnya sudah tidak sepatutnya dipertahankan, masih ingin saja didapatkannya?
Mengapa di negeri ini, banyak kelompok radikal, yang ingin memaksakan kehendaknya, dan menganggap negara ini thaghut? menjadi darurat narkoba? Itupun tiap hari masih terus dipasok oleh barang haram yang siap menghabisi generasi muda kita?
Mengapa kehidupan politik di negeri ini, yang seharusnya menjadi instrumen atau alat untuk menjalankan amanah demi tegaknya keadilan dan kemakmuran, justru menjadi tontonan yang banyak sekali memberi pelajaran yang “kurang mendidik” generasi muda kita?
BACA JUGA : Bisakah Takdir Berubah? Ini Penjelasannya
Mengapa sebagian oknum pejabat dan aparat penegak hukum kita seakan lebih mementingkan urusan politik, katimbang menegakkan hukum secara adil?
Sahabat Ibnu Abbas ra meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa shalatnya tidak mampu mencegahnya dari berbuat keji dan munkar, maka tidaklah (berarti) shalat itu baginya”.
Dalam makna yang sama atas Firman Allah : “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Ankabut: 45).
Senyampang kita masih di bulan Rajab, mari kita buka mata hati, fikiran, dan perasaan kita, untuk melakukan evaluasi dan muhasabah apakah kita sudah mampu memahami dan mengimplementasikan nilai dan makna shalat kita dalam kehidupan kita sehari-hari?
Ibadah shalat adalah barometer semua ibadah kita. Kita isi dan maknai shalat kita, agar mampu membekas dan mengisi ruang batin kita, bahwa “shalat, ibadah, hidup dan mati kita hanyalah untuk Allah.
BACA JUGA : Baznas akan Luncurkan 1.000 Gerobak Ayam ZChicken
Jabatan yang kita emban – apapun jabatan itu — hanyalah akan memperberat amal buruk kita, manakala kita gagal menjalankannya secara amanah. Apalagi jika sampai kita “terbiasakan” memanfaatkan barang-barang milik organisasi untuk kepentingan pribadi dan keluarga.
Adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menjabat dua tahun, namun hartanya justru berkurang 90 persen.
Umar bin Abdul Aziz yang merupakan cucu Umar bin al-Khathab sangat hati-hati dalam menggunakan fasilitas negara/organisasi.
Alkisah, di suatu malam, Umar bin Abdul Aziz sedang menyelesaikan tugas hingga larut malam. Tiba-tiba putranya mengetuk pintu dan meminta ijin masuk.
Umar bertanya: “Ada apa putraku datang ke sini? Apakah ada urusan keluarga atau negara? “Urusan keluarga, Ayah” kata si anak. Umar pun, meniup dan mematikan lampu. Tentu saja putranya kaget, dan bertanya dengan keheranan: “Mengapa Ayah melakukan ini”? “Anakku” kata Umar “lampu itu ayah gunakan untuk bekerja sebagai pejabat negara, minyak untuk menghidupkan lampu itu dibeli dengan uang negara, sementara kamu ke sini adalah urusan keluarga”.
Lalu, Umar memerintahkan pembantu untuk menyalakan lampu dengan menggunakan minyak yang dinyalakan dengan minyak sendiri. Inilah kewira’ian Umar bin Abdul Aziz, mewarisi kakeknya Umar bin al-Khathab.
BACA JUGA : Prof Ahmad Rofiq: Plus Minus Basyarnas MUI?
Semoga di sisa umur kita, dibukakan pintu hatri dan fikiran kita dan mampu memaknai oleh-oleh Rasulullah saw dari perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw, dengan penuh ketawadluan, mari kita perbaiki shalat dan maknai nilai-nilai shalat kita dalam kehidupan kita sehari-hari.
Umur kita tidak tahu kapan berakhir, karena kuatkan diri dan keyakinanmu, untuk tidak terus menerus mengejar urusan duniawimu, sementara kamu boleh jadi tidak akan menikmatinya, kecuali sangat sedikit. Allah ‘Azza wa Jalla, sudah melambaikan Tangan-Nya untuk mempersiapkan bekal persoawananmu keharibaah-Nya. Wai la Allah turja’u l-umur. Allah a’lam bi sh-shawab.
[1] Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA, Direktur LPPOM-MUI Jawa Tengah, Guru Besar dan Direktur Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, dan Koordinator Wilayah Indonesia Tengah MES Pusat, Ketua DPS Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang, Ketua II YPKPI Masjid Raya Baiturrahman Semarang, dan Ketua Bidang Pendidikan Masjid Agung Jawa Tengah.