11 September 2025 06:27

Fluktuasi Harga Cabai Pengaruhi Inflasi dan Deflasi di Jateng, Tri Karjono: Awas Menggerus Daya Beli Masyarakat

0
WhatsApp Image 2022-07-06 at 21.11.15

Statistisi Ahli BPS Jateng Tri Karjono

OPINIJATENG.COM – Harga cabai yang melambung tinggi akan berpengaruh terhadap Inflasi dan Deflasi di Jateng.

Tanpa cabai rasanyan hambar. Celoteh ini yang sering terdengar di masyarakat. Jadi naiknya harga cabai tidak berpengaruh dengan orang yang akan mengomsumsinya. Cabai sudah menjadi bagian dari kebutuhan pokok yang tidak bisa ditinggalkan.

Statistisi Ahli BPS Jateng Tri Karjono menyatakan, belakangan ini cabai menjadi salah satu trending topik pembicaraan di masyarakat, karena harganya yang cukup mengusik.

BACA JUGADPC Permadani Tengaran, Selenggarakan Purwa Pawiyatan Panatacara Tuwin Pamedhar Sabdha Angkatan/Bregada ke-52

Harga cabai di Kota Semarang sebagai barometer Jateng, menurut catatan Sihati (Sistim Informasi Harga dan Produksi Komoditi), selama bulan Januari 2022 mengalami sedikit penurunan.

“Kemudian naik kembali dari awal hingga akhir Februari 2022 yang menembus harga Rp58 ribu per kg. Satu setengah bulan kemudian kembali mengalami penurunan hingga sempat berada pada harga yang cukup rendah pada pertengahan April 2022 yaitu sekitar Rp 20 ribu per kg,” katanya.

Berikut ini adalah pernyataan dari Tri Karjono tentang 5 komoditas utama yang memengaruhi inflasi dan deflasi di Jateng.

Hingga hari ini Rabu 5 Juli 2022, harga cabai terus mengalami kenaikan yang bisa dibilang tak terkendali.

Cabai merah misalnya, minggu ini telah menembus harga Rp88 ribu per kg. Bahkan di beberapa wilayah lebih dari itu. Artinya sejak dua setengah bulan terakhir di Kota Semarang telah terjadi lonjakan harga sebesar 340 persen. Bahkan melebihi kebiasaan naiknya harga komoditas ini saat Lebaran.

Kenaikan ini disinyalir akibat suplai yang ada tidak mampu memenuhi jumlah permintaan pasar. Cuaca saat ini yang seharusnya telah memasuki musim kemarau sejak bulan April, tetapi pada kenyataannya masih juga sering terjadi turun hujan hingga hari ini.

Musim tanam hingga panen cabai yang biasa berlangsung mulai April hingga Oktober terganggu oleh pembuahan yang gagal oleh curah hujan yang masih tinggi. Hal ini diperparah oleh munculnya beberapa penyakit yang mengakibatkan buah cabe membusuk dan puso atau gagal panen.

BACA JUGAWuquf, Pengampunan Dosa, dan Kemabruran Haji

Terhadap Inflasi

Seiring dengan fluktuasi harga yang terjadi pada cabai, demikian juga pengaruhnya terhadap inflasi bulanan yang terjadi di Jawa Tengah.

Terhitung setiap bulan selama tahun ini komoditas cabai mampu menduduki 5 besar dalam memberi andil terhadap inflasi.

Baik andil positif ketika terjadi kenaikan harga maupun negatif ketika terjadi penurunan harga.

Andil terbesar terjadi pada bulan Juni. Inflasi sebesar 0,85 persen yang terjadi pada bulan Juni yang lalu nyaris separuh di antaranya akibat andil naiknya harga cabai merah dan cabai rawit dengan masing-masing 0,30 dan 0,11 persen.

Alih-alih inflasi positif yang kadangkala diartikan sebagai kembali naiknya daya beli masyarakat, untuk kasus ini sepertinya tidak demikian. Justru akan menggerus daya beli.

Kenaikan harga oleh sebab terbatasnya suplai bahan kebutuhan pokok sehingga mengakibatkan inflasi meningkat menjadi sebuah keterpaksaan masyarakat dalam mengeluarkan dananya lebih besar untuk memenuhi kebutuhan, bukan sebuah keinginan.

Sehingga inflasi oleh sebab naiknya kebutuhan yang benar-benar pokok tidak dapat menjadi tolok ukur kemampuan finansial masyarakat yang pulih atau meningkat.

Inflasi bulan ke bulan yang cukup besar pada bulan Juni oleh sebab utama cabai merah daan cabai rawit ini membawa inflasi kalender (c to c) dan tahunan (y on y) yang cukup tinggi.

Inflasi kalender telah menyentuh angka 3,75 persen dan inflasi tahunan telah sampai 4,97 persen.

Tren inflasi kalender, inflasi sebesar tersebut menjadi sangat tinggi jika dibanding dengan inflasi tahunan tahun 2020 sebesar 1,56 dan 1,70 persen.

Jika asumsi tren inflasi kalender sisa tahun ini sama dengan dua tahun yang lalu saja maka inflasi yang terjadi pada tahun ini akan tinggi.

Padahal sepertinya tren kenaikan harga masih akan terjadi terutama di tiga bulan terakhir.

Apalagi tekanan global terhadap produk pangan dan energi sepertinya masih mengancam, yang pastinya akan berimbas pada kondisi dalam negeri.

BACA JUGAKesadaran Memanfaatkan Transportasi Umum Harus Dibangkitkan, Pergerakan Mobilitas Penduduk dan Kendaraan Pasti Timbulkan Problema

Nilai Tukar Usaha Pertanian

Normalnya sebuah kegagalan adalah kesedihan. Namun tenyata tidak demikian halnya dengan gagalnya harapan keberhasilan panen yang dialami petani cabai.

Rata-rata penurunan panen yang terjadi hingga 50 persen pada musim tanam kali ini justru menjadi berkah.

Penurunan jumlah panen oleh cuaca dan hama yang dikompensi dengan kelipatan yang lebih besar menjadikan nilai produksi lebih besar dari biasanya.

Jumlah panen normal dikali dengan harga normal masih lebih rendah dibanding dengan ketika produksi menurun tetapi harga meningkat lebih tinggi dari tingkat penurunan produksinya.

Maka tak heran ketika suatu saat panen raya dan nilai produksi tidak sebanding dengan biaya produksi, petani hingga membuang-buang hasil panennya.

Hal inilah yang terjadi di saat ini. Ketika harga melonjak tajam, walau panen berkurang namun hasil yang didapat lebih besar.

Gambaran ini juga tercermin dari data nilai tukar usaha pertanian (NTUP). NTUP merupakan perbandingan antara Indeks Harga Yang Diterima Petani (It) dengan Indeks Harga Yang Dibayar Petani (Ib). Dimana komponen Ib hanya meliputi biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM).

Secara umum NTUP mengalami sedikit peningkatan selama sebulan terakhir yaitu sebesar 1,76 persen.

Peningkatan tersebut yang paling berpengaruh dan meningkat tajam adalah sub sektor hortikultura dengan kenaikan yang cukup fantastis sebesar 11,64 persen, dengan indeks tertinggi dibanding usaha sub sektor yang lain.

Sementara sub sektor lainnya tidak lebih dari 1,43 persen bahkan merugi. Dimana pada subsektor hortikultura ini didalamnya merupakan usaha komoditas cabai.

Dilema

Kedua hal di atas menunjukkan sesuatu yang dilematis. Secara umum ketika terjadi kenaikan harga komoditas pertanian, maka yang paling diuntungkan adalah pedagang, namun tidak demikian halnya dengan yang terjadi pada komoditas cabeai, minimal untuk tahun ini.

BACA JUGAProdusen Batik Ecoprint di Sukorejo, Gunungpati Dilatih Model Pemasaran Berbasis Medsos dan E-Commerse

Pedagang pastinya juga untung walau tidak lebih besar karena penjualan menurun, namun dalam hal ini petani menjadi untung.

Menjadi dilema ketika stabilitas harga sangat diperlukan dengan mengembalikan harga ke level semula di satu sisi, namun kesejahteraan masyarakat khususnya petani cabai tidak boleh dikorbankan pada sisi yang lain. Oleh karena itu perlu kehati-hatian dalam menyikapi kenaikan harga cabai ini.

Jelas dalam kondisi alam menjadi penyebab turunnya produksi dan meningkatnya harga, tak memungkinkan untuk menambah produksi dalam waktu dekat.

Salah satu solusi di antaranya adalah dengan menstabilkan harga banyak komoditas yang lain untuk tidak kemudian meningkat.

Serta berusaha menurunkan harga komoditas yang juga sebelumnya mengalami peningkatan yang mana peningkatannya tersebut tidak berimplikasi pada naiknya kesejahteraan sebagian masyarakat bawah.

Seperti sesegera mungkin menurunkan harga minyak goreng. Yang pada kenyataannya itu bisa dilakukan dan sepertinya dengan mudah ketika ada kamauan. Yang seharusnya ini telah dilakukan sejak ketika tren cabai mulai mengalami peningkatan.

Bukan seperti saat ini ketika inflasi sudah terlanjur tinggi akibat naik tingginya harga cabai, baru kemudian minyak goreng mulai diupayakan turun.

Di sinilah kepekaan dan keberpihakan pemangku kepentingan diperlukan dan diuji.***

About The Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Exit mobile version