Oleh: Ahmad Rofiq*)
OPINIJATENG.com – Alhamdulillah kita diberi umur panjang dalam sehat afiat sebagai kesempatan menyambut bulan Maulid/Rabi’ul Awwal, atau Maulud dalam penanggalan Jawa.
Bulan Maulid, merupakan bulan kelahiran Nabi Muhammad Saw. Sosok yang terjaga dari kekeliruan dan kesalahan (ma’shum).
Allah memposisikan beliau sebagai sosok uswatun hasanah, teladan yang baik bagi orang-orang yang mengharapkan ridha Allah dan senantiasa ingat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Syekh Muhammad al-Ghazali, penulis Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad saw menyatakan, “Meskipun begitu banyak buku ditulis tentang Nabi Muhammad Saw, sosok agung itu tidak akan pernah selesai diungkap secara final.”
Sebab batinnya mensamudra, dan ilmunya mencakrawala. Di dalam dirinya tersimpan segala kearifan masa lalu, dan segala pengetahuan suci masa depan.
Karena itu tidaklah meleset ketika seorang sufi Persia dari abad ke-12 menulis bait berikut ini: “Muhammad walaupun engkau ummi, tidak bisa baca tulis, tetapi seluruh perpustakaan dunia tersimpan rapi dalam dirimu. Ini karena ilmu yang menggenang dalam diri beliau, adalah merupakan anugerah tak kepalang yang meluruh secara langsung (ladunni) dari tahta keagungan Allah SWT”.
Nabi Muhammad Saw dihadirkan oleh Allah ke muka bumi ini, sebagai figur yang memiliki empati, simpati, dan kepedulian yang sangat kuat ketika melihat, menghadapi situasi ketidakadilan dan kesengsaraan yang dirasakan oleh sesama orang-orang yang beriman.
Beliau letakkan fondasi hidup ini, di atas kerangka yang sangat kuat yakni iman dan amal salih. Bagi seseorang yang tidak kuat imannya, jabatan yang sesungguhnya adalah amanah, namun kenyatannya dengan mudah menyeret seseorang ke dalam tindakan yang memperosokkan dirinya ke lembah kesengsaraan, dengan berbagai dalih dan pembenaran, padahal sesungguhnya hati kecilnya sadar bahwa apa yang dilakukannya adalah dusta, dan menipu dirinya sendiri.
Dan balasan itupun tidak harus menunggu di akhirat nanti, tetapi di dunia pun sudah harus membayar kehidupan amat pahit, di balik jeruji besi yang pengap. Demikian juga orang yang dititipi ilmu dan harta, dengan sangat mudah bisa terjebak dalam keangkuhan dan kesombongan, yang Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari menyebut sebagai syirik.
Dalam kehidupan manusia, apalagi yang mempunyai kedudukan atau jabatan, atau kelebihan apakah harta atau ilmu, sangat rawan potensi kesombongan dan keangkuhan itu muncul. Oleh karena itu, Allah SWT menempatkan posisi beliau sebagai manusia yang berakhlak sangat mulia. Beliau menegaskan, “sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Kita menyaksikan bahwa di dalam kehidupan masyarakat kita, telah terjadi pergeseran yang luar biasa. Ketika pilar-pilar akhlak dan etika makin tergerus oleh serbuan budaya dan kultur yang tidak baik.
Hal ini kalau tidak ada ikhtiar untuk mengatasi secara lebih cermat, sungguh-sungguh, sistemik, dan berkesinambungan, sangat mungkin bangsa ini akan mengalami kehancuran.
Bahkan yang lebih mengerikan lagi, ketika kerusakan dan kehancuran tersebut melanda pada paradigma berpikir, mindset dan kerangka berpikir yang serba barat, western-oriented, dan kehilangan kearifan dan petunjuk agama semakin jauh.
Seorang ulama besar Syauqi Bek menegaskan: “Suatu bangsa akan berlangsung apabila akhlak mereka tetap mendasari perilaku mereka, apabila akhlak hilang dari diri mereka, akan lenyap entitas kaum tersebut.
Nabi Muhammad Saw adalah tokoh yang konsisten antara ucapan dan tindakan. Dalam berbagai kesempatan, ketika mengajak dan menyeru umatnya beribadah, beliau selalu memulai dan memberi teladan terlebih dahulu.
Dalam kehidupan keseharian, beliau sosok yang sangat menghormati tamu, tetangga, dan tentu saja keluarganya. Tutur katanya bagus, sopan, lembah manah, dan memposisika orang lain sebagai sosok yang harus dihormati.
Beliau menegaskan: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik, atau lebih baik diam (kalau tidak biasa berkata baik)”. Demikian juga, barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hormatilah tetangganya”.
Islam diturunkan untuk merealisasikan kasih sayang Allah di muka bumi ini (rahmatan lil ‘alamin). Karena itu, Rasulullah Muhammad Saw memberikan teladan dan tuntunan, bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berpemerintahan.
Beliau mengedepankan sifat dan sikap lemah lembut namun tegas, selalu menjadi pemaaf, dan bahkan selalu memohonkan ampunan orang lain kepada Allah SWT, dan di atas segalanya sangat menghormati dan mengajak orang lain bermusyawarah dan bekerja keras, namun tetap bertawakkal kepada Allah SWT agar tidak takabbur namun rendah hati.
Firman Allah Swt di bawah ini menegaskan perilaku beliau. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali ‘Imran: 159).
Syeikh Asy-Syibli, seorang sufi sezaman dengan Al-Hallaj di awal abad ke-10 dalam puisi berikut: Setiap rumah yang engkau diami, tidak membutuhkan lampu samak sekali, dan pada hari ketika bukti-bukti dibawakan, maka buktiku adalah wajahmu”.
Di samping sebagai cahaya spiritual yang sanggup menyinari jiwa-jiwa manusia yang dahaga, Muhammad juga merupakan sandaran yang ampuh yang menghubungkan antara manusia kebanyakan dengan Tuhan. Karena itu dia disebut barzakh, perantara.
Maka tak salah, kalau pada hari kebangkitan, ketika bukti-bukti amal ditampakkan oleh Tuhan, al-Syibli – dan kita semua – berharap untuk dilumuri cahaya Nabi Junjungan itu, untuk dapat meraup syafaat beliau. Amin.
Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad, shallu ‘ala n-Nabi Muhammad. Saw.
*)Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA., Wakil Ketua Umum MUI dan Direktur LPPOM-MUI Provinsi Jawa Tengah, Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum dan Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, Ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS) Rumah Sakit Islam-Sultan Agung, dan Koordinator Wilayah Indonesia Tengah Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Pusat.***