OPINIJATENG.COM- Judul di atas dikutip dari sub-judul nomor 12 kitab Futuh al-Ghaib anggitan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailany (470–561 H) atau (1077–1166 M).
Nama lengkapnya Abdul Qadir bin Abi Shalih ‘Abdullah bin Janki Dausat al-Jailany. Ia tumbuh sebagai anak yatim, karena ayahnya wafat, kala ia masih kecil. Dalam usia 18 tahun, ia sudah sampai di Baghdad (488 H).
Menurut satu sumber, ini bersamaan dengan Imam Abu Hamid al-Ghazali ( 1058 / 450 – 505 H/1058-1111 M) meninggalkan Madrasah Nidhamiyah di Baghdad untuk ‘uzlah dan berkhalwat, yang kemudian melahirkan karya magnum opus Ihya’ ‘Ulumiddin.
Kata Syeikh Abdul Qadir,”Apabila Allah ‘Azza wa Jalla melimpahimu kekayaan, dan kekayaan itu membuatmu tak lagi mematuhi-Nya, maka Dia akan menjauhimu di dunia dan di akhirat. Mungkin Dia juga mencabut karunia-Nya darimu, menjadikanmu papa dan melarat sebagai hukuman atas keberpalingamu dari Sang Pemberi dan keterpesonaanmu pada karunia-Nya. Akan tetapi apabila kamu selalu mematuhi-Nya, dan tak terpengaruh kekayaan itu, maka Allah akan menambahkan kekayaan-Nya padamu, tanpa sedikitpun menguranginya. Harta adalah budakmu, dan kau menjadi Sang Raja. Kamu akan hidup di dunia ini dalam liputan kasih sayang-Nya, dan hidup terhormat di akhirat Bersama pada shiddiq, para syuhada’, dan orang shalih untuk selama-lamanya” (Syeikh Abdul Qadir al-Jailany, Futuh al-Ghaib, Jakarta: Qaf Media Kreativa, 2021, h. 54).
Dalam versi lain, disebutkan “Dunia boleh saja di tanganmu atau berada di sakumu untuk engkau simpan dan pergunakan dengan niat yang baik. Akan tetapi janganlah meletakkannya di dalam hati. Engkau boleh menyimpannya di luar pintu (hati), tetapi jangan memasukkannya ke dalam pintu. Karena hal itu, tidak akan melahirkan kemuliaan bagimu”.
Di tengah budaya hidup yang hedonistik, nasihat bijak di atas, tentu tidak mudah diterapkan daam kehidupan kita.
Maraknya persaingan untuk mendapatkan jabatan, baik di birokrasi maupun di berbagai organisasi, boleh jadi muaranya adalah peluang untuk mendapatkan harta itu.
Bahkan tidak jarang, “penghargaan dan penghormatan” itu lebih dilihat karena soal harta tersebut.
Lebih seru lagi, banyak praktik korupsi terus terjadi dan tidak menjadikan seseorang jera, meskipun KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sudah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT), di antaranya adalah karena ingin mendapatkan harta dan kekayaan.
Sebagai bahan renungan, kita bisa bersama-sama merenungkan nasihat bijak di atas.
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailany menambahkan, “Jangan berupaya merebut suatu rahmat dan jangan pula berupaya menangkis datangnya suatu musibah. Rahmat akan dating kepadamu jika telah ditakdirkan bagimu, baik kamu menyukainya atau tidak. Bencana akan tetap menimpamu jika telah menjadi takdir bagimu, baik kamu suka atau tidak suka. Yang bisa kamu lakukan adalah mencoba menangkisnya dengan doa dan hadapilah dengan kesabaran dan keteguhan hati agar mendapatkan ridha-Nya. Berserahlah dalam semua urusan agar Dia bertindak melalui dirimu. Jika itu berupa rahmat, bersyukurlah. Jika itu bencana, bersabarlah, tumbuhkan kesabaran, dan keterikatan kepada Allah dan ridha-Nya” (Ibid., h. 55).
Saya yakin para pembaca sudah mengerti dan mahami arti harfiyahnya, akan tetapi menerapkannya yang tidak mudah. Karena boleh jadi kita belum mampu memenej hati dan qalbu kita yang masih mudah sekali berubah.
Karena itu, kita selalu berdoa: “Ya muqallibal qulubi tsabbit qalbi ‘ala dinika” artinya “Wahai Dzat Yang Menggerakkan hati, teguhkanlah hatiku untuk terus mengikuti tuntunan agama-Mu”.
Agar kita dapat mengikuti nasihat yang sangat bijak tersebut, kita perlu terus menerus mencoba dan melakukannya. Kita perlu lebih merenungi dan mengupayakan seluruh rangkaian ibadah kita, dengan lebih menekankan hati kita supaya mampu menjalankannya tidak hanya sekedar memenuhi kewajiban, akan tetapi sudah menjadikannya sebagai suatu kebutuhan.
Ini juga lagi-lagi tidak mudah, apalagi yang masih awam seperti saya, maka pilihannya hanya satu, terus kita lakukan sampai kita mendapatkan keyakinan. Wa’bud Rabbaka hatta ya’tiyaka l-yaqin artinya “dan sembahlah Tuhanmu sampai dating kepadamu yang diyakini (ajal)” (QS. Al-Hijr (15): 99).
Ushikum wa nafsi bi taqwa Allah. Allah al-musta’an.
*Prof. Dr. Ahmad Rofiq, MA. Anggota Dewan Pakar Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jawa Tengah, Wakil Ketua Umum MUI Jawa Tengah, Guru Besar Pascasarjana dan FSH UIN Walisongo Semarang, Direktur LPPOM-MUI Jawa Tengah, Ketua DPS Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang, Anggota BPS BPRS Bina FInansia, Koordinator Wilayah Indonesia Tengah MES Pusat, dan Anggota Dewan Penasehat IAEI Pusat.***