Oleh: Ahmad Rofiq*) M. Abrar Aulia*)
OPINIJATENG.com – “Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad” itulah suasana meriah acara Konferensi Cabang Istimewa ke-4 Nahdlatul Ulama (PCINU) Belanda, Hari Ahad, 3 Oktober 2021.
“Selamat dan sukses Mas A. Afnan Anshori yang diamanati oleh peserta Konfercab sebagai Ketua Tanfidziyah PCINU Belanda, masa khidmat 2021-2023”.
Dalam “tradisi konfercab”, yang digelar di Masjid Al-Hikmah Den Haag, diawali bahtsul masail, mengusung isu masalah hukum daur ulang (resirkulasi) air wudlu untuk bisa digunakan kembali berwudlu.
Terpilih sebagai Rais Syuriyah adalah KH. Nur Hasyim Subadi, Lc., MA.
Afnan Anshori, dosen UIN Walisongo yang sedang mengambil program doktor di Radboud University, Nijmegen Belanda.
“Doakan saya bisa mengemban amanat sebagai Ketua Tanfidziyah ya” katanya kepada saya.
Mas Afnan juga mengajak saya untuk bisa ikut aktif di dalam kepengurusan PCINU Belanda.
“Ya mumpung masih kuliah di Belanda, kita bersama-sama belajar berkhidmah di NU, kan lumayan banyak teman dan kita bisa banyak belajar berorganisasi di luar kampus” ajaknya memberi motivasi.
Yang sedikit mengagetkan dan mengingat kampung Mbah saya. KH. Nur Hasyim Subadi, Lc., M.A. aslinya dari Desa Besito Kauman, Gebog, Kudus, tetangga desa Mbah saya Desa Jurang, Gebog, Kudus, KH. Muh Su’ady, yang rajin mengajar ngaji para orang tua di mushalla Al-Hidayah.
Pemilihan Rais Syuriyah dan Ketua Tanfidziyah, dilakukan menggunakan sistem Ahlul Halli wal ‘Aqdi (AHWA) yang merupakan keputusan Muktamar NU ke-33 di Jombang Jawa Timur yang sempat ramai dan cenderung memanas waktu itu.
“Kita mengikuti aturan organisasi hasil Muktamar ke-33” kata KH. Nur Hasyim. KH Nur Hasyim sendiri, sudah menjabat Rais Syuriyah masa khidmat sebelumnya, dan sahabat Afnan juga sudah menjadi Pejabat Sementara (PJS) Ketua Tanfidziyah selama dua tahun.
PCINU Belanda rajin menggelar beberapa event internasional dengan mengundang narasumber dari Indonesia.
Pada 22 Agustus 2021 yang lalu, digelar forum 3rd Biennial International Conference yang mengusung tema “Reimagining Religion in Time of Crisis” yang menghadirkan Kang Ulil Abshar Abdalla.
Selain itu, dibedah sub-sub tema penting dan actual, di antaranya: 1). Hurgronje and Islam in Indonesia; 2). Religion in socio-ecological and economic crisis; 3). Religion in political and law. Selain itu juga dikaji tentang: 1). Reharmonizing religion in science, progress, and innovation2). Religion, gender, and women’s rights; dan 3). Millennial, pop-culture and the future (PCINU-Belanda).
Data di PBNU menunjukkan sudah ada kepengurusan Cabang Istimewa di 193 Negara.
Tentu ini fenomena yang menarik.
Bagi NU, apalagi ketika diusung term Islam Nusantara, meskipun banyak pihak mempersoalkannya, namun tampaknya karena tidak sama persepsi tentang apa sesungguhnya definisi Islam Nusantara.
Yang jelas, ke depan, dunia yang makin hari makin borderless, tak berbatas, apalagi di era digiltalisasi, maka kepengurusan PCINU di seluruh dunia, harus – dan wajib – berkontestasi di dalam mengisi ruang-ruang digital dengan ajaran Islam yang wasathiyah, agar Islam benar-benar membumi, dan menghadirkan Islam yang ramah dan rahmatan lil a’alamin.
Harus diakui di Indonesia negeri berlimpah anugerah sumber daya alam ini, laksana irisan surga dilintasi garis katulistiwa, kaya dengan musim, perpaduan musim hujan dan kemarau, membuat kenapa dahulu Belanda melakukan penjajahan selama 3,5 abad, adalah karena kekayaan rempah dan kekayaan alam lainnya, seperti batubara, minyak, bauksit, emas.
Bayangkan Belanda yang sekarang hanya berpenduduk 17,600,000 (2021) – separonya penduduk Provinsi Jawa Tengah — kenapa mereka bisa menjajah negeri kita selama tiga abad setengah? Mengapa bisa demikian? Saya tanya kepada Prof. Ahmad Rofiq, “ini mengingatkan kita kepada model devide et impera”.
Devide et impera perama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Belanda melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). (Kompas.com, 10/04/2021). Strategi “pecah dan kuasai” ini awalnya dipopulerkan oleh Julius Cesar dalam upayanya membangun kekaisaran Romawi. Caranya adalah dengan menimbulkan perpecahan di suatu wilayah sehingga mudah untuk dikuasai.
Kerjasama antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda sudah berjalan dengan baik, bahkan banyak mahasiswa Indonesia yang belajar dan mengambil program magister dan doctor di Belanda, namun seperti kata Bung Karno, “Jasmerah” artinya “jangan sampai melupakan sejarah” harus menjadi pelajaran berharga.
Tampaknya, strategi devide et impera ini, bukannya sudah tidak relevan lagi, tetapi masih akan terus digunakan oleh para petualang politik (political adventure), buzzer, dan para cukong politik, di mana pun di dunia ini.
Karena itu, modal sosial dan local wisdom para leluhur di dalam merawat keutuhan dan kesatuan Indonesia Bhinneka Tunggal Ika artinya “Berbeda tetapi Satu” harus dijaga sebaik-baiknya.
Selamat dan sukses Mas Afnan Anshori dan KH. Nur Hasyim, semoga dalam memimpin PCINU Belanda masa khidmat 2021-2023 dapat memberikan manfaat besar bagi kemajuan kemakmuran warga NU di Belanda, dan bermanfaat bagi Nahdlatul Ulama secara keseluruhan. Waffaqana Allah ila aqwami th-tahriq.
*) Ahmad Rofiq, dosen UIN Walisongo Semarang
*) Muhammad Abrar Aulia adalah mahasiswa program magister di Delft-University of Technology (TU-Delft-Tecchnische Universiteit-Delft) dan Pengurus PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Belanda.***