25.8 C
Central Java
Minggu, 22 Juni 2025

Hidup, Rezeki, dan Bahagia

Banyak Dibaca

OPINIJATENG.com – Syekh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari menasehati, “Agar ujian terasa ringan, engkau harus mengetahui bahwa Allah-lah yang memberimu ujian.

Dzat yang menetapkan beragam takdir atasmu, adalah Dzat yang selalu memberimu pilihan terbaik” (Kitab Al-Hikam).

Manusia diciptakan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan diberi amanat menjadi khalifah-Nya di muka bumi ini, di antara adalah untuk menegakkan hukum secara benar (haq).

Ini hanya bisa dilaksanakan, manakala manusia mampu menjauhi sergapan hawa nafsunya, yang setiap saat dapat menyesatkannya dari jalan Allah.

Karena orang-orang yang tersesat dari jalan Allah, siksa yang sangat berat, karena mereka melupakan hari perhitungan (QS. Shâd (38): 26).

Pada dasarnya dimodali dengan kebaikan. Termasuk setiap bayi yang lahir dari siapapun, dia dalam keadaan fitrah, suci, dan tidak membawa dosa apapun. Kalau pun misalnya dia lahir, tidak dikehendaki, atau karena akibat perbuatan dosa orang tuanya, dia tetap fitrah.

Keadaan fitrah ini, diperkuat lagi, potensi untuk menjadi umat yang terbaik dengan tugas amar makruf dan nahi munkar, berdasar iman kepada Allah.

Firman Allah: “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik” (QS. Ali ‘Imran (3): 110).

Namun seperti bagian akhir ayat tersebut, potensi ketersesatan atau kefasikan manusia juga sangat besar, meskipun diberi modal tuntunan Al-Qur’an bagi yang Muslim/Muslimah, dan kitab suci Taurat, Zabur, dan Injil bagi penganut agama tauhid lainnya, sangat besar.

Agar manusia dapat menjalani dan menikmati hidupnya, Allah Yang Maha Rahman juga melimpahinya dengan rezeki. Dalam KBBI, rezeki /re·ze·ki/ n 1 segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan); makanan (sehari-hari);

nafkah; 2 ki penghidupan; pendapatan (uang dan sebagainya untuk memelihara kehidupan); keuntungan; kesempatan mendapat makan. Masing-masing hamba sudah disiapkan jatahnya sendiri-sendiri, tidak akan keliru.

Allah menegaskan: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (QS. Az-Zukhruf (43): 42).

Pesan bijak orang tua kita, “urip ora usah ngoyo, rezekimu ora bakal keliyan (ketukar)”. Artinya “hidup tidak usah keburu, rezekimu tidak akan ke lain orang atau tertukar”.

Karena Allah yang mengaturnya, tugas kita sebagai hamba adalah menjemputnya, dengan bekerja berangkat pagi, sebagai bukti kesungguhan menjemput rezeki-Nya. Karena Allah yang menjamin rezeki kita.

“Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS. Hûd (11): 6).

Hidup dan mati ini diciptakan untuk kita, tujuannya adalah agar kita berkontestasi mana di antara amal baik kita yang terbaik (QS. Al-Mulk (67): 2). Persoalannya adalah, apakah kita bisa mensyukuri atau tidak.

Dalam kehidupan sehari-hari, sudah ditampakkan oleh Allah dengan sangat nyata. Manusia yang sudah mendapatkan kesempatan yang secara lahiriyah boleh jadi dirasakan sebagai kenikmatan, apakah itu jabatan politik, jabatan publik, jabatan sosial, bahkan jabatan di dalam organisasi kemasyarakatan pun, sebisa mungkin harus dipertahankan.

Rambu-rambu peraturan perundangan dan nilai-nilai kepatutan dan kepantasan pun diterabasnya, baik dengan mengubahnya atau membuat tafsir baru demi memuluskan keinginan dan ambisinya.

Namun juga masih sangat banyak orang-orang yang ketika ditawari berbagai macam jabatan dengan kerendahan hati, ditolaknya, karena baginya, dia ingin membahagiakan dirinya dengan meminimalisasi beban pertanggungjawabannya di akhirat kelak, yang dia yakini itu lebih membahagiakan.

Kita diingatkan, bahwa ujian manusia itu bukan hanya kejadian atau suasana yang membuat kita sedih, serba kekurangan, keluarga sakit berkepanjangan, dan lain-lain, akan tetapi ujian yang jauh lebih berat adalah ujian dengan keberlimpahan ilmu, jabatan, dan harta. Sangat-sangat banyak, mereka yang dititipi ilmu, harta, dan jabatan yang berlimpah, kemudian takabur, sombong, sum’ah, riya, dan tidak jarang menjadi sewenang-wenang. Dan yang demikian, pasti tidak membuat Bahagia dan tenang hidupnya.

Ketenangan dan kebahagiaan dapat diraih dan dirasakan, bukan karena banyaknya harta, bertumpuknya jabatan, akan tetapi manakala seseorang dapat mensyukurinya.

Allah Ta’ala berfirman: “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada). Dan milik Allah-lah bala tentara langit dan bumi, dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana” (QS. Al-Fath (48):4).

Marilah kita syukuri semua anugerah dan kenikmatan yang Allah limpahkan pada kita dan keluarga kita.

Mari kita buang jauh-jauh rasa iri dalam soal materi kepada orang lain, karena hanya menambah deraaan dan rasa tersiksa.

Kita dibolehkan iri dalam soal ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Kita terima dengan ridha, sabar, dan ikhlas, agar hidup kita terasa indah, bahagia, dan menenteramkan hati.

Hasbunâ Allah wa ni’ma l-wakîl ni’ma l-maulâ wa ni’ma n-nashîr. Lâ haul awa lâ quwwata illâ biLLâhi l-‘aliyyi l-‘adhîm.     

*) Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA., Wakil Ketua Umum MUI dan Direktur LPPOM-MUI Provinsi Jawa Tengah, Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum dan Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, Ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS) Rumah Sakit Islam-Sultan Agung, dan Koordinator Wilayah Indonesia Tengah Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Pusat.***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer