27.9 C
Central Java
Senin, 16 Juni 2025

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 1

Banyak Dibaca

Mulai hari ini, Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Ini murni fiksi, sebuah karya sastra, isi di luar tanggungjawab redaksi.

Wardjito Soeharso

SATU hal yang aku kira harus aku sampaikan kepada para pembaca, bahwa novel ini berkisah tentang manusia-manusia yang dalam pandangan moralitas umum, adalah manusia-manusia yang “tidak baik”.
Ya.
Tokoh-tokoh yang ada dalam novel ini tidak mencerminkan watak manusia yang perlu diteladani. Bahkan boleh dikata malah seharusnya ditolak dan dihindari.

Aku sengaja menciptakan imajinasi tokoh-tokoh dengan karakter buruk dengan segala bentuk pikiran dan perilakunya.
Mengapa?
Dalam pemahamanku, sesuai pengalaman dari lingkungan, kebanyakan manusia itu lebih mudah dan lebih cepat belajar dari hal-hal yang buruk.

Pengalaman buruk sering memunculkan trauma bahkan phobia, yang akan terus dibawa sampai tua. Bahkan sampai ajal tiba.

Contoh-contoh peristiwa yang sering disebut untuk membangun kesadaran dalam pembelajaran nilai, sepertinya lebih banyak peristiwa-peristiwa negatif atau buruk.

Membangun komitmen dan integritas kejujuran, misalnya, contoh yang akan dipakai sebagai ilustrasi tentu perilaku menyimpang seperti maling (mencuri), merampok, menipu, korupsi, dan sejenisnya.

Begitulah.
Aku menciptakan tokoh-tokoh utama dalam novel ini, hampir semuanya berbuat sesuatu yang dalam kacamata umum, boleh disebut perbuatan yang buruk.

Perbuatan yang menabrak nilai etika dan estetika sosial dalam kehidupan masyarakat yang wajar dan normal.

Tiga orang tokoh sentral dalam novel ini, Theo, Lita, dan Iben, adalah tokoh-tokoh yang sudah jelas dan terang menabrak nilai etika dan estetika sosial.

Sebagai penulis, tentu ada agenda yang ingin aku sampaikan kepada para pembaca. Bahwa manusia memang harus bisa belajar dari segala bentuk dan rupa obyek pembelajaran.

Dan objek pembelajaran itu tidak harus selalu baik, positif, dan manis. Tetapi bisa saja dalam bentuk dan rupa yang buruk, negatif, dan pahit.

Artinya, dari satu keburukan, ternyata kita bisa mengambil sesuatu yang positif untuk pembelajaran. Paling tidak, pembelajaran agar keburukan itu tidak kita tiru.

Selamat menikmati!
Wardjito Soeharso

Testimoni Pembaca:
Kesalahan novel ‘Di Balik Bayang-Bayang Kasih Sayang’ sementara ini, terdapat pada bagian 8 (Embun Pagi Menetes di Daun Kering).

Author – penulis – seharusnya menyelipkan selembar tisu pada bagian tersebut, sebagai bentuk pertanggung-jawaban karena sudah menyeret Pembaca ke dalam cerita yang penuh dengan suasana mengharukan.

Akan tetapi, dari novel tersebut, pembaca seperti saya jadi tahu gedung DPR RI ternyata analoginya sama seperti … 😁 (Abdu Tethoasters)

Bagian 1

SELAMAT JALAN, IBU

PERPUSTAKAAN adalah tempat yang paling cocok untuk membenamkan diri dalam kesunyian.

Di sana, orang-orang menghabiskan waktu untuk membaca, mengerjakan tugas, mengisi waktu luang, atau pelarian dari kejenuhan.

Dari berbagai macam kategori pengunjung perpustakaan itu, Iben termasuk yang terakhir.

Ia menjadikan perpustakaan sebagai tempat pelarian bagi dirinya yang kesepian.

Bagi Iben lebih baik merasa kesepian di tempat yang memang sepi dari pada merasa kesepian di keramaian.

Umur Iben masih sembilan belas tahun dan dia memiliki segalanya.

Orang tua yang masih lengkap, dua kakak laki-laki, keluarga yang kaya, pintar dan tampan.

Meski demikian dia selalu merasa kesepian.

Banyak orang iri kepadanya, sama seperti Iben yang sering kali iri pada orang lain.

Iben duduk di pojok ruangan dan berhadapan dengan tumpukan buku.

Tetapi perhatiannya tertuju pada mahasiswa-mahasiswi yang sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

Iben hanya mengamatinya dari jendela tanpa ingin menjadi bagian dari mereka.

“Ben! Ayo pulang, mendung nih,” ajak Dodit sahabat Iben.

Dodit kuliah di Fakultas Ekonomi.

Sedang Iben kuliah di Fakultas Sastra.

Mereka bertemu saat Orientasi Mahasiswa Baru.

Saat itu, usai orientasi sehari penuh, Iben kehausan dan berlari ke warung di pinggir jalan depan kampus.

Begitu menerima es jeruk pesanannya, langsung ditenggaknya isi gelas sampai habis.

Lalu disodorkannya uang pecahan besar seratus ribuan.

Padahal, harga es jeruk hanya lima ribu rupiah.

Mbok penjaga warung ternyata tidak punya uang receh untuk pengembalian.

Iben juga tidak punya uang kecil.

Selagi bingung, ada sesama mahasiswa baru yang sedang asyik minum juga.

Mahasiswa baru itu lalu membayar es jeruk yang diminumnya.

Dan dialah Dodit, yang lalu menjadi sahabatnya sampai sekarang.

“Kamu duluan aja, aku masih mau di sini,” jawab Iben tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela. Dodit heran karena Iben terus saja melihat ke luar jendela.

Dia mengikuti arah pandangannya tapi dia tidak menemukan apa-apa selain pepohonan, rumput, awan mendung, dan para mahasiswa yang sibuk dengan dunianya sendiri.

Dodit melihat mata Iben yang kosong seperti sedang tenggelam memikirkan sesuatu.

Tapi dia memutuskan tidak akan mengganggunya lebih lama lagi.

“Baiklah, aku pulang duluan, ya.”

Iben hanya mengangguk menanggapi temannya yang berlalu pergi setelah menepuk pundaknya.

Awan semakin menghitam dengan sedikit tiupan angin yang mengayunkan dedaunan bergerak-gerak.

Lalu angin mengantarkan setetes demi setetes air dari langit jatuh membasahi tanah kering.

Dengan cepat semakin banyak air yang turun menjadi hujan, hingga di jalanan orang-orang sibuk mencari tempat berteduh.

“Hmmm, hujan pertama,” senyum mengembang di bibir Iben.

“Drett.. drett… drett…” Handphone Iben bergetar di atas meja.

Iben melihat layar handphonenya, ada tiga panggilan tak terjawab dan sebuah pesan singkat dari ibunya.

“Ibu? Ada apa? Kenapa aku sampai tidak sadar dari tadi ibu meneleponku?”, gumam Iben sambil membuka pesan singkat dari ibunya.

“Ben, hari ini pulang agak awal, kan? Tolong bantu ibu di rumah ya?” (bersambung)

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer