OPINIJATENG.COM – Dunia Pendidikan Tinggi di negeri Indonesia tercinta, belakangan ini ramai atau diramaikan oleh keluarnya Permendikbud No. 30/2021 tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Hampir semua masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap masa depan anak-anak mereka yang studi atau kuliah di Perguruan Tinggi merasa waswas.
Bagaimana tidak, hukum agama – baca Islam dan juga agama lain — yang menempatkan bahwa hubungan seksual merupakan hal yang sangat mulia, yang harus ditempuh melalui pernikahan (akad nikah).
Permendikbud No. 30/2021 yang terdiri dari 9 Bab dan 58 Pasal tersebut, Pasal 1 poin 1 mendefinisikan “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal”.
Pasal 2 menegaskan, bahwa Peraturan Menteri ini bertujuan:
a. sebagai pedoman bagi Perguruan Tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma di dalam atau di luar kampus; dan
b. untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus di Perguruan Tinggi.
Pasal 5 (1) Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
(2) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;
b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
c. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban;
d. menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
e. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;
f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
i. mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
k. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
n. memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
o. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;
p. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
q. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
r. memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;
s. memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;
t. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau
u. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
Selanjutnya ayat (3) menegaskan, Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban: a. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. mengalami situasi di mana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya; c. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba; d. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur; e. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan; f. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau g. mengalami kondisi terguncang.
KUHP menempatkan zina sebagai delik aduan dan dilakukan oleh dua orang yang salah satunya sudah menikah. Pasal 284 KUHP menegaskan:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan:
1) a. Seorang laki-laki yang telah kawin yang melakukan mukah (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
b. seorang perempuan yan telah kawin yang melakukan mukah;
2) a. Seorang laki-laki yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin,
b. Seorang wanita tidak nikah yang turut serta melakukan perbuatan itu padahal diketahui olehnya, bahwa yang turut bersalah telah nikah dan pasal 27 BW berlaku baginya.
Revisi Permen Mas Menteri
Hukum Islam menyebut zina muhshan bagi pasangan zina yang salah satu/dan atau keduanya sudah menikah.
Sementara apabila sama-sama belum menikah disebut zina ghairu muhshan.
Dalam draf revisi KUHP pasal 417 ayat (1) disebutkan “Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II” sedangkan ayat (2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, Orang Tua, atau anaknya. (Bisnis.com, 20 September 2019).
Tujuan Permendikbud tersebut tentu baik, yaitu untuk melindungi kekerasan seksual bagi warga kampus dan juga masyarakat.
Akan tetapi ada poin penting pemicu kontroversinya adalah pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, adalah apabila hubungan seksual itu dilakukan karena suka sama suka atau atas persetujuan, meskipun tidak atau tanpa perkawinan yang sah, dianggap atau setidaknya dapat difahami sebagai dilegalkan dan tidak termasuk kekerasan seksual.
Ini ibaratnya laksana menghapus percikan api, tetapi rumahnya dibiarkan terbakar.
Maka dapat dimengerti, jika pihak-pihak yang masih memegang komitmen keagamaan yang kuat, termasuk saya menyarankan agar Permen “Manis yang Beracun” tersebut, sebelum “meracuni” banyak para mahasiswa dan civitas akademika di PT karena terlena pada “suka sama suka” yang tidak termasuk kekerasan seksual — direvisi dan ditambahkan klausul yang menegaskan, bahwa hubungan seksual tanpa ada pernikahan adalah perzinaan.
Meskipun dilakukan secara sukarela atau suka sama suka. Biar tidak termasuk katagori “buru uceng kelangan deleg” artinya “mengambil hal yang bobotnya lebih kecil, tetapi yang berat yang lebih penting dan substantif dihilangkan atau dibuang”. Allah A’lam bi sh-shawab.***