OPINIJATENG.COM – Menghangatnya suasana “politis” jelang Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) sudah berjalan setengah tahun terakhir.
Pasalnya, Muktamar yang sedianya berlangsung Agustus 2020, ditunda karena wabah covid-19.
Karena hitungan masa Khidmah Pengurus PBNU hasil Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama, 2015-2020, harusnya berakhir Agustus 2020.
Laman news.detik.com (6/8/2015) merilis, “untuk pertama kalinya dalam sejarah hajatan lima tahunan kaum Nahdliyin itu diwarnai tangisan dua kiai ternama, yakni pejabat Rais Aam PBNU 2014-2015 KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dan Katib Aam PBNU (2010-2015), KH Abdul Malik Madani.
Pemantiknya, dalam Muktamar Ke-33 NU di Jombang Jawa Timur “memanas” bahkan beberapa hari sebelum dibuka oleh Presiden Jokowi (1/8/2015), adalah penggunaan sistem Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) dalam pemilihan Rais Aam PBNU 2015-2020.
Hingga tulisan ini disiapkan, yang masih belum ada kejelasan kapan Muktamar dilaksanakan.
Sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, dan bahkan di dunia, ketidakjelasan atau masih berubah-ubahnya jadual pelaksanaan muktamar, tentu menjadi magnet berita tersendiri.
MetroTV (3/12/2021) mengabarkan, bahwa pelaksanaan Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) resmi dimajukan pelaksanaannya pada 17-19 Desember 2021 di Bandar Lampung dan Lampung Tengah.
Kegiatan ini rencananya akan dibuka oleh Presiden Joko Widodo.
Ketua Panitia Daerah Moh Mukri, menegaskan: “Alhamdulillah, persiapan Muktamar hampir mendekati final. Penyelenggaraannya akan dilaksanakan pada 17, 18, dan 19. Ini adalah perintah Rais Aam KH. Miftachul Akhyar, kepada Panitia SC maupun OC” (Jumat, 3/12/2021).
Dalam versi video pernyataan Ketua Umum PBNU, Prof KH Said Agil Siraj (@NU Online), menjelaskan, bahwa pelaksanaan Muktamar, akan dilaksanakan 23-25 Desember 2021, dengan menggunakan protocol Kesehatan ketat, dan diizinkan oleh Ketua Satgas Covid-19.
Padahal pemerintah sudah mengeluarkan bahwa pada Nataru – Hari Natal dan Tahun Baru — 24/12/2021-2/1/2022 adalah pelaksanaan Pembatasan Pelaksanaan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3 untuk seluruh wilayah Indonesia.
Lain lagi, versi Sekjen PBNU, Helmy Faishal yang merilis bahwa Muktamar ditunda pelaksanaannya ke akhir Januari 2022.
Pusaran Parpol dan Kekuasaan
Perhelatan Muktamar NU, tampaknya selalu menjadi lebih menarik, terutama partai politik di mana para warga NU berkiprah. Yang paling berkepentingan tentu saja Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang merasa dilahirkan dan dibidani oleh PBNU di masa dan di kediaman Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid).
Karena warga NU yang berkiprah di berbagai Parpol, baik Golkar, PPP, Demokrat, Nasdem, dan juga PDIP juga cukup banyak, maka mereka ini, tidak bisa tidak, adalah bagian dari keluarga besar NU, yang juga dalam perspektif ukhuwwah nahdliyyah adalah kader NU, maka sudah pasti dirangkul.
Laman https://www.suarainvestor.com/survei-lsi-denny-ja merilis hasil risetnya pada 18-25 Februari 2019, bahwa NU didaulat sebagai ormas terbesar di Indonesia.
Pasalnya, hasil survei tersebut menetapkan ormas Nahdlatul Ulama (NU) pada posisi teratas dengan jumlah pesentase 49,5%. Survei ini melibatkan 1.200 responden, dilakukan melalui wawancara secara langsung yang dipilih menggunakan multistage random sampling.
Dari total responden, komposisi pemilih Muslim sebesar 87,8 persen, sedangkan pemilih minoritas 12,2 persen. Sedangkan margin of error atau tingkat kesalahan survei ini berjumlah pada kisaran 2,9 persen.
Menghadapi tahun politik, pemilu serentak 2024, semua Parpol perlu menyiapkan “pundi-pundi suara”.
Di antaranya adalah bagaimana menabur “investasi” atau setidaknya “menabur kebaikan” melalui ikhtiar baik secara langsung atau tidak langsung, agar dapat dan dibaca dengan jelas oleh para muktamirin, bahwa parpol tertentu berkiprah dalam event Muktamar NU tersebut.
Apalagi “suhu politik” Muktamar ke-34 mendatang, terasa “lebih hangat” katimbang Muktamar Partai Politik sendiri.
Laman https://www.sumselindependen.com/ membuat headline “Gus Yahya Tidak Tertandingi, 27 PWNU dan 500 PCNU se-Indonesia dukung Gus Yahya.
Ini menarik. Jika ini benar, tentu akan lebih seru, sekaligus akan lebih adem-ayem, jika segera digelar Muktamar, disepakati secara aklamasi, Gus Yahya Cholil Tsaquf menjadi Ketua Umum PBNU masa khidmat 2021-2026.
Akan tetapi nilai-nilai demokratisasi yang akan berjalan dalam Muktamar, tentu saja juga dijalankan.
Prof KH Said Agil Siraj sudah menjabat sebagai Ketua Umum dua periode dan perpanjangan dua tahun, tentu akan tambah menghangatkan perhelatan di forum tertinggi PBNU.
Yang menarik adalah, rilis iNews.id (29/11/2021) yang menyebutkan, bahwa Rais Am PBNU mengaku pernah ditelepon seseorang yang mengatasnamakan BIN bernama Imran.
Orang tersebut meminta agar dirinya mengundurkan waktu perhelatan Muktamar NU hingga Februari atau Maret 2022.
Kyai Miftachul Akhyar sendiri, sudah menetapkan Muktamar ke-34 NU, adalah 17 Desember 2021.
Belum dapat dipastikan, apakah Muktamar akan tetap berjalan 17 Desember 2021, atau akan diundur tahun 2022, kita tunggu saja.
Yang jelas, NU adalah organisasinya para Ulama dan Kyai NU, karena itu, Muktamar ke-34 NU, menjadi “kawah condrodimuko” sekaligus batu ujian, akan kemandirian dan ketegaran Pimpinan PBNU menghadapi intervensi atau setidak-tidaknya ingin menarik-narik dalam “gerbong kekuasaan”. Dalam bahasa Bang Rizal, “NU harus tetap menjadi plat hitam, jangan menjadi plat merah”. Allah a’lam bi sh-shawab.
*) Prof. Dr. Ahmad Rofiq, MA., Sekretaris PWNU Jawa Tengah (1998-2000), Ketua PW LP Maarif (2000-2003) dan Rektor Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang (2008-2010), Guru Besar UIN Walisongo Semarang, Wakil Ketua Umum MUI Jawa Tengah, Direktur LPPOM-MUI Jawa Tengah, Koordinator Wilayah Indonesia Tengah Masyarakat EKonomi Syariah (MES) Pusat, dan Ketua DPS RSI-Sultan Agung Semarang.***