Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)
OPINIJATENG.COM –
Bagian 7
JANGAN GANGGU KENANGANKU
Iben kembali disibukkan dengan kuliahnya.
Seperti dugaan Iben, setelah pernikahan ayahnya tidak ada hal yang berubah menjadi lebih baik.
Iben lebih memilih diam dan tidak pernah menyapa ayah dan ibu tirinya itu.
Sekarang ayahnya rutin pulang ke Semarang setiap akhir pekan.
Jumat malam tiba dan Senin pagi kembali terbang ke Jakarta.
Iben tidak tahu dan tidak ingin tahu, mengapa Lita tidak ikut saja dengan ayahnya ke Jakarta.
Tapi, sepertinya Lita lebih menikmati tinggal di rumah yang ada di Semarang dibandingkan tinggal di rumah dinas yang ada di Jakarta.
Rumah di Semarang ini dibangun dengan keinginan memiliki rumah yang kokoh kuat.
Dulu Ipo memberikan pertimbangan tentang kebutuhan keluarga akan rumah yang baik untuk sebuah keluarga yang bahagia.
Boleh dikatakan, rumah di Semarang ini memiliki nilai yang sangat tinggi, baik secara fisik, finansial, maupun psikologis spiritual.
Rumah itu sekarang terasa sangat sepi.
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 39
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 38
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 37
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 36
Rumah yang besar dan megah, tetapi kehilangan jiwa dan kehangatan penghuninya.
Iben lebih banyak menghabiskan waktunya di kampus.
Bila pulang ke rumah, langsung tenggelam dalam kesunyian kamar mendiang ibunya.
Lita yang sering terlihat mondar-mandir menata halaman dengan tanaman.
Kadang-kadang ditemani Mbok Siti.
Lita dan Iben hampir tidak pernah bertegur sapa.
Sejak peristiwa pelemparan gelas penuh susu itu, Lita sudah tidak ingin lagi berdekatan dengan Iben.
Bagi Iben, itu justru yang diinginkannya.
Iben tidak ingin berkomunikasi lagi dengan Lita, bahkan juga dengan ayahnya.
Setiap bertemu dengan mereka di meja makan, Iben segera menghabiskan makanannya dan kemudian pergi tanpa mengucap sepatah kata pun.
Siang itu Iben pulang agak awal karena sangat lelah setelah sehari sebelumnya dia dan kawan-kawannya pulang kamping dari lereng Gunung Ungaran.
Dia pulang awal karena ingin menghabiskan waktu di kamar ibunya karena sedang tidak ada kuliah.
Tapi, begitu dia sampai di depan pintu kamar ibunya, dia terkejut ketika seseorang sedang berusaha menata ulang kamar ibunya yang selalu dijaganya secara khusus.
“Hei apa yang kamu lakukan di kamar ibuku?!”
Lita terkejut dan tidak sengaja menjatuhkan vas bunga yang sedang dipegangnya.
Iben semakin marah melihat vas bunga kesayangan ibunya jatuh dan pecah berantakan di lantai.
“Berhenti! Jangan pernah masuk ke kamarku dan kamar ibuku. Keluar!”
“Aku hanya membersihkan dan sedikit menatanya. Seharusnya kamu berterima kasih,” balas Lita tidak mau kalah.
“Jangan menyentuh apapun karena apa pun yang kamu sentuh justru akan menjadi kotor!”
Kata-kata Iben sangat menyinggung perasaan Lita.
Sambil bersungut, dia pergi dengan kesal.
Lita menutup pintu kamarnya, di balik pintu dia menangis.
Air matanya sudah tidak bisa terbendung lagi.
Berulang kali menerima hinaan dan caci maki dari banyak orang karena profesinya sebagai penyanyi dangdut sudah biasa dia alami.
Setelah menikah dia mengharapkan segalanya yang lebih baik, tapi yang terjadi justru dia menerima hinaan dan caci maki dari anaknya karena statusnya sebagai ibu tiri.
Seandainya Lita bisa memilih dia tidak akan menikahi laki-laki tua kaya raya yang sudah punya tiga putra dengan usia yang tidak terpaut jauh darinya.
Tadinya, Lita berusaha mencari akhir bagi kesulitan hidupnya, tapi yang didapat justru membuatnya terjebak dalam kesulitan yang lebih menyakitkan.
Dan lagi-lagi tidak ada pilihan lain karena kehidupan nyata tidak pernah berdasar pada kata ‘seandainya’.
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***