Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)
OPINIJATENG.COM –
Orang-orang sibuk melaksanakan tugasnya.
Mereka silih berganti lari atau jalan cepat sepanjang lorong-lorong gedung itu.
Berjalan dan berlari saling bersimpangan, tidak saling menyapa.
Sementara itu di sebuah ruangan yang penuh ketenangan seseorang sedang duduk menatap wajahnya melalui cermin lebar di hadapannya.
Ibas beberapa kali menangani konser musik dan berhasil dengan sukses, tapi kali ini ada beban tersendiri untuknya.
Ini bukan konsernya atau konser artis-artis asuhannya, bukan untuk menghibur tapi menyadarkan.
Ada tanggung jawab besar yang harus ditanggung Ibas atas semua hal yang berkaitan dengan konser ini.
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 36
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 35
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 34
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 33
“Konser antikorupsi. Pengalaman pertama!” Gumam Ibas.
Diraihnya handphone yang tergeletak di meja rias dan menghubungi Selly yang selama ini selalu menjadi tangan kanannya.
“Semua baik-baik saja? Sudah siap?” Ibas langsung bertanya pada intinya.
“Aku kan selalu bisa diandalkan,” jawab suara di seberang sana.
Ibas tersenyum. “Terima kasih,” balasnya seraya menutup telepon.
Sementara itu, di kamarnya Iben telah bersiap.
Dia tidak ingin terlambat datang ke konser kakaknya.
Dengan sangat bersemangat Iben menuruni anak tangga satu demi satu, namun betapa terkejutnya Iben ketika melihat ayahnya sudah berada di ujung anak tangga, dan tentunya dengan Lita yang berdiri di belakangnya.
“Ayah, aku mohon jangan rusak suasana hatiku sekarang,” pinta Iben seolah mengerti tindakan menjengkelkan apa yang akan dilakukan ayahnya.
“Itu juga yang ingin ayah minta darimu,” Theo menjawab tak mau kalah.
Iben tidak melanjutkan langkahnya dan tidak juga kalimatnya, dia hanya menatap ayahnya kesal.
“Akhirnya ayah bisa menemukan alasan yang lebih menguntungkan di konser itu. Datanglah ke sana dengan ayah. Saat kamu lebih dewasa, kamu akan mengerti. Sekarang kamu hanya perlu ikut dengan ayah, lakukan apapun yang ayah katakan. Jangan lakukan hal yang tidak ayah perbolehkan. Ada banyak orang penting yang datang sebagai tamu undangan. Akan lebih baik jika ayah mengenalkanmu bersama Lita pada mereka di sana nanti.”
“Lakukan saja…” Iben berjalan mendekati ayahnya, dan berhenti tepat di depan Lita, lalu mendekatkan mulutnya ke dekat kuping Lita dan melanjutkan kalimatnya dengan berbisik, “… di mimpimu.”
Plaak!
Theo menampar Iben karena sudah tidak sopan padanya.
“Akhirnya..” Iben tersenyum dan memegang pipinya yang memerah.
“Jangan menahannya lagi ayah, lakukan apapun yang ingin ayah lakukan padaku. Aku akan melihat bagaimana perilaku orang dewasa, dan jika aku dewasa nanti aku akan mengerti.”
Iben berjalan melewati Lita dan ayahnya.
Ada sedikit darah di ujung bibirnya, tamparan barusan sangat keras, tapi Iben tidak merasa sakit di wajah itu melainkan di hati.
Kekecewaan, selama ini meski mereka bertengkar hebat, Theo tidak pernah sekalipun menggunakan kekerasan fisik.
Meski demikian Iben merasa lega, karena dengan kejadian ini dia bisa menyadari ayahnya bukan lagi seperti yang dia kenal dulu.
Iben berangkat ke konser bersama Dodit.
Sepanjang jalan Dodit memperhatikan sahabatnya yang sedang menyetir di sampingnya.
Ada yang aneh pada Iben.
Beberapa saat kemudian dia menyadari pipi kiri Iben yang merah seperti bekas dipukul.
“Kenapa pipimu?”
“Oh ini, bekas pukulan yang kemarin belum sembuh,” Iben mengusap pipi kirinya.
“Masa sih? Tapi kenapa justru melebar?”
“Ah, sebenarnya aku terlalu bersemangat datang ke konser kakak, buru-buru dan tidak sengaja menabrak pintu.”
Iben tersenyum dengan terpaksa.
“Tapi ngomong-ngomong kakakmu itu hebat, ya. Aku selalu bertanya-tanya bagaimana keluargamu bisa sehebat itu. Ayahmu Wakil Ketua DPR, kakakmu musisi ternama, dan kamu mahasiswa cerdas yang jadi sahabat baikku,” komentar Dodit dengan sangat antusias.
“Aku punya seorang kakak lagi di Amerika, orang bilang dia berandalan tapi ayahku bilang dia jagoan. Dan ibuku meninggal, secara tidak langsung penyebabnya adalah ayahku sendiri. Saat bertemu, kami tidak saling sapa, saat berpisah tidak saling bicara. Kami terlihat seperti keluarga tapi tidak terasa sebuah keluarga.”
“Maafkan aku, Ben. Konsernya nanti pasti seru! Iya kan?” Dodit berusaha mengalihkan pembicaraan karena merasa tidak enak hati.
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***