27.9 C
Central Java
Senin, 16 Juni 2025

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 35

Banyak Dibaca

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINIJATENG.COM –

Iben tidak mampu membendung air matanya lagi.

Matanya mulai basah.

“Tidak ada alasan untuk tetap tinggal.”

“Adik?! Apa adik tidak bisa jadi alasan untukmu, Kak!”

“Aku tidak merasa punya adik yang cengeng sepertimu,” jawab Ibas dengan senyuman meledek.

“Bahkan setelah usiaku sembilan belas tahun, aku masih tidak punya keberanian seperti yang dimiliki kakak sejak berusia dua belas tahun. Begitukah?”

“Maaf Den, apa masih ada barang yang tertinggal?” Ibas dan Iben sedikit terkejut karena Mbok Siti tiba-tiba datang.

“Tidak Mbok, suruh mereka berangkat, di studio sudah ada orang yang akan menata barang-barangku.”

“Baik, Den, saya permisi,” Mbok Siti pergi dengan perasaan bingung karena melihat Ibas dan Iben yang terkejut saat dia datang. Mbok Siti tahu Iben baru galau karena terlihat matanya merah berair.

“Jadi mengantarku?” tanya Ibas yang segera dijawab dengan anggukan oleh adiknya.

Iben mengantarkan Ibas ke studionya.
Dalam perjalanan mereka merasa canggung.

Banyak hal yang ingin Iben tanyakan dan banyak hal yang ingin Ibas katakan, tapi mereka lebih menikmati suasana tenang dan memilih diam.

“Sebenarnya aku tidak ingin memakai mobil ayah lagi, tapi terima kasih sudah mengantarku,” ucap Ibas sembari turun dari mobil.

“Ini mobilku!” sungut Iben yang kemudian mengikuti kakaknya.

“Dari mana kamu dapat uang untuk membeli mobil semewah ini? Jika bukan uangmu maka bukan milikmu. Bahkan aku tidak yakin mobil ini milik ayah.”

“Apa maksudmu, Kak? Apakah mobil ini hasil korupsi ayah, begitu? Ah, aku gak mau ikut pusing mikirnya. Tapi boleh aku ikut masuk? Aku ingin melihat ruanganmu,” pinta Iben.

“Hehehe… Kamu tidak sepintar yang dikatakan orang lain,” ledek Ibas.

“Sekarang aku hanya seorang adik yang merasa akan kehilangan kakak. Aku tidak ingin memikirkan apapun selain bisa bersamamu, Kak.”

“Baiklah. Tapi jangan berharap kamu bisa berjalan di belakangku dan jangan berharap aku akan memperkenalkan kamu sebagai adikku. Mengerti?”

Iben mengangguk. Dia sangat senang dan bersemangat.

“Aku masuk dulu, setelah lima menit baru kamu boleh masuk,” kata Ibas seperti memerintah pada anak buah.

BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 32

Setelah mengatakan itu Ibas segera pergi dan meninggalkan Iben yang penuh dengan pertanyaan, “bagaimana aku bisa tahu ruangan kakak? Jika ada yang bertanya siapa aku, apa yang harus kujawab?”.

Ibas menyunggingkan bibirnya dan tersenyum kecil.

Iben melangkahkan kakinya dengan ragu-ragu.

Dia terkejut ketika security segera membukakan pintu untuknya dan langsung mempersilakan Iben masuk.

“Apa-paan ini? Kenapa dia tidak memeriksaku? Bagaimana kalau aku membawa bom? Dan lagi, dia sama sekali tidak bertanya apa keperluanku?” maki Iben dalam hati, tapi security itu terus saja tersenyum.

“Di mana ruang Kak Ibas? Maksudku Pak Ibas?” tanya Iben pada resepsionis yang sedari tadi tersenyum malu-malu.

“Yang benar saja! Security dan resepsionis ganjen begini, bagaimana bisa kakakku mempekerjakan mereka” maki Iben lagi.

“Ibas! Bagaimana kalian menyebutnya dan di mana ruangannya? Kamu mendengarku, kan?!” Iben sedikit menaikkan nada suaranya.

“Ah iya, Bos Ibas ruangannya di lantai tiga,” kata resepsionis cantik itu masih dengan senyum manisnya.

Iben segera pergi, tapi setelah beberapa langkah dia kembali.

“Bukankah kau harusnya bertanya siapa aku? Ada perlu apa? Apa sudah ada janji? Bagaimana bisa kau beritahu ruangannya dengan sangat mudah?!” tanya Iben pada wanita itu.

“Tidak.”

“Tidak?! Apanya yang tidak?!”

“Ah, maksud saya…”

Wanita itu bingung melanjutkan kalimatnya.

Iben diam dan menyilangkan dua tangannya di dada menunggu wanita itu menyelesaikan kalimatnya.

“Maksud saya, tidak mudah menemukannya, karena dia tidak selalu ada di ruangannya. Tapi kalau anda memaksa bolehkah saya bertanya nomor telepon anda?”

“No! Aku akan cari sendiri. Jangan pikir aku tidak bisa menemukan ruangan Pak Ibas.”

Di mata Iben, wanita itu tidak pantas menjadi resepsionis. Dan Iben bertanya-tanya kemampuan kakaknya mengurus kantornya sendiri.

“Hufff… Hampir saja,” setelah memastikan Iben sudah benar-benar masuk ke lift wanita itu kembali mengambil handphonenya.

“Halo, Bos?”

“Kamu melakukannya dengan baik?” tanya Ibas

“Bos! Adikmu benar-benar tampan!” suaranya tiba-tiba seperti menjerit.

“Selly! Sekarang aku tahu kamu melakukan hal bodoh lagi!” kata Ibas keras meski sebenarnya dia tersenyum.

“Ma.. maaf Bos. Tapi aku bertanya-tanya kenapa…”

“Tut… Tut… Tut…”

“Halo, Bos? Halo! Ah, selalu saja begini…”, Keluh Selly karena Ibas selalu memutuskan pembicaraan begitu saja.

Iben membuka pintu sebuah ruangan dengan tulisan ‘BIG BOS’ di atas pintunya, tapi Iben tidak menemukan siapapun.

Di ruangan itu ada banyak instrumen musik, beberapa di antaranya adalah yang baru saja dipindahkan dari kamar Ibas.

Ruangan itu tidak terlihat seperti ruangan direktur atau pimpinan pada umumnya.

Berkas-berkas yang ada di meja adalah lagu dan not not balok yang tidak Iben mengerti.

Rak-rak kecil berisi banyak CD berdiri di samping meja.

Ruangan itu lebih terlihat seperti studio musik.

“Hey! apa yang kamu lakukan! Jangan sentuh barang-barangku!”

Suara itu mengejutkan Iben yang hampir saja menyentuh bingkai foto di meja kerja Ibas.

Bukan hanya Iben yang terkejut tapi semua orang yang ada di gedung itu merasa bingung.

Mereka jelas mengenali itu adalah suara ‘Big Bos’ mereka.

Tapi apa yang dia lakukan dengan berbicara tidak jelas di speaker kantor?

Tidak seperti biasanya, Ibas yang terlihat serius dan hati-hati sekarang dengan mudah menunjukkan kecerobohannya.

Seisi gedung bingung dibuatnya.

“Ehemm.. maaf sedikit mengganggu perhatian kalian. Kembali fokus pada pekerjaan kalian, dan jika kalian melihat seorang anak hilang biarkan saja dia karena aku sedang main petak umpet dengannya.”

Klek..

Ibas kemudian menekan tombol off dan kembali mengamati CCTV.

“Shh… Yang benar saja! Lihatlah sekarang siapa yang kekanak-kanakan, Kak,” geruntu Iben.

Dia keluar dari ruangan kakaknya. “Ada berapa lantai gedung ini?”

Iben bertemu dengan banyak musisi juga artis-artis yang selama ini hanya dia tahu beritanya di koran dan TV.

“Permisi, di mana ruang pengawasan?” tanya Iben menghentikan seseorang.

“Aku hanya asisten artis. Yang aku tahu ruang make up dan studio, maaf.”

“Ah iya. Maaf”

Iben kembali mencari orang untuk bertanya.

“Permisi?”

“Iya?” Jawab wanita cantik yang sangat Iben kenal melalui berita koran.

“Apa anda tahu ruang pengawasan?”

“Ah, jadi kamu anak hilang itu? Senang bertemu denganmu! Kalian manis sekali, itulah sebabnya aku selalu ingin punya kakak laki-laki,” ucap wanita itu dengan pipi sedikit merona merah.

“Jadi bisa beritahu aku?” Iben kembali menegaskan pertanyaannya.

“Ah, iya. Aku lupa tiga menit lagi aku ditunggu rehearsal! Permisi aku buru-buru,” ucapnya dengan berlari tanpa menjawab pertanyaan Iben.

“Buru-buru tapi sempat mengatakan hal tidak penting?” Iben menggeleng-gelengkan kepalanya.

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer