26.7 C
Central Java
Selasa, 24 Juni 2025

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 32

Banyak Dibaca

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINIJATENG.COM –

“Tok… Tok… Tok…“

Pintu terdengar diketuk lemah berulang kali tapi masih tidak ada jawaban dari pemilik rumah.

Sudah pukul dua dini hari dan tidak ada orang bertamu di waktu selarut itu.

Dengan penuh perasaan khawatir, seorang wanita membuka pintu rumahnya.

Betapa terkejutnya dia ketika membuka pintu dan mendapati ada tubuh tergolek lemah di depan pintu.

“Tolong! Tolong!” teriakan itu membangunkan Dodit dan para tetangganya.

“Ada apa, Bu?!” tanya Dodit yang segera menghampiri ibunya.

Ibunya yang shock hanya bisa menunjuk ke arah tubuh tak berdaya itu.

Tetangga mulai berdatangan karena khawatir dan penasaran dengan apa yang terjadi.

Dodit memberanikan diri membalikkan tubuh orang itu untuk memastikan wajahnya.

“Iben!” teriak Dodit.

“Iben?” Ibu Dodit seakan tidak percaya orang itu adalah Iben, sahabat dekat putranya yang selalu baik pada keluarganya.

Dodit segera membopong Iben masuk ke rumahnya.

“Tidak apa-apa, dia sahabat anakku. Aku hanya terkejut tadi. Kami akan menolong dia. Maaf telah mengganggu waktu istirahat kalian,” kata Ibu Dodit pada tetangga-tetangganya.

“Bagaimana bisa begini?” Dodit sangat khawatir.

Ibunya dengan sigap memerintahkan adik-adiknya untuk mengambil obat-obatan dan minuman hangat.

“Dia tidak suka berkelahi kan?” Tanya wanita itu pada Dodit.

“Tidak pernah!”

Dodit kemudian mengobati luka-luka dan memar di wajah dan tubuh Iben yang masih setengah pingsan.

“Luka sebanyak ini lebih bisa seperti dikeroyok daripada berkelahi, kan?”

“Apa tidak sebaiknya menelepon ayahnya?”

“Tidak Bu, kita tunggu dia siuman saja. Kita tidak tahu dari mana dia mendapat masalah. Sejauh ini justru ayah dan keluarganyalah sumber masalah baginya.”

“Ibu akan merawatnya, sebentar lagi pasti dia bangun.”

“Terima kasih, Bu,” ucap Dodit.

Ternyata sebentar kemudian Iben membuka mata dan mulutnya menyeringai menahan sakit.

BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 31
Dodit memegang tangan Iben, mendekatkan wajahnya ke wajah Iben.

Mereka saling pandang.

Dodit tersenyum kecil, sedang Iben kembali memejamkan mata.

Tapi tak lama.

Iben membuka mata lagi dan mencoba tersenyum pada Dodit.

Yang terlihat bukannya bibir Iben tersenyum, tapi lebih tepat meringis aneh. Dodit hanya geleng-geleng kepala.

“Kamu belum makan ya sejak sore? Ayo makanlah. Kamu kan tahu keluargaku ini tidak pernah membiarkan siapapun buang-buang makanan,” bujuk Dodit pada Iben yang masih lemas.

“Makanya tidak perlu repot-repot siapkan makanan untukku,” jawab Iben.

“Siapa yang repot. Iben kan anak ibu juga. Dan seorang ibu tidak akan membiarkan putranya sakit,” kata ibu Dodit yang tiba-tiba masuk ke kamar Dodit.

“Ibu…” kata Iben dan Dodit.

Wanita yang telah mempunyai satu orang anak laki-laki dan tiga anak perempuan itu duduk di samping Iben.

Dia mengambil mangkuk bubur dan menyuapkannya pada Iben.

Iben tidak kuasa menolak karena Ibu Dodit terus memaksanya untuk makan.

“Sudah Bu, aku bisa makan sendiri,” kata Iben yang kemudian mengambil mangkuk buburnya.

“Lihat tangan kananmu bengkak, jika sudah agak baikan segera ke rumah sakit dengan Dodit, ibu khawatir tanganmu retak,” ucap Ibu Dodit yang tidak membiarkan Iben mengambil mangkuk bubur di tangannya.

Dodit senang karena ibunya bersikap baik pada sahabat dekatnya itu. Tapi senyum Dodit yang tadi mengembang segera pudar saat melihat air mata yang mengalir di pipi Iben.

“Ben, kamu baik-baik saja?” tanya Dodit.

“Ibu akan ambilkan obat agar kamu tidak kesakitan lagi,” Ibu Dodit mengira Iben menangis karena merasa sakit pada lukanya dan kemudian pergi untuk mengambil obat.

“Rindu dengan ibumu?” tanya Dodit yang dijawab dengan anggukan dan senyuman oleh Iben.

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer