Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)
OPINIJATENG.COM –
Iben terkejut hingga tersedak makanan.
Ikang melihat wajah ayahnya untuk memastikan apakah dia serius mengatakan hal itu.
Sementara Ibas tersenyum sinis dan tetap fokus pada makanannya.
“Apakah harus secepat itu yah?” Tanya Ikang.
“Ayah, kami bukan anak kecil lagi. Kami tidak butuh ibu tiri.” Kata Iben tidak mau menerima keputusan ayahnya.
“Ayah tidak sedang meminta izin kalian.” jawab Theo santai.
“Tidak perlu repot mencari isteri kalau akhirnya ditinggal pergi.” Kata Ibas masih sinis.
“Siapa dia? Apa pekerjaannya?” tanya Ikang penasaran.
“Namanya Lita, tidak penting pekerjaannya. Kalian juga akan bertemu dia nanti.”
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 30
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 29
“Lita? Jangan katakan dia si penyanyi dangdut itu,” kata Iben yang kemudian membanting sendok dan garpu.
“Jaga sikapmu! Kita ada di tempat umum!” Bentak Theo pada Iben.
“Hahaha… Keren sekali. Ternyata ayahku menyukai musik. Genrenya adalah dangdut, harusnya aku bisa menebak ini,” kata Iben.
“Dengar! Dia tidak akan bernyanyi lagi setelah dia menikah dengan ayah.”
“Terserah lah. Aku sedang sibuk bersiap kembali ke Australia. Jadi jangan minta aku jadi pengisi acara di acara pernikahan nanti.”
“Kakak mau pergi lagi secepat ini?” tanya Iben.
“Sebaiknya, kalian tidak pergi sebelum pernikahan ayah! Ayah jadwalkan di akhir masa reses bulan depan!”
“Maaf ayah, tapi aku juga harus segera kembali ke Amerika dan aku sudah pesan tiket,” kata Ikang.
“Kak Ikang juga?” Iben terlihat semakin shock.
“Aku harus melanjutkan kuliah. Aku sudah bolos hampir sebulan. Bulan ini ada presentasi penting. Ayah sendiri yang selalu berkata kuliahku adalah yang utama,” tambah Ikang lagi.
Theo hanya diam dan tidak bisa mendebat perkataan Ikang.
“Ayah akan adakan makan malam lagi, agar kalian bisa bertemu dan berkenalan dengan calon ibu kalian, sebelum kalian pergi.”
“Ayah keterlaluan! Belum genap tiga bulan ibu pergi, ayah sudah mau kawin lagi. Huh…” Iben marah dan segera pergi.
Berjalan sempoyongan di trotoar jalan raya tanpa arah dan tujuan, sendirian dan dengan pikiran kacau, Iben terlihat seperti orang mabuk.
Dia sama sekali tidak ingin pulang ke rumah.
Dia marah pada ayahnya, marah pada kedua kakaknya, dan marah pada dirinya sendiri.
“Kenapa hanya aku satu-satunya orang yang harus terjebak!” Iben berteriak ke jalanan yang penuh dengan kendaraan lalu lalang.
“Kenapa tidak ada yang peduli!” teriaknya lagi.
Dia hanya melihat lampu-lampu kendaraan yang lewat silih berganti.
Pandangannya sedikit kabur karena air mata mulai menggenang di kelopak matanya.
“Lihat ada siapa di sini!”
Iben mencari sumber suara berasal.
Ternyata segerombolan preman sedang berjalan ke arahnya.
“Anak kecil yang tersesat?”
Iben tidak menanggapi preman-preman itu dan berjalan melewati mereka.
Tapi seorang preman menahannya.
“Sepertinya orang kaya. Mau pergi ke mana, Pangeran?” ucapnya sambil memberi instruksi berupa kode gerakan tangan pada yang lainnya.
Salah satu dari mereka kemudian melompat menghadang di depan Iben.
Dia memandang Ibu dengan wajah cengar cengir menyebalkan.
“Hmm bagus…” Ucap Iben sambil tersenyum.
Iben menemukan cara untuk melampiaskan kemarahannya.
Segera dia waspada dan siap menerima segala kemungkinan.
“Hahahah… Kamu mau melawan kami?” Kata orang yang berdiri di depannya.
Iben tidak ingin banyak omong lagi.
Seumur hidupnya, dia belum pernah berkelahi beneran.
Sewaktu kecil memang dia suka berkelahi dengan Ibas atau kawan-kawan bermainnya, hanya untuk urusan kecil seperti berebut mainan.
Sedang untuk berkelahi beneran untuk mempertahankan diri dari ancaman seperti malam ini, Iben sama sekali tidak pernah mengharapkannya.
Dan malam ini dia harus berkelahi melawan tiga orang sekaligus.
Tapi Iben justru sama sekali tidak merasa takut.
Dia merasa ada saluran pelampiasan emosinya yang bergolak menghentak-hentak mau meledakkan isi dada dan kepalanya.
Maka, tanpa isyarat, Iben langsung melayangkan tinjunya tepat di ujung hidung preman yang berdiri menghadang di depannya.
Preman itu kaget. Terlambat bereaksi. Tinju Iben dengan mulus mendarat di ujung hidungnya.
Nafasnya terasa terhenti, tersedak menghantam balik paru-parunya.
Tubuhnya limbung terdorong ke belakang.
Matanya sempat gelap sesaat.
Ketika kesadarannya sudah kembali, dia mengusap hidungnya yang terasa nyeri.
Terasa ada cairan darah membasahi punggung tangannya.
Sementara itu, dua preman lainnya, begitu melihat wajah temannya berdarah ditinju Iben, langsung melayangkan pukulan dan tendangan ke tubuh Iben.
Terjadilah perkelahian tidak seimbang antara seorang anak laki-laki melawan tiga preman.
Orang yang melihat kejadian itu hanya diam saja, tidak mau ikut campur, tidak mau terlibat atau bahkan pura-pura tidak tahu.
Iben bukan atlet bela diri, dia juga belum pernah terlibat perkelahian fisik sebelumnya.
Dia hanya anak laki-laki sembilan belas tahun yang sedang marah pada hidupnya. (Bersambung)
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***