Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)
OPINIJATENG.COM –
Mbok Siti melihat Iben sedang merapihkan kamar ibunya.
“Den, biar saya saja yang bersihkan.”
“Tidak apa-apa, Mbok. Mulai sekarang kamar ini jadi kamarku. Aku yang akan menjaga dan merawat barang-barang ibu,” jawab Iben yang masih saja sibuk dengan barang-barang ibunya.
“Tapi Den, kalau untuk urusan bersih-bersih biar saya saja yang lakukan.”
“Hari ini aku tidak ada kuliah Mbok, aku ingin menghabiskan waktu dengan kenangan bersama ibu. Cuma ini yang bisa aku lakukan agar merasa dekat dengan ibu. Mbok bisa bersihkan kamar ibu kalau aku sedang sibuk.”
“Baik, Den, segera panggil saya kalau butuh sesuatu.”
“Iya Mbok. Sebelumnya terima kasih telah menjaga ibuku selama ini.”
“Saya yang seharusnya berterima kasih karena telah dianggap keluarga sendiri oleh almarhumah. Beliau orang yang sangat baik dan saya selalu berdoa agar beliau mendapatkan tempat di surga.”
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 24
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 23
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 22
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 21
“Aamiin, terima kasih Mbok. Oh iya, baju-baju yang biasa dipakai ibu ditaruh di mana Mbok?”
“Mau saya cuci Den.”
“Jangan!”
Spontan Iben berteriak.
Mbok Siti terkejut karena Iben tiba-tiba berteriak.
“Ba.. baik, Den. Segera saya bawa ke sini,” wanita tengah baya itu segera berlari keluar kamar dengan perasaan gugup.
Satu-satunya hal yang masih bisa Iben lakukan adalah merawat barang-barang ibunya.
Dari baju-bajunya Iben bisa merasakan keharuman ibu yang sangat dia rindukan.
Bahkan dari baju tidur yang terakhir dipakai ibunya, Iben masih dapat membaui aroma tubuh ibunya.
Semua itu memberikan sensasi ketenangan luar biasa pada diri Iben.
Dengan tidur di kamar ibunya yang hangat membuat Iben merasakan pelukannya.
Dengan melihat benda-benda kesayangan dan foto-foto ibunya, Iben merasa yakin bahwa dia tetap dekat dengan ibunya walaupun dunia mereka telah berbeda.
Saat Iben kembali ke kamarnya dia melihat buku-buku Jack Johnson di meja belajarnya.
Ketika Iben membuka lembar pertama dia tersenyum melihat ada tanda tangan ‘Je-Je’.
Dia teringat dengan sahabatnya Dodit yang sangat mengagumi ‘Je-Je’.
Iben segera berlari ke kamar Ikang.
Kemarin malam Iben melihat Ikang sedang membereskan dokumen-dokumen sekarang dia melihat Ikang sedang membereskan pakaian.
“Kakak mau pergi ke mana?” tanya Iben yang segera mengagetkan Ikang.
“Kau! Tidak bisa ketuk pintu ya?!” Ikang memelototkan mata pada Iben dan terus saja melempar pakaiannya ke dalam koper.
“Kakak mau kembali ke Amerika? Tapi ini belum 40 hari setelah ibu meninggal.”
“Siapa yang peduli? Aku harus segera pergi. Di sini membosankan,” jawab Ikang yang kemudian menjatuhkan tubuhnya di sofa.
“Kak..”
“Iya buku itu dariku. Ambil saja, aku tidak butuh,” jawab Ikang santai.
Melihat wajah penasaran Iben, Ikang segera mencegahnya untuk tidak bertanya banyak hal.
“Dengar ya, aku baru pulang jam 3 pagi tadi jadi jangan ganggu waktu istirahatku. Jangan banyak bertanya dan jangan berterima kasih soal buku-buku itu,” ucap Ikang yang kemudian memejamkan mata.
“Terima kasih, kak,” jawab Iben, kemudian pergi.
Iben sangat senang dengan buku-buku yang dia dapatkan.
Dia ingin memberikannya pada Dodit sebagai ucapan terima kasih karena telah menjadi sahabat yang pengertian dan selalu ada waktu untuk mendengar cerita-ceritanya.
Meski demikian Iben masih penasaran kenapa Ikang membereskan barang-barangnya secepat ini.
Iben sedih jika memikirkan bahwa kakaknya akan pergi lagi.
Lalu Iben menuju kamar kakaknya yang lain.
Dia tahu, Ibas disibukkan dengan albumnya.
Seperti biasa Ibas tidak membutuhkan waktu lama untuk menciptakan lagu.
Dia juga telah menjadwalkan untuk proses rekaman bersama teman-temannya untuk lagu-lagu anti korupsinya.
Tapi dia selalu melupakan dirinya sendiri saat sedang mengerjakan karyanya.
Iben tahu betul hal itu.
Itulah sebabnya, sebelum sampai ke kamar Ibas, dia balik kanan berjalan cepat ke arah dapur.
Dia mengambil makanan dan minuman dan mengantarkannya ke kamar Ibas.
Hal yang biasanya dilakukan ibunya.
Iben membuka kamar Ibas yang tak terkunci.
Ibas masih terlihat tertidur lelap dengan gitar di sampingnya dan kertas kertas lagu berserakan.
Iben tidak ingin membangunkan kakaknya yang terlihat kelelahan.
Dia meletakkan makanan dan minuman untuk sarapan di meja samping tempat tidur Ibas. (Bersambung)
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***