Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 22
Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

OPINIJATENG.COM –
Tahun kelulusanku dan Kak Ibas adalah tahun yang mengawali permusuhan ayah dan Kak Ibas.
Kakakku seperti biasa dia selalu menolak apa yang ayah perintahkan padanya.
Dia tidak mau masuk ke universitas yang ayah tunjuk untuknya.
Universitas yang sama dengan Kak Ikang dengan pilihan jurusan politik atau hukum.
Ternyata diam-diam Kak Ibas telah memperoleh beasiswa sekolah musik di Australia.
Dia pergi tanpa berpamitan, hanya meninggalkan sepucuk surat.
Surat itu bukan tulisan tangannya melainkan surat dari universitas di Australia yang memberinya beasiswa.
Dia tidak pernah meminta uang pada ayah. Begitulah yang terjadi sampai sekarang.
Seperti halnya Kak Ikang, Kak Ibas tidak pernah memberikan kabar apapun pada ibu.
Kak Ibas tidak pernah mengangkat telepon dan tidak pernah membalas SMS hingga membuat ibu hampir frustrasi.
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 1
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 2
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 3
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 4
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 5
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 6
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 7
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 8
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 9
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 10
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 11
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 12
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 13
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 14
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 15
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 16
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 17
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 18
Ibu sangat kehilangan dan ingin sekali menyusul Kak Ibas ke Australia tapi ayah tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
“Jangan pernah berpikir untuk membangkang seperti Ibas! Masuk SMA dan ambil IPS!” Perintah ayah padaku.
Tidak pernah terpikir olehku ternyata dalam keluargaku kebahagiaan ada batasnya.
Saat kakakku menginjak masa remaja mereka mulai meninggalkan keluarga, mungkin itu juga yang akan terjadi padaku nantinya.
Sebenarnya aku tidak akan meninggalkan mereka tapi aku sudah ditinggalkan mereka.
Bersamaan dengan memasuki masa remajaku, aku kehilangan kebahagiaanku.
Aku memilih untuk mengurung diri dan berteman dengan buku-buku perpustakaan.
Karir politik ayah semakin melejit.
Setelah satu periode menjadi anggota DPRD Provinsi, dalam Pemilu Legislatif berikutnya, ayah dicalonkan oleh partainya menjadi calon legislator pusat.
Karena kehebatan ayah membangun jaringan politik sampai daerah-daerah, ayah dengan mulus meraih suara tertinggi.
Jadilah ayah anggota DPR RI, langsung terpilih sebagai salah satu Wakil Ketua, berkantor di Gedung Senayan yang megah.
Posisi yang bagus bagi ayahku, tapi tidak bagi aku dan ibu.
Ayah lebih banyak tinggal di Jakarta. Jarang pulang.
Ayah seperti tidak kenal waktu dalam bekerja.
Aku dan ibu sampai tidak pernah tahu apa yang ayah kerjakan. Urusan ‘bisnis’ ‘politik’ ‘pemerintahan’ itu yang selalu ayah jadikan alasan.
Aku jadi sangat mengenal tiga kata itu.
Jargon milik ayahku.
Perlahan bersamaan dengan mendapatkan berbagai kemewahan kami kehilangan kebersamaan.
“Kamu nanti akan kuliah di Amerika seperti Ikang,” perintah ayah lagi.
“Tidak, ayah. Aku tidak akan pernah meninggalkan ibu sendirian. Aku tidak mau ke luar negeri.” jawabku sengit.
“Sendirian apanya? Kan ada ayah di sini.”
“Di mana? Di kantor DPR Senayan sana atau kantor perusahaan atau di club?”
“Iben, minta maaf pada ayahmu!” Pinta ibuku, dia sangat takut ayah marah.
“Aku akan kuliah di sini. Titik!” Sekali lagi jawabku cukup keras.
“Baiklah kalau itu maumu. Tapi kamu harus belajar pajak,” balas ayah.
“Ayah, sampai kapan ayah mau menyetir anak-anak ayah semau keinginan ayah?”
“Ini sudah final dan ayah tidak mau negosiasi lagi atau ayah kirim kamu ke Amerika.” Balas ayah tak kalah keras.
Aku tidak mungkin lagi membantah perintah.
Aku lalu berlari ke kamarku, menutup pintunya dengan menendang daun pintu hingga menimbulkan suara keras.
Tapi akhirnya aku tetap membangkang seperti Kak Ibas.
Begitu lulus SMA aku mendaftar di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Budaya, Universitas Diponegoro.
Universitas paling favorit di Semarang, bahkan di Jawa Tengah.
Begitu ayah tahu aku mendaftar dan diterima di Fakultas Sastra, ayah marah besar.
Ayah memaki aku sebagai anak tak berbakti pada orangtua.
Segala umpatan keluar dari mulut ayah.
Ya, aku sudah berani membangkang dan harus siap menghadapi apapun risikonya.
Tapi aku masih merasa lega, ternyata ibu berdiri di belakangku.
Ibu membelaku di depan ayah.
Ibu mengingatkan ayah agar tidak kehilangan anak bungsunya, seperti ayah sudah kehilangan anak tengahnya.
Begitulah awal mulanya kenapa antara aku dan Kak Ibas kemudian terjadi perang dingin dengan ayah.
Terus terang, aku memilih kuliah di Fakultas Sastra juga sekedar ingin memperlihatkan pembangkanganku pada ayah.
Aku tidak terlalu tertarik dengan sastra.
Sesekali saja aku baca novel-novel populer.
Tapi aku cukup cerdas untuk bisa mengerti dan memahami dengan baik apa itu sastra.
Dan setidaknya aku masih bisa menghabiskan waktu di Perpustakaan setelah jam kuliah selesai. (Bersambung)
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***
