Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

OPINIJATENG.com –
IPO menggerakkan kepala ke arah kanan, sebagai isyarat agar Iben segera bangkit dan keluar kamar.
Iben agak kesal pada ibunya karena kata-katanya ditirukan.
“Oke..oke! Aku ini sayang ibu, jadi apa pun instruksi ibu pasti aku laksanakan. Tidak usah khawatir, Bu”, celoteh Iben sambil berjalan mendahului ibunya yang masih berdiri di samping pintu kamarnya.
Iben menghentikan langkah kakinya di anak tangga yang terakhir.
Dia memandangi punggung ayahnya yang duduk membelakanginya.
Punggung tempat di mana dulu sewaktu dia masih kecil pernah digendong.
Entah sudah berapa lama ayahnya pergi dari rumah, ke Jakarta, bahkan kadang ke luar negeri dengan alasan pekerjaan.
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 1
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 2
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 3
Pulang hanya sesekali, dua tiga hari lalu pergi lagi.
Dia merasa seperti tidak pernah punya ayah beberapa tahun terakhir ini.
Dan walau hari ini ayahnya ada di rumah tetap saja sosoknya terasa jauh.
“Ayo, berangkat. Pak Anwar sudah siap sejak tadi, tuh!” Ajak ibu, yang langsung menarik tangan Theo untuk berdiri.
Iben hanya berjalan dalam-diam.
Begitu juga sepanjang perjalanan ke restoran, dia duduk di kursi depan, di samping Pak Anwar.
Sedang ibunya duduk di kursi belakang bersama ayahnya.
Iben sama sekali tidak ingin menyapa ayahnya.
Waktu dua puluh menit perjalanan dari rumah ke restoran terasa panjang dan sepi.
Ipo sendiri sepertinya lebih banyak ngobrol dengan Theo, tanpa melibatkan Iben.
Sepertinya Ipo sengaja membiarkan Iben dengan kesendiriannya.
Ketika mereka sudah duduk melingkari meja makan di restoran, Theo melihat Iben sambil tersenyum.
Setelah minum seteguk jus jeruk yang sudah terhidang, Theo membuka pembicaraan.
“Bagaimana kuliahmu, Ben? Cukup menyenangkan belajar Sastra?” Theo bertanya dengan nada datar dan berwibawa.
Khas gaya politikus dan pejabat ketika bicara di televisi.
“Hm… Biasa sajalah, Yah,” jawab Iben singkat sambil pura-pura sibuk mengambil makanan.
Ipo yang menyadari suasana dingin di antara keduanya mencoba untuk mencairkan suasana.
“Ayah kan tahu, Iben ini cerdas, dia bisa belajar apa saja dengan mudah. Iya kan,Ben?”
“Ah, ibu. Itu pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban,” jawab Iben masih sibuk dengan mengambil makanan.
“Apa kamu tidak ingin belajar di luar negeri seperti kakak-kakakmu?” Theo mencoba menyelidik.
“Jika yang ayah maksud seperti Kak Ikang aku pasti menolak, tapi jika yang ayah maksud seperti Kak Ibas, akan aku pertimbangkan.”
Theo hanya berdehem.
Dia juga mulai menikmati makanannya.
Dia seperti tidak ambil pusing dengan kata-kata Iben yang bernada menyindirnya.
“Ah, Iben juga pintar bahasa Inggris, walau kuliahnya ambil Sastra Indonesia. Dia pasti juga bisa kuliah dengan baik di luar negeri,” ucap Ipo menimpali pembicaraan antara ayah dan anak itu.
“Bisa bicara bahasa Inggris bukan jaminan bisa kuliah dengan baik di luar negeri, Bu. Belajar itu yang penting sesuai minat,” kata Iben sambil menatap ibunya dengan wajah serius.
“Hm… Okelah! Tapi kamu tidak ikut-ikutan teman-temanmu yang suka demonstrasi bikin onar itu, kan? Demokrasi itu menuntut kepemimpinan yang tangguh. Percuma saja para mahasiswa itu demo teriak-teriak di jalanan. Percayalah, begitu mereka nanti lulus dan bekerja, masuk lingkaran kekuasaan, mereka juga tidak akan berbeda dengan pendahulunya.” Theo seperti menguliahi Iben. Kata-katanya berat penuh tekanan.
“Mahasiswa demo saja situasinya seperti ini. Tak terbayangkan jadi apa negeri ini bila mahasiswanya tak acuh diam saja, tidak peduli. Kasihan rakyat kecil. Hidup susah dan menderita, sementara para pemimpinnya korup dan hidup mewah foya-foya,” Iben bicara penuh semangat.
Dan, selesai bicara, dia melirik ayahnya yang duduk di samping ibunya.
“Huh… Anak muda di mana-mana sama saja. Idealis, sok moralis. Padahal sesungguhnya belum tahu apa-apa. Ayah dulu waktu masih mahasiswa juga sama seperti kamu.Tahu kamu apa itu The Toilet Syndrome?” tanya Theo tiba-tiba.
Iben mendongakkan kepala, melihat sekilas wajah Theo, “Hehehe…ya tahulah,” jawabnya sambil tersenyum kecil.
“Itulah para mahasiswa dan anak-anak muda yang suka demo. Mereka seperti berjalan di depan toilet umum. Pencet hidung sambil memaki toilet busuk. Tapi kalau mereka sudah masuk toilet, hm…asyik berlama-lama, malah sambil merokok pula. Coba lihat, para pejabat dan politisi yang kalian demo itu, bukankah mereka juga biangnya demonstran waktu mahasiswa dulu? Bukankah mereka itu bagian dari penolak kemapanan? Tapi lihat sekarang! Mereka sudah berada dalam toilet. Mereka lupa dengan bau toilet yang dimakinya saat mereka masih di luar memencet hidung.”
Theo bicara dengan nada agak dingin. Iben menghela nafas panjang, lalu katanya, “Kayaknya aku memang beda dengan ayah. Kalau Kak Ikang mungkin sama. Dia pernah bilang pingin jadi politikus seperti ayah..Kalau aku sih, no way…”
Iben berhenti sejenak, lalu lanjutnya: “Aku tetap menganggap toilet itu bau busuk. Dan selamanya tak ingin masuk ke dalamnya agar tidak tercemari bau busuknya.”
“Ih, kenapa sih malah pada ngomong soal toilet?” Ipo mencoba memutus pembicaraan antara Theo dan Iben. “Gak asyik ah, bikin selera malah menguap entah ke mana.”
Theo tidak menanggapi kata-kata Iben. Juga kata-kata Ipo.
Dia lalu sibuk membongkar kepiting dan memakannya dengan lahap.
Iben sendiri akhirnya ikut diam, dan mencoba menghabiskan makanan di piringnya. (bersambung)
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***