23.9 C
Central Java
Sabtu, 14 Juni 2025

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 3

Banyak Dibaca

Sejak hari Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Ini murni fiksi. Ini murni sebuah karya sastra. Isi di luar tanggungjawab redaksi.

Wardjito Soeharso

OPINIJATENG.com

SAMPAI Iben lulus SMA dan masuk Perguruan Tinggi, dia memilih kuliah di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Budaya, Universitas Diponegoro, universitas paling ternama di Semarang, ayahnya tidak pernah mau tahu.

Ayahnya tetap saja sibuk dengan teman-teman partainya.

Kedua kakaknya, Ikang dan Ibas, malah memilih kuliah di luar negeri.

Ikang di Boston, Amerika Serikat, dan Ibas di Sydney, Australia.

Maka, lengkaplah kesunyian hidup Iben.

Sehari-hari di rumah hanya dengan ibunya dan Mbok Siti, pembantu yang sangat setia menemani ibu dan dirinya di rumah ini.

Itulah sebabnya, Iben justru merasa terganggu bila ayahnya pulang.

Pada tahun-tahun awal dia masih di SMP, ibunya masih menemani ayahnya tidur di kamar utama.

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 1

Jadi, kalau ayahnya pulang, berarti Iben kesepian, harus tidur sendirian.

Tapi, seingatnya sejak dia di SMA, jadi sudah tiga empat tahun terakhir ini, ibunya sudah jarang menemani tidur ayahnya di kamar utama.

Ibunya tidur sendirian di kamar sebelah. Ibunya juga sudah tidak mau lagi tidur bersamanya.

Alasannya, Iben sudah besar, sudah dewasa, harus tidur sendirian.

Dan malam nanti ayahnya mau pulang ke rumah.

Bagaimanapun, sepertinya ibunya tetap bahagia menyambut suaminya pulang.

Kadang Iben berpikir, apakah ibunya tidak pernah merasa suaminya yang juga ayahnya itu sekian lama mengabaikan anak-anak dan istrinya?

Ayah yang tega membiarkan istrinya kesepian bahkan harus tidur di luar kamar utama agar tidak terlalu merindukan kehadiran suaminya?

“Kenapa kamu jadi pucat sayang?”

Ipo memegang tangan Iben.

“Tanganmu dingin sekali, kamu baik-baik saja? Sebaiknya kamu istirahat.”

Nada bicara Ipo terasa sangat khawatir, tapi Iben diam saja.

“Hey! Iben kenapa melamun?”

Ipo pelan memukul mesra pipi Iben

“Eh…? Ibu tadi bilang apa?” Tanya Iben seperti orang bingung.

“Apa yang kamu pikirkan?”

Raut wajah Ipo terlihat semakin khawatir.

“Aku hanya sedang memikirkan bagaimana mungkin kekuatan cinta bisa mematahkan rasa pedih dan nyeri yang begitu lama menghantui seorang wanita.”

Iben seperti bergumam, sedang matanya memandang jauh ke luar rumah, ke ujung cakrawala.

“Hm…?”

Ipo terkejut dan juga heran dengan apa yang dikatakan oleh Iben.

Tapi Ipo memutuskan untuk diam dan tidak bertanya karena dia menyadari perubahan suasana di hati putranya itu.

Atmosfer rumah itu berubah menjadi dingin.

Iben sibuk memikirkan betapa dia sesungguhnya tidak berharap akan kedatangan ayahnya, tapi dia bisa merasakan betapa ibu yang sangat disayanginya justru mengharap dan menanti ayahnya pulang.

Sementara itu, Ipo terlalu takut untuk berbicara.

Dia tidak ingin melukai perasaan anaknya karena perasaan bahagianya.

Iben tidak suka pada Theo karena dalam pemahamannya Theo bukanlah suami dan ayah yang baik.

Di mata Iben, Theo telah menelantarkan ibunya, tidak peduli dengan dirinya.

Sementara Ipo tidak bisa menyalahkan siapapun, Theo dan Iben adalah dua orang yang paling dekat di hatinya.

Bagaimanapun, Theo adalah suami dan ayah anak-anaknya.

“Iben?”

Ipo memulai lagi pembicaraan tanpa mengalihkan fokus pandangan dari wajah Iben.

“Hm…”

“Apa kamu marah?”

“Apa ibu bahagia?”

Iben bertanya seperti menyelidik.

“Bolehkah seorang ibu bahagia jika putranya terluka?”

“Harus! Karena kebahagiaan putramu ini adalah saat melihat ibunya bahagia. Bagaimana bisa ibu mengatakan aku terluka?”

Ibu menengok ke arah Iben dan tersenyum.

“Kau memang putra kesayangan ibu. Terima kasih.”

“Ibu, jangan lupakan kakak-kakakku, mereka juga putramu.”

Iben berkata dengan nada agak tinggi, “Apa ibu senang saat melihat Kak Ibas terus-terusan menyalahkanku karena ibu pilih kasih?”

“Ibu tidak pilih kasih, Ben. Hanya saja mereka tidak ingin mengerti kasih sayang ibu dan memutuskan untuk pergi jauh. Apa ibu sudah gagal menjadi ibu yang baik?”

“Lebih tepatnya diputuskan, Bu. Ibu memang bukan ibu yang baik tapi ibu yang terbaik di dunia!”

Ipo tersenyum kecut, “Semua ini salah ibu.”

Ipo menunduk, melihat jari-jari kakinya yang beralas sandal.
“Ini bukan salah ibu, bukan juga salah kakak-kakakku.”

Iben berkata pelan sambil memeluk Ipo yang mulai meneteskan air mata.

“Tapi ini juga bukan salah ayahmu.”

“Tentu saja bukan. Yang terjadi ini bukan kesalahan kita semua, tapi juga bukan kebenaran kita semua. Masing masing kita ingin melangkah ke jalan yang benar menurut kita sendiri. Jadi, Bu, biarkan aku mencintai ayah justru dengan benci. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk saat ini.”

“Hai….kita malah jadi lupa membuat persiapan penyambutan tamu istimewa kita.”

Iben sedikit berteriak setengah melompat, mencoba mencairkan suasana yang mulai beku. Ipo tersenyum melihat tingkah Iben.

“Eh, iya ya. Ayahmu landing nanti jam lima sore. Kita reservasi tempat di Rasa Laut saja ya? Ayahmu kan paling suka masakan seafood di sana.”

“Oke, Bu. Mana yang baik untuk ibu tentu baik pula untuk Iben,” jawab Iben cepat sambil mencium pipi ibunya dengan mesra.

“Ah, kamu. Tak pernah berubah dari sejak dulu,” kata Ipo, sambil mengucek-ucek rambut Iben yang masih agak basah. (bersambung)

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer