Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)
OPINIJATENG.COM –
Malam terasa begitu sepi.
Ini malam ketiga sejak Ipo meninggal.
Rumah ini pun seperti tidak berpenghuni.
Saudara dan kerabat sudah pada pulang.
Terakhir Om Sony, salah satu sahabat Theo yang kerja sebagai pengacara di Surabaya, yang datang tadi siang, sudah pulang sore tadi.
Theo yang mengantar Om Sony ke bandara, sampai malam ini belum pulang.
Entah terus pergi ke mana, tak ada yang tahu.
Setelah membereskan bekas makan malam, Mbok Siti juga segera menghilang di belakang.
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 1
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 2
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 3
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 4
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 5
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 6
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 7
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 8
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 9
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 10
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 11
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 12
Ikang sejak selesai makan malam menutup diri di kamarnya.
Begitu juga dengan Ibas.
Iben jadi kesepian sendiri di depan televisi yang menurutnya acaranya sangat tidak menarik.
Ditinggalkannya televisi.
Dia naik tangga menuju lantai atas.
Tanpa Iben sadari dia telah berjalan melewati kamarnya dan berada tepat di depan pintu kamar Ibas.
“Tok… Tok… Tok… “
Iben mengetuk pintu.
Hanya menunggu beberapa detik pintu itu terbuka.
“Kak, boleh aku masuk?” kata Iben pada Ibas yang sekarang berdiri tepat di hadapannya.
Ibas berbalik dan meninggalkan Iben, “Ini bukan kamarku, ini juga bukan rumahku. Tidurlah sesukamu tapi jangan harap aku mau berbagi ranjang denganmu.”
Iben tersenyum dan segera duduk di sofa. “Terima kasih, Kak.”
Ibas berpura-pura tidur meskipun dia sebenarnya tidak bisa tidur.
Iben tidur di sofa dan sama seperti Ibas, dia tidak bisa tidur.
Matanya menerawang ke langit langit kamar yang luas.
Sesekali memperbaiki posisi tidur dan memandangi punggung kakaknya.
“Kakak sudah tidur?” Iben bertanya pelan.
“Kak, aku benci dengan ayah karena sering berkata buruk tentang Ibu, Kakak setuju kan?”
“Aku yakin ayah sering pergi bukan untuk urusan bisnis tapi untuk hal yang lebih buruk. Hampir setiap malam ibu duduk di depan televisi hanya untuk menunggu kantuk, dan Kakak tahu bagaimana menderitanya ibu?”
“Jika Kakak melihatnya pasti Kakak tidak bisa membenci ibu lagi,” Ibas tetap berpura-pura tidur tapi mendengarkan Iben.
“Aku merindukan ibu, sampai-sampai tadi aku tidak sadar berjalan dan berdiri di depan kamarnya.”
“Kamar tempat ibu mengasingkan diri.”
“Ayah terlalu sibuk dengan alasan bisnis, politik, atau urusan pemerintahan.”
“Ayah lebih suka berada di Jakarta sendirian.”
“Aku tidak mengerti kenapa semua itu harus menyita seluruh waktu ayah.”
“Kenapa ayah tidak mengajak ibu ke Jakarta? Kenapa ibu tidak mau ikut ayah ke Jakarta?”
“Ibu tidak pernah tidur di kamar utama, kamar di mana ibu seharusnya bisa menghabiskan waktu dengan Ayah setiap malam. Ibu sengaja memilih kamar lain agar tidak merindukan ayah.” (bersambung)
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***