23.2 C
Central Java
Sabtu, 14 Juni 2025

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 5

Banyak Dibaca

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINIJATENG.com –

SEMENTARA itu, seorang wanita tengah sibuk mondar-mandir di depan pintu rumahnya, dia menggenggam handphonenya erat.

Dia adalah Ipo, meski tidak lagi muda dia tetap terlihat cantik.

Sore ini dia mengenakan pakaian terbaiknya demi menyambut kepulangan sang suami.

Meski baru sepuluh menit menunggu baginya terasa berjam-jam karena dia sudah tidak sabar.

BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 1
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 2
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 3

Jika berkaca pada masa lalu, waktu ternyata begitu cepat berlalu, dan jika menatap masa depan, waktu terasa lamban berjalan.

Waktu juga yang telah mengubah banyak hal pada Theo, suaminya.

Meski demikian, cinta Ipo pada Theo tetap sama, tidak pernah berubah.

Ipo selalu mengingat nasehat mendiang bapaknya, bahwa istri itu swarga nunut neraka katut.

Sudah ditakdirkan oleh nasib, isteri itu tugasnya mengabdi, melayani suami sebaik mungkin.

Suami adalah raja dalam rumah tangga.

Suami adalah guru laki.

Guru dalam segala hal.

Termasuk guru yang harus mengajari bagaimana isteri melayani suami di tempat tidur.

Istri tidak boleh menuntut suami.

Apapun yang diberikan suami harus diterima dengan ikhlas dan senang hati.

Maka, seperti itulah yang terjadi.

Semakin Theo mencampakkan Ipo, semakin Ipo berusaha melakukan yang terbaik.

Bahkan semakin lama Theo meninggalkan Ipo, semakin besar pula rindu yang Ipo rasakan.

Tak lama kemudian terdengar klakson mobil dari jalan depan rumah.

Melihat sebuah mobil memasuki pintu gerbang, mata Ipo berkaca-kaca.

Dia berlari menjemput mobil yang berhenti di garasi.

Pak Anwar, sopir pribadi keluarga, membuka pintu belakang.

Seorang lelaki paruh baya, berumur lima puluh tahunan, dengan pakaian rapi dan trendy, rambut sebagian sudah berwarna putih, agak acak-acakan, tapi masih tampak gagah, keluar dari mobil sambil menenteng tas tangan dari kulit.

Ipo langsung memeluk lelaki gagah yang baru turun dari mobil itu.

“Terimakasih sudah pulang,” bisiknya hampir tak terdengar.

“Heh… Kamu ini sudah tidak muda lagi, tak perlu bersikap manja seperti itu.”

Theo menanggapi dingin sambutan Ipo. Ipo melepaskan pelukannya dan tersenyum.

“Maafkan aku. Ayah tentu masih capek. Aku juga sudah siapkan air hangat untuk mandi.”

“Oke, aku mandi dulu,” sahut Theo sambil terus berjalan masuk rumah.

Ipo berjalan pelan membuntuti dari belakang.

Di belakang Ipo, Pak Anwar juga berjalan tanpa suara sambil menjinjing koper bawaan Theo.

Ipo merasa dia adalah wanita yang paling bahagia sore ini.

Pada akhirnya kerinduannya dapat terobati, meski mendapati sikap suaminya yang masih saja tak acuh.

Ipo tetap bahagia karena yang paling penting baginya adalah melihat suaminya dalam keadaan baik-baik saja.

Ipo membereskan pakaian dan barang barang dari koper Theo.

Kegiatan seperti ini membuat Ipo merasa menjadi istri yang sempurna.

“Drtt… Drtt… Drrt…”

Ipo melihat handphone Theo bergetar, tanda ada panggilan masuk.

Ipo mengambil handphone yang tergeletak di atas meja dan mengangkat panggilan itu tanpa melihat siapa yang menelepon.

“Ha…”, belum sempat Ipo menyelesaikan ucapannya, Theo sudah berdiri di sampingnya, merebut handphone dan memutuskan panggilan.

“Kenapa dimatikan? Dari siapa?”

Ipo bingung sekaligus kaget karena Theo muncul tiba-tiba. Tanpa melihat Ipo, Theo menjawab santai, “Dunia ini begitu luas, dan ada banyak hal di dunia ini. Kamu tidak perlu mengetahui semuanya.”

“Apakah seorang istri tidak boleh tahu dunia seperti apa yang sekarang dimiliki suaminya?” ucap Ipo dalam hati.

“Ya sudah. Ayah sudah siap? Ayo kita berangkat ke Rasa Laut, makan malam di sana. Aku panggil Iben dulu.”

Ipo setengah berlari menaiki tangga menuju ke kamar Iben.

Iben mendengar langkah kaki yang cepat sedang menuju kamarnya.

Dia segera melompat dari ranjang dan duduk tenang di pinggir tempat tidurnya.

“Aku sudah siap, Bu,” ucap Iben menyambut ibunya begitu pintu kamarnya terbuka.

“Ibu belum sempat mengatakan apa pun.”

“Aku sudah tahu ibu di situ. Jangan meremehkan ikatan batin anak pada ibunya.”

“Baiklah… dan setahu ibu tidak ada orang yang bisa konsentrasi belajar saat perutnya lapar,” kata Ipo yang masih berdiri di ambang pintu.

“Kekenyangan juga bisa menimbulkan kantuk dan tidak konsentrasi dalam belajar.”

“Sudah jangan banyak omong. Jangan remehkan kekuatan batin ibu pada anaknya. Ayo, ayahmu sudah menunggu di bawah. Kita menikmati seafood malam ini.” (bersambung)

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer