OPINIJATENG.com – Pinjol atau Pinjaman Online belakangan viral, gegara banyak customer yang merasa dirugikan?
Laman https://regional.inews.id/berita/6 merilis 6 korban pinjol.
Pertama, Seorang S Sguru TK di Malang, Jawa Timur, karena terjerat pinjol ilegal. Dia bahkan harus kehilangan pekerjaan pada November 2020 lantaran terjerat utang pinjol sebesar Rp 40 juta dari 24 aplikasi pinjol berbeda.
Kejadian bermula ketika S meminjam uang di lima aplikasi pinjol sebesar Rp500.000-Rp600.000.
BACA JUGA : Terdapat 10 Ribu Kuota Beasiswa Habibie untuk Siswa SMA dan Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta
BACA JUGA : Desa Wisata Cikakak Banyumas Terpilih Jadi Desa Wisata Terbaik se-Jateng
BACA JUGA : Tantangan BP4 Jateng, Prof Ahmad Rofiq: Indonesia Nomor 2 Se-ASEAN Kasus Perkawinan Anak
Dirinya harus membayar bunga hingga 100% dan mendapat ancaman dari para penagih utang. Demi membayar utang, S kembali meminjam ke beberapa aplikasi pinjol lain hingga total utangnya mencapai Rp40 juta.
Setelah ditelisik, dari 24 aplikasi pinjol yang digunakan S, hanya lima yang legal.
Kedua, AM, guru TK honorer di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Dia yang hanya meminjam Rp 3,7 juta, terpaksa harus membayar hingga Rp 206 juta.
Uang Rp3,7 juta itu untuk biaya kuliah. Sebab, jika ingin diangkat menjadi guru tetap, dia harus melanjutkan kuliah.
Pada 31 Maret 2021, dirinya ditelepon oleh pihak pinjol dan dijanjikan uang Rp5 juta dengan tenor 91 hari dan bunga 0,4 persen.
AM rupanya juga menggunakan hingga 24 jasa pinjol.
Dari jumlah itu, hanya lima yang legal.
Aneh dan betapa terkejutnya AM ketika tagihan yang harus dia bayar mencapai ratusan juta.
BACA JUGA : 2 Terduga Pencuri Kambing di Purbalingga Tertangkap Warga, 1 Orang Dikabarkan Meninggal Dunia
BACA JUGA : Wujudkan Rumah Layak Huni bagi Kusno Warga Desa Onje Purbalingga
Dia lalu mendapat ancaman jika tidak segera membayar utangnya. Data di KTP AM sudah berhasil diketahui para pelaku dan dijadikan senjata untuk melakukan teror.
Foto AM juga diedit sedemikian rupa menjadi foto vulgar.
Ketiga, S, seorang PNS Pemkab Boyolali dinyatakan memiliki utang hingga Rp75 juta dari 27 aplikasi pinjol berbeda.
Awalnya, sekira Juni 2021, dia hanya meminjam Rp900.000 karena sangat membutuhkan uang.
Dalam waktu dua bulan, angkanya menjadi sangat besar. Setelah ditelusuri, aplikasi pinjol yang digunakan S ilegal atau tidak resmi.
Dirinya mengakui, jika saat melakukan penagihan pihak pinjol kerap mengeluarkan kata-kata kasar yang sangat mengganggu dan menyebarkan data pribadi miliknya.
Akan tetapi, S tidak melaporkan kejadian tersebut dan lebih memilih untuk tetap berusaha melunasi utangnya.
Keempat, seorang pegawai bank di Bojonegoro, Jawa Timur, karena terjerat utang kepada pinjol, nekat menghabisi nyawanya dengan cara gantung diri pada 23 Agustus 2021.
Adapun total utang korban Rp23,695 juta.
Kelima, ER pegawai honorer di RS di Jember, yang nekat memilih untuk mengakhiri hidupnya.
Dia ditemukan tewas gantung diri di kediamannya pada 20 Agustus 2021.
Polisi yang melakukan penyelidikan menemukan cukup banyak aplikasi pinjol di ponsel korban.
ER juga meninggalkan surat wasiat. Isinya permintaan maaf kepada orang tua karena dirinya terjerat utang.
BACA JUGA : Pendaftaran Beasiswa Habibie, Dibuka untuk Pelajar SMA hingga Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta
ER berpesan agar sepeda motornya dijual untuk melunasi utang-utang yang dia tinggalkan.
Keenam, demi melunasi biaya sekolah anak, seorang ibu rumah tangga di Ciputat, Tangerang Selatan, terpaksa berutang ke pinjol.
Ibu berinisial Y ini mendapat ancaman karena tidak mampu melunasinya.
Kisahnya viral di media sosial pada Juni 2021 ketika sang anak mengunggah sebuah foto pesan yang dikirim oleh pihak pinjol.
Jumlah tagihan yang harus dibayar Rp6,4 juta. Tak hanya itu, pihak pinjol juga mengirim pesan berisi tagihan dan kata-kata kasar kepada rekan dan kerabat Y.
Cerita enam korban pinjol di atas, boleh jadi hanya sebagian kecil kasus yang muncul ke permukaan.
Jika enam orang korban, dan dua orang memilih jalan pintas bunuh diri, pembaca dapat membayangkan betapa stres dan tertekannya mereka, karena ancaman debt-collector pinjol yang tidak manusiawi.
Bagaimana hukum pinjol atau fintech lending?
Kaidah dalam muamalah, pada dasarnya adalah boleh (ibâhah).
Akan tetapi jika dalam praktiknya, ternyata isinya riba, penambahan bunga apalagi berlipat-lipat, maka hukumnya haram.
Rasulullah saw menegaskan: “Setiap utang yang menarik tambahan (manfaat) adalah riba” (Riwayat Al-Baihaqy).
BACA JUGA : Pendaftaran Beasiswa Habibie, Dibuka untuk Pelajar SMA hingga Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa Nomor: 1 Tahun 2004 Tentang Bunga (Interest/Fa’idah) sebagai rekomendasi Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa seIndonesia pada tanggal 22 Syawwal 1424 H/16 Desember 2003 M telah menfatwakan tentang status hukum bunga.
Ada tiga dictum dalam fatwa; Pertama: Pengertian Bunga (Interest) dan Riba.
(1). Bunga (interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.
(2). Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan (bilâ ‘iwadl) yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran, yang diperjanjikan sebelumnya. Dan inilah yang disebut riba nasi’ah.
Kedua, Hukum Bunga (Interest):
(1). Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.
(2). Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Ketiga, Bermu’amalah dengan Lembaga Keuangan Konvensional:
(1). Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan Lembaga Keuangan Syari’ah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga.
(2). Untuk wilayah yang belum ada kantor /jaringan Lembaga Keuangan Syariah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat.
Hemat saya, Dewan Syaraiah Nasional (DSN)-MUI, Bersama OJK, dapat melakukan evaluasi Bersama, tentang Pinjol atau Fintech-Lending ini.
Kasus tragis di atas, kiranya sudah lebih dari cukup, untuk OJK dan DSN-MUI untuk meninjau ulang, atau tegas diharamkan saja.
Apalagi sudah ada fatwa MUI No: 1/2004.
Misalnya ada fintech Syariah, tentu harus jelas tashawwur atau identifikasi definisi dan operasionalisasinya seperti apa?
Karena dalam LKS atau Perbankan Syariah, yang ada adalah pembiayaan (financing) berbasis underlaying transaction atau transaksi kegiatan atau jasa yang harus jelas saat akad dilakukan.
Pengalihan dana pembiayaan (side streaming) tidak dibenarkan dalam perbankan Syariah dan LKS.
Ketika sedulur-sedulur membutuhkan pembiayaan, jangan mudah “terkena bujuk rayu” fintech yang tidak jelas, dating saja ke Lembaga Keuangan Syariah (LKS) ada Bank Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), dan Pegadaian Syariah yang kepatuhan syariahnya dijamin oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) masing-masing.
Jika Anda meragukan, bisa ditanyakan kepada DPS atau DSN-MUI.
Semoga keperluan dana Anda terpenuhi dan keberkahan hidup menyelimuti Anda. Allah a’lam bi sh-shawab.
*)Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA., Dewan Pengawas Syariah BPRS Bina Finansia (2006-sekarang), Koordinator Wilayah Indonesia Tengah MES Pusat, Anggota Dewan Penasehat IAEI Pusat, Ketua II YPKPI Masjid Raya Baiturrahman Semarang, Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Tengah, Direktur LPPOM-MUI Jawa Tengah, Guru Besar Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, Ketua Bidang Pendidikan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT).***