Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)
OPINIJATENG.com –
Ipo menyadari saat ini suasananya sedang tidak baik dan dia harus berhati-hati berbicara di depan suami dan anaknya.
Ipo berusaha tersenyum meski di hatinya kecewa karena tidak tercipta kehangatan di antara orang-orang yang disayanginya.
Ipo menatap Theo, “Iben benar juga, dia baru masuk kuliah, dan baru semester awal, kan? Tentu masih harus banyak belajar. Setahuku, Iben belum pernah ikutan demo-demo itu.”
“Justru karena itu belum terlalu terlambat. Tahun depan kalau dia mau, dia bisa ikut ujian masuk universitas yang sama seperti Ikang, di Boston atau di tempat lain. Di luar negeri banyak universitas yang lebih bagus dan lebih berkualitas daripada kampusmu sekarang.”
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 1
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 2
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 3
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 4
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 5
“Beginilah pemikiran anggota DPR yang terlalu banyak studi banding. Aku akan sangat senang jika ayah membantu pemerintah untuk membangun kampus yang bagus dan berkualitas seperti yang ayah maksud itu di Indonesia. Jadi aku tidak perlu jauh-jauh kuliah ke luar negeri dan meninggalkan ibuku yang sering kesepian sendiri di rumah.”
“Iben!” Ipo dan Theo berseru hampir bersamaan.
“Oh, iya ayah, kualitas yang sebenarnya itu ada pada masing-masing orang, bukan pada fasilitas atau kualitas universitas. Apa yang bisa Kak Ikang lakukan tidak lebih hebat dari Kak Ibas. Apa ayah masih belum melihat betapa banyak prestasi Kak Ibas dan apa yang dia dapatkan sekarang? Dan ayah nanti juga akan melihat hal hebat apa yang akan aku lakukan.”
Iben menatap wajah ayahnya yang terlihat merah padam. Dia kemudian meletakkan sendok dan garpunya. Lalu berdiri seperti siap-siap pergi.
“Aku sudah kenyang, sebaiknya kita segera pulang,” ucap Iben sambil meninggalkan meja makan.
“Iben!”
Ipo memanggil Iben yang tetap berjalan meninggalkan mereka.
“Maafkan dia, dia itu masih remaja. Mungkin ada banyak tugas kuliah yang sedang membebani pikirannya sehingga dia jadi seperti itu.”
“Diamlah!”
Spontan Theo membentak Ipo. Tidak keras, tapi di telinga Ipo bentakan itu terdengar seperti bom yang mampu meledakkan otaknya.
Ipo tertunduk gemetar. Makan malam yang didambakannya dapat menyenangkan suami dan anak bungsunya, benar-benar rusak.
Dadanya terasa sangat sakit dan sesak.
“Ma.. maaf,” ucapnya terbata-bata.
“Jadi ini yang selama ini kamu kerjakan? Membiarkan anakmu bergaul dengan begajul-begajul kampus? Mendidik anak menjadi kurang ajar? Pantas saja dua anakmu yang lain pergi meninggalkanmu. Tersisa satu anak bodoh, lahir dari ibu yang juga bodoh,” ucap Theo sambil bergegas keluar restoran.
Theo lupa handphone yang tadi diletakkan di samping piring makannya, ditinggalkannya begitu saja. Melihat handphone Theo tertinggal, Ipo mengambilnya dan memasukkan ke dalam tas tangannya.(bersambung)
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***