Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

OPINIJATENG.com –
“Pyarrr…!”
Sebotol bir yang dipegang Ikang jatuh dan pecah berserakan di lantai.
“Ah, sial!” Sungut Ikang.
Ikang merasakan ada hal yang tidak enak tetapi dia tidak begitu peduli.
Hatinya merasa dia telah kehilangan dan sepertinya itu terjadi karena dia baru saja memecahkan sebotol bir favoritnya.
Ikang masuk ke kamarnya.
BACA JUGA : : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 1
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 2
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 3
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 4
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 5
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 6
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 7
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 8
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 9
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 10
Dari jendela kamar yang langsung menghadap ke jalan raya, Ikang melihat Commonwealth Avenue sibuk dengan lalu lalang kendaraan.
Trem listrik sesekali membunyikan klaksonnya yang cukup keras ketika melintasi perempatan.
Pukul sembilan pagi Kota Boston tentu saja mulai merangkak dengan hiruk pikuk kehidupan warganya.
Tapi tidak demikian dengan Ikang.
Hari ini jadwal kuliahnya pukul empat sore.
Tadi malam dia begadang dengan teman sampai hampir matahari terbit pagi tadi. Maka dari itu, Ikang kemudian memutuskan untuk tidur lagi.
***
Sementara itu, di sebuah kafe di tengah Kota Sydney, menjelang dini hari, seseorang yang sedang bermain gitar tiba-tiba menghentikan permainannya karena senarnya tiba-tiba terputus.
Dia adalah Ibas, kakak nomor dua Iben, yang sedang mengisi acara musik akustik.
Sesekali dia mengisi waktunya dengan bermain musik di kafe-kafe yang cukup banyak bertebaran di tengah kota.
Malam ini tampaknya malam yang sial.
Baru memainkan dua lagu, tiba-tiba senar gitarnya putus.
Dia segera berdiri, membungkukkan badan, lalu melambaikan tangan ke arah pengunjung yang cukup banyak malam ini.
“I’m sorry,” teriaknya,
“my guitar string broke. I can’t be with you longer, this night. I’ve to go home early,” katanya pada para pengunjung.
Selesai bicara, Ibas turun dari panggung sambil menenteng gitarnya.
Terdengar dengungan gumam dari para pengunjung.
Tapi karena para pemusik lain terus memainkan lagu-lagu berikutnya, suasana kafe kembali normal, seperti tidak pernah terjadi sesuatu.
Ibas bicara sebentar dengan seseorang, sepertinya manager kafe, dan setelah itu langsung pergi meninggalkan kafe.
Sampai apartemen, Ibas membuka handphonenya dan mendapati pesan suara dari Iben.
“Kenapa anak ini setiap hari selalu curhat hal yang tidak penting?”
Ibas kesal tetapi tetap mendengarkan pesan suara dari adiknya karena perasaannya masih tidak enak.
Pesan singkat Iben berbunyi,“Kak, segera telepon Iben. Ibu masuk rumah sakit!”
Ibas diam sebentar, menarik nafas panjang.
Lalu Ibas menelepon Iben, dan langsung tersambung.
“Kak Ibas!?” terdengar suara Iben.
“Ya, kenapa?” tanya Ibas singkat.
“Kak! Ibu, kak. Huhuhu…!” suara Iben malah terdengar menangis di telinga Ibas.
“Iya, ada apa dengan ibu? Cepat katakan, aku sibuk!” kata Ibas berpura-pura.
Perasaan Ibas yang tidak enak membuatnya ingin segera mengakhiri pembicaraan, tapi dia terlalu gengsi untuk melakukan itu.
“Terjadi sesuatu pada ibu?”, tanya Ibas menebak-nebak.
“Iya,” jawab Iben kembali menangis.
“Apa? Ayah menceraikannya?” sergah Ibas.
“Jika itu yang terjadi, pasti akan jadi kabar baik untuk Kakak. Tapi sekarang kita kehilangan ibu.”
“Ibu melarikan diri sepertiku?” tanya Ibas menyelidik.
“Ibu meninggal, Kak!”
“Ha!? Yang benar! Sakit apa!? Kok tak ada kabar apa-apa sebelumnya?” bertubi-tubi pertanyaan meluncur dari mulut Ibas.
“Serangan jantung. Akut! Kata dokter.” Iben tidak bisa berkata-kata lagi.
Seperti halnya Iben, Ibas juga tidak bisa berkata-kata.
Mulutnya serasa terkunci.
Yang terdengar di telepon hanyalah sisa sesenggukan suara tangisan Iben.
Setelah diam termangu sebentar, Ibas lalu bicara lagi pada adiknya, “Oke, Ben. Kakak cari tiket pesawat pulang, sekarang juga.”
Ibas menutup teleponnya dan segera memesan tiket pulang ke Indonesia.
Lalu Ibas juga menelepon Ikang, kakaknya, untuk memastikan apakah kakaknya itu sudah tahu kabar tentang ibu mereka.
Tetapi telepon kakaknya tidak diangkat, tidak ada jawaban.
“Tidak bisa diandalkan! Ayah yang begitu menyayanginya dan memberikan segalanya, tapi putra mahkotanya tidak bisa berbuat apa apa selain foya-foya,” Ibas membanting handphonenya.
Tapi, dengan segera meraihnya kembali, lalu tangannya dengan cepat memencet-mencet seperti sedang menulis pesan.
Ibas mengirim pesan pada kakaknya, Ikang, yang entah sedang mengapa, di Kota Metropolitan Boston, Amerika Serikat.
Dia mengabari Ikang tentang kematian ibu mereka. (bersambung)
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***