Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

OPINIJATENG.com –
Tiga puluh menit berlalu.
Ipo masih tetap belum sadar.
Satu jam berlalu.
Ipo belum menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
Beberapa saat kemudian, dokter dan para perawat yang merubungi Ipo tampak pada diam, menghentikan usaha menyadarkan Ipo.
Ipo tetap tergolek diam….
“Kami sudah berusaha maksimal. Maaf kami tidak bisa menyelamatkan ibu…”
Dokter itu bicara pelan tapi terdengar sangat jelas di telinga Iben.
“Tidak bisa apanya! Tolong selamatkan ibu saya, dok! Saya mohon… Saya akan lakukan apa pun untuk ibu. Selamatkan ibu saya, dok!” Iben sudah seperti merengek.
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 1
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 2
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 3
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 4
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 5
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 6
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 7
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 8
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 9
“Maaf, tapi pasien sudah tidak merespons tindakan kami. Kami tidak bisa berbuat apa apa, maaf…”
Jawab dokter dengan nada penuh penyesalan.
Mendengar itu mulut Iben seperti terkunci, tidak bisa berkata apa-apa.
Tubuhnya lemah dan jatuh ngelimpruk di lantai.
Keterangan dokter yang baru saja didengarnya seperti tamparan yang begitu keras pada jiwanya, seperti petir ribuan volt yang menyambar dan membakar gosong seluruh tubuhnya.
“Tidak mungkin!” Rintihnya dan air matanya tak terbendung lagi. Mulai menetes satu-satu.
Beberapa langkah dari Iben jatuh terduduk, Theo hanya bisa diam membisu beku.
Theo memandang Iben dengan tatapan mata redup.
“Bapak suaminya?” Tanya dokter pada Theo.
Theo agak terkejut. “I.. iya dok,” jawabnya sedikit tergagap.
“Mari ikut saya, Pak.”
Theo mengangguk dan mengikuti dokter masuk ke ruangannya.
Entah apa yang dibicarakan dokter dengan Theo.
Tak lama kemudian Theo sudah keluar dari ruangan dokter.
Wajahnya terlihat kusut, rambut acak-acakan, bahkan tanpa disadarinya baju tidurnya tidak terkancing sempurna.
Antara kancing dengan lubangnya tidak selaras sejajar sehingga baju tidurnya terlihat miring.
Theo berhenti sesaat di depan ruangan.
Ada panggilan masuk, handphonenya bergetar.
Oh, ya, waktu Theo masuk ke kamar Ipo tadi, dia sempat melihat tangan Ipo yang sudah lemas tak berdaya itu, memegang handphonenya.
Theo sempat kaget.
Tapi dengan cepat sebelum Iben melihat dan menyadarinya, Theo mengambil handphone itu dan dengan cepat memasukkannya ke saku celana tidurnya.
Dan sekarang handphone itu bergetar.
Dia menerima panggilan itu. Dari Lita.
“Kenapa belum datang?”
Suara perempuan agak ngambek dari seberang sana.
“Aku tidak bisa datang malam ini,” jawab Theo singkat.
Klek!
Theo menutup teleponnya. (bersambung)
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***