27.9 C
Central Java
Senin, 16 Juni 2025

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 8

Banyak Dibaca

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINIJATENG.com –

Ipo tidak terlalu peduli ditinggal sendiri di meja makan.

Pikirannya berkecamuk tidak karuan.

Piringnya masih banyak tersisa makanan.

Lebih separo makanan tersisa di sana.

Ipo baru makan beberapa suap.

Ca kangkung dan cumi goreng tepung kesukaannya terasa pahit semua di lidahnya malam ini.

BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 1

BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 2

BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 3

BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 4

BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 5

Ipo menatap sisa makanan yang ada di meja.

Dulu, sewaktu anak-anak masih kecil dan Theo muda belum aktif di partai politik, makan malam merupakan saat-saat yang menciptakan kehangatan di tengah keluarga kecilnya yang bahagia.

Sekarang semua berubah.

Theo menjadi legislator, yang lebih suka menghabiskan waktunya di Jakarta.

Anak-anaknya beranjak dewasa.

Ikang dan Ibas pergi kuliah ke luar negeri.

Untung masih ada Iben, yang lebih suka tetap tinggal di rumah menemani Ipo.

Hidup Ipo memang serba cukup, tapi baginya tidak ada secuil pun kebahagiaan.

Dulu saat hidup itu hanya sebuah kesederhanaan, kebahagiaan terasa begitu lekat.

Begitu dekat.

Namun sekarang setelah hidup itu menjadi sebuah kemewahan, kebahagiaan itu terasa begitu jauh.

Sangat jauh.

Setelah menyelesaikan pembayaran di kasir, Ipo bergegas menyusul Theo dan Iben keluar restoran.

Theo sudah duduk di kursi belakang, sedang Iben masih berdiri di teras, sibuk dengan handphone di tangannya.

Begitu melihat ibunya yang berjalan agak sempoyongan, Iben segera berlari ke arahnya.

Dengan lembut Iben membimbing tangan ibunya, melangkah pelan menuju mobil yang sudah siap meluncur pulang.

Sepanjang jalan pulang, semuanya diam membisu.

Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.

Termasuk Pak Anwar juga diam, konsentrasi nyopir di tengah jalanan kota yang tak pernah sepi.

Sampai di rumah, Theo langsung menuju kamar tidur utama.

“Aku mau istirahat. Capek,” katanya pendek pada Ipo.

Ipo hanya mengangguk lemah dan terus berjalan ke kamarnya.

Dia ingin beristirahat juga karena dadanya terasa nyeri, sesak, dan lelah.

Sekarang Ipo malah merasa pening kepala dan mual perut karena seperti diayun dengan sangat kencang.

Baru saja merasakan bahagia suami pulang, kini merasakan pedihnya hati melihat suami dan anak bermusuhan.

Ipo merasa waktu berjalan begitu cepat sehingga tidak ada jeda antara senang dan sedih dalam hari-harinya.

Cara paling cepat melupakan masalah adalah dengan memejamkan mata dan tidur.

Kemudian berharap itu semua hanya mimpi.

Meski demikian, Ipo tahu ada saat di mana dia harus bangun dari mimpinya dan menghadapi masalahnya.

Pikirnya sederhana, setidaknya dia telah mendapatkan sedikit tenaga dari tidurnya.

Tapi malam ini, meski telah memejamkan mata, bukan mimpi yang datang tapi justru memori-memori masa lalu yang kembali terbayang.

Memori yang membuatnya bahagia dengan orang orang yang dia sayangi.

Memori yang membuatnya kuat dan bertahan di keadaannya yang sekarang karena masih mengharapkan memori itu akan kembali terulang.

“Ikang, Ibas, Iben. Maafkan ibu jika ibu tidak membesarkan kalian dengan baik. Percayalah pada ibu, ibu sangat menyayangi kalian semua tanpa terkecuali, apa kalian mendengar ibu? Bisakah kalian mendengar ibu? Ibu merindukan kalian.”

Ipo menangis sambil memegang dan menatap dua pucuk surat.

Surat yang hampir setahun lalu dibuatnya untuk dua anaknya, Ikang dan Ibas.

Surat tanda frustasi seorang ibu karena anak-anaknya tidak mau memberi kabar pada ibunya.

Surat untuk menyampaikan rasa rindu.

Tapi surat itu belum sempat Ipo kirimkan hingga sekarang.

Hal itu menambah rasa sesak di dada Ipo.

Dia benar-benar merasa gagal menjadi seorang ibu dan isteri.

Sementara itu, Iben di kamarnya juga tidak bisa memejamkan mata.

Walau tubuhnya terbujur di tempat tidur, tapi matanya tetap nyalang.

Sebentar-sebentar tubuhnya bolak-balik gulang-guling ke kanan ke kiri, menandakan dirinya gelisah.

Kamar yang sejuk berpendingin tidak mampu menghilangkan rasa gerah yang menyiksanya.

“Maafkan aku Bu. Aku sudah merusak harimu,” bisik Iben pelan, menyesali perbuatannya.

Dia sempat mendengar ayahnya tadi marah.

Iben tidak terima ayahnya membentak ibu yang sama sekali tidak bersalah.

Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ingin memperburuk keadaan.

Yang sekarang dirasakannya hanya penyesalan, hatinya kosong.

Iben memutuskan untuk menemui ibunya dan meminta maaf.

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer