Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)
OPINIJATENG.COM –
Bagian 2
TEMBOK KOKOH ITU
Hujan bulan Oktober selalu menorehkan berbagai cerita.
Seperti kedatangannya yang bisa dirasakan setiap orang tapi hanya beberapa yang menantikannya.
Kepergiannya menyadarkan semua orang bahwa dia dibutuhkan tapi hanya beberapa yang merasa kehilangan.
Hujan mengguyur semua wilayah sama rata.
Tapi perlakuan yang dia terima berbeda.
Ketika hujan datang merusak wilayahnya sendiri, orang menyalahkannya sebagai penyebab banjir dan longsor.
Bila hujan tidak segera datang, sehingga terjadi kemarau panjang, orang menyalahkannya mengapa tak segera datang.
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 1
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 2
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 3
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 4
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 5
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 6
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 7
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 8
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 9
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 10
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 11
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 12
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 13
Begitulah tabiat manusia.
Tak pernah merasa cukup.
Adanya hanya salah dan kurang.
Yang baik dan benar itu sudah sesuai kewajiban, tak perlu lagi dipertanyakan.
Seperti halnya hujan bulan Oktober yang mengantarkan kesejukan dan kesegaran yang lembut.
Begitulah kasih sayang seorang ibu pada anak-anaknya.
Mampukah seseorang menampung kasih sayang ibunya seperti halnya laut menampung air hujan dan tidak membuatnya menjadi bencana?
Melalui ranting-ranting, daun-daun, dan bunga-bunga kamboja, air hujan mengalir.
Mereka seakan mewakili perasaan Iben yang sedang menangis dengan hatinya.
Matanya sudah terlalu kering dan lelah untuk meneteskan airmata.
Dari empat laki-laki yang terikat hubungan keluarga di atas selembar kertas yang disebut Kartu Keluarga itu, hanya ada seorang saja yang terlihat sangat terpukul karena kehilangan.
Dialah Iben.
Setiap pasang mata yang datang ke pemakaman menatap Iba pada si bungsu.
Tapi tidak satu pun dari mereka atau saudara-saudara kandungnya mencoba untuk menguatkan hati Iben.
Satu per satu dari mereka pergi.
Payung-payung hitam mulai meninggalkan pemakaman.
Tersisa empat orang laki-laki yang seharusnya mempunyai hubungan dekat dengan yang ada di bawah gundukan tanah merah.
“Apa salahnya? Dia adalah seorang wanita yang berusaha memeluk kita dan dia bertahan sampai batasnya,” gumam Iben.
“Hanya seorang yang lemah yang mengharap pelukan orang lain. Setiap orang harus mampu berdiri dengan kakinya sendiri,” sanggah Ibas.
Iben sangat kacau, dia masih duduk berlutut di samping makam ibunya. Bajunya basah, wajahnya pucat.
“Belum saatnya kita menemani ibu di sini. Ayo pulang,” ucap Ikang datar sambil menarik tangan Iben dan memayunginya dari hujan.
“Ibu lihatlah, kita sedang bersama. Ada ayah, ada Kak Ikang ada Kak Ibas dan ada aku. Itu yang selalu ibu inginkan, bukan? Itu yang selalu ibu katakan padaku tiap malam,” Iben kembali sesenggukan.
“Ibu lihatlah, apa yang dirasakan putra bungsumu ini. Aku juga pernah mengalaminya dulu. Jangan salahkan aku jika tidak menangis, karena aku sudah sejak lama kehilanganmu, ibu,” ucap Ibas kemudian pergi meninggalkan mereka.
“Ibu lihatlah, aku tidak menangis dan tidak menyalahkanmu seperti yang adik-adikku lakukan. Karena putra tertuamu ini adalah yang paling dewasa dan bijak dari yang lainnya, ibu. Jadi jangan khawatir, aku akan menjadi seperti ayah dan membanggakanmu.”
Ikang pun membalikkan badan, melangkah pergi meninggalkan makam dan menarik tangan memaksa Iben ikut dengannya.
“Istriku lihatlah, kau sungguh membesarkan anak-anak dengan cara yang berbeda-beda. Harus dengan cara bagaimana aku cari jalan menyatukan mereka?”
Theo bergumam sendiri. (bersambung)
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***