23.9 C
Central Java
Sabtu, 14 Juni 2025

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 13

Banyak Dibaca

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINIJATENG.COM –

Ibas hanya bisa termangu di sepanjang perjalanan pulang.

Di dalam pesawat dia duduk diam, memejamkan mata.

Dia sama sekali tidak menggubris wanita cantik yang duduk di sebelahnya.

Cukup sekali saja dia memberi senyuman pada wanita cantik itu ketika dia permisi mau duduk tadi.

Wanita itu agaknya juga tidak peduli dengan sikap Ibas.

Dia menyibukkan diri dengan membaca majalah yang dibawanya.

BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 1
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 2
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 3
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 4
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 5
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 6

Haruskah aku merasa kehilangan untuk suatu hal yang tidak pernah aku miliki?

Untuk apa rasa sedih ini?

Bisakah dianggap sebagai balasan karena telah melahirkanku, Ibu?

Apakah Ibu tidak ingin melihatku di saat-saat terakhir?

Ibu benar-benar mengakhiri semuanya dengan melukaiku.

Kenapa ibu harus pergi sebelum aku mengalahkan ayah?

Kenapa ibu harus pergi saat hanya Iben si bodoh yang bisa memeluk ibu?

Kenapa ibu melupakanku sebagai putra ibu?

Dan kenapa aku harus kembali?

Aku tidak kehilanganmu sekarang, Bu.

Aku telah kehilanganmu saat aku memutuskan untuk pergi.

Ibu, aku pulang untuk menyaksikan ibu pergi.

Ibas masih memejamkan mata. Tanpa terasa dua tetes air mata mengambang dari kedua pelupuk matanya yang terpejam.

***

Hari siang yang gersang.

Segersang jiwa Ibas dan Iben.

Mendung mulai menggelayut di langit.

Udara lembab membuat tubuh terasa gerah.

Keduanya masih berdiri tegak mematung di samping gundukan tanah merah yang tertutup tumpukan karangan bunga yang menggunung.

Ipo, ibu mereka, baru saja selesai dimakamkan.

Theo dan Ikang masih sibuk menerima ucapan ikut berduka cita dari keluarga, tetangga, dan relasi Theo, yang kebanyakan adalah pejabat dan politisi.

Memang banyak sekali pelayat yang ikut upacara pemakaman tadi.

Maklum, Theo adalah politisi yang terkenal tangguh sejak masih muda.

Meniti karir di dunia politik sejak mahasiswa.

Merangkak naik menjadi ketua organisasi kepemudaan tingkat provinsi.

Dilanjutkan menjadi anggota DPRD Provinsi dan lima tahun.

Kemudian dipromosikan partainya jadi anggota DPR RI untuk masa jabatan sekarang ini.

BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 7
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 8
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 9
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 10
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 11
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 12

Theo sudah tiga tahun meninggalkan Semarang.

Hidup dan bekerja sebagai legislator di Jakarta sendirian.

Istri dan anak-anaknya memilih tetap berada di Semarang.

Tidak heran ketika kabar meninggalnya Ipo, istrinya, tersebar, rumahnya yang besar dan mewah di kawasan elit Semarang atas, segera ramai dikunjungi para pelayat.

Gubernur Jawa Tengah dengan jajaran pejabat di bawahnya datang paling awal menyampaikan ucapan bela sungkawa.

Menyusul kemudian, Pimpinan DPRD Jawa Tengah dan para anggotanya juga datang.

Bahkan, anggota DPRD Jawa Tengah yang berasal dari satu partai dengan Theo, ikut sibuk menata rumah dan menerima tamu yang berkunjung.

Malam tadi benar-benar malam yang sangat sibuk di rumah Theo.

Bahkan, sampai tadi pagi, menjelang jenazah Ipo diberangkatkan, tamu-tamu VIP dari Jakarta masih saja berdatangan.

Halaman rumah dipenuhi dengan karangan bunga besar-besar ucapan duka cita.

Orang nomor satu di negeri ini, Presiden Republik Indonesia, yang juga satu partai dengan Theo, walaupun tidak ikut hadir melayat, karangan bunganya terpajang gagah di depan pintu masuk.

Siapapun yang datang melayat pasti melihat dan membaca siapa pengirimnya.

Tempat pemakaman umum itu kini sepi.

Ibas dan Iben masih berdiri mematung di samping makam ibunya.

Mereka tidak sadar, di belakang mereka ternyata ada dua orang lelaki dan wanita setengah tua, yang juga berdiri tegak, diam.

Mereka adalah Pak Anwar dan Mbok Siti, sopir dan pembantu keluarga yang selama ini melayani berbagai keperluan Ipo dan Iben.

Mendung semakin tebal.

Angin semilir berhembus.

Pelan-pelan titik-titik air menetes dari langit.

“Selamat jalan, Ibu.”

Bisik Ibas dan Iben hampir berbarengan.(bersambung)

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer