19 November 2025 12:40
Cover Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang - Horisontal

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINIJATENG.COM –
Iben teringat saat ibu menyambut ayah pulang.

Biasanya kursi ayah dan kakak-kakaknya yang kosong, sekarang saat semua kembali justru kursi ibunya lah yang kosong.

Seharusnya ibu yang memasak dan mengambilkan makanan, tapi tidak untuk malam ini dan malam-malam selanjutnya.

Di meja makan semua berada dalam diam, sebelum suara handphone milik Theo bergetar memecah keheningan.

“Sejak kapan ada yang boleh membawa handphone ke meja makan, Yah?” Ibas menyindir ayahnya.

“Ini soal bisnis, kerjaanmu hanya bermain dengan barang-barang sampah yang berisik, kamu tidak akan mengerti,” jawab Theo yang kemudian mengangkat panggilan.

“Halo…”

BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 1
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 2
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 3
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 4
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 5
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 6
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 7
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 8
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 9
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 10
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 11
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 12

Entah telepon dari siapa dan ada keperluan apa anak-anaknya tidak tahu dan tidak mau tahu.

“Oke. Dua puluh menit lagi saya sampai ke sana,” ucap Theo kemudian mengakhiri panggilan.

“Ayah mau pergi malam-malam begini?” Ikang bertanya.

“Bukannya Kak Ikang belajar bisnis di Amerika, apa tidak tahu ada bisnis yang dilakukan malam hari?” Ibas menyambar pertanyaan Ikang.

“Jaga bicaramu Ibas, selama ini ayah terlalu baik padamu sehingga kamu jadi liar!”

“Hentikan semuanya!” Iben membanting sendok dan garpu kemudian meninggalkan meja makan.

“Lihatlah bagaimana ibumu itu membesarkan adik-adikmu!” ucapan Theo masih sempat terdengar di telinga Iben sehingga membuat Iben menghentikan langkahnya karena marah.

Ikang menatap ayahnya tak percaya.

Sedang Ibas hanya tersenyum tipis.

“Sudahlah waktuku terlalu berharga untuk berdebat dengan kalian,” Theo bangkit dari kursinya dan pergi.

“Wow, aku tidak percaya ini. Apa aku melewatkan banyak hal antara adik-adik dan ayahku?” Kata Ikang yang duduk persis di hadapan Ibas.

Mereka berdua saling pandang, dan ada kemarahan terlihat di sorot mata Ibas.

Tidak mau mendengar pertengkaran lagi Iben segera pergi ke kamarnya.

“Satu-satunya hal yang tidak bisa kau lewatkan adalah berfoya-foya!”

“Betul juga… maka dari itu Ibas, sebaiknya kau jangan terlalu iri pada orang yang sebenarnya tidak bisa apa-apa,” jawab Ikang.
“Satu lagi, jangan lagi membenci ibumu karena dia sudah tidak ada.”

“Hahaha… yang benar saja! Kakak tidak usah berpura-pura kehilangan padahal kakak sama sekali tidak peduli,” Ibas meninggalkan Ikang sendirian di meja makan.

Sementara itu Theo pergi ke tempat karaoke.

Bukan untuk urusan bisnis, tapi bersenang-senang dengan teman-temannya dan beberapa wanita seksi.

Itu bukan kali pertama bagi Theo.

Dia bahkan sering pergi ke karaoke dan bersenang-senang dengan wanita lain saat Ipo masih hidup.

Ipo yang selalu mengalami tekanan batin karena ulahnya dan telah mencapai puncaknya beberapa hari lalu.

Hasil otopsi mengatakan Ipo meninggal karena serangan jantung akut.

Ipo meninggal setelah tahu Theo mempunyai wanita lain di luar sana.

Bila selama ini Ipo hanya diam memendam pertanyaan, malam itu semua pertanyaan terjawab sempurna.

Walaupun tidak terlalu kaget, tapi ternyata jantung Ipo tidak mampu menahan hantaman godam yang terasa sangat keras dan menyakitkan.

Mungkin hal itulah yang menyebabkan Theo merasa tidak terlalu kehilangan saat Ipo meninggal.

Theo tidak perlu takut karena dia sudah punya gantinya yang lebih cantik dan masih muda jika dibandingkan dengan Ipo.

Dengan uang dan kekuasaannya sebagai anggota DPR, apa pun bisa dia dapatkan, apalagi hanya seorang wanita.

Banyak wanita yang mengantre bahkan untuk dimadu sekalipun olehnya.

“Bagaimana suasana keluargamu?” tanya Baron sambil minum birnya.

Baron adalah salah satu Wakil Ketua DPRD Provinsi, yang waktu Theo jadi Ketua Dewan, Baron masih jadi Ketua Fraksi.

Di ruang kamar karaoke itu ada juga beberapa anggota Komisi DPRD yang memang sudah biasa menghabiskan waktu dan uang mereka untuk hura-hura.

“Istri lama sudah dikubur, Istri baru sedang dicari.”

Yang lain ikut menimpali, “Buat apa dicari? Tinggal pilih saja kan?”

“Gimana tuh si Lita, biduan yang aku kenalkan itu?” tanya Baron.

“Iya Theo, daun muda! Hahaha…,” celetuk entah siapa.

“Iya boleh juga, kemarin mau ketemu dia tapi istriku malam itu masuk rumah sakit dan meninggal,” jawab Theo.

“Jangan-jangan Istrimu meninggal gara-gara dia?”

“Hahaha… kalaupun iya, siapa yang peduli.”

Ada suara lain lagi menimpali.

“Hahaha… Eh, Baron, apa stok biduan mudanya masih ada?” tanya Abas, anggota Komisi A yang cukup terkenal galak dalam berbagai dengar pendapat dengan para Kepala Satuan Kerja Pemerintah Daerah.

“Istrimu itu masih hidup, Bas, tapi kalau kamu mau ambil risiko sih…”

“Kita ini sudah terbiasa dengan risiko, nyatanya sampai hari ini aman-aman aja kan?”

“Hahaha…”

Semua tertawa dan bersenang senang hingga malam merangkak larut. (bersambung)

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

About The Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *