26.6 C
Central Java
Minggu, 22 Juni 2025

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 15

Banyak Dibaca

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINIJATENG.COM –

Rumah besar dan mewah yang membuat setiap orang kagum saat melihatnya, hari itu tidak menampakkan kemegahannya.

Ada bendera kuning di pintu masuk dan sederet rangkaian bunga tanda duka cita terpampang di halaman rumah yang luas.

Orang-orang berpakaian gelap yang datang untuk menyampaikan turut berduka dan merapalkan do’a satu persatu mulai pergi.

Tersisa keluarga dan kerabat dekat.

“Haruskah ada yang pergi agar ada yang kembali?” Iben bicara sendiri dalam hati.

Malam hari, Theo mengumpulkan ketiga anaknya di ruang kerjanya.

Dia duduk tenang di kursi di balik meja kerja yang besar dan mewah.

BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 1
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 2
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 3
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 4
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 5
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 6
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 7
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 8
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 9
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 10
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 11
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 12

Ikang, Ibas, dan Iben, duduk di depannya, dibatasi meja kerja besar itu.

“Kalian dengarkan ayah baik-baik, ayah tidak peduli seberapa besar kalian membenci ayah atau seberapa besar kalian mencintai ibu.”
“Aku masih ayah kalian dan yang meninggal adalah ibu kandung kalian. Ayah juga tidak tahu kalian kehilangan atau tidak.”

“Yang harus kalian lakukan adalah bersikaplah baik, tidak boleh ada yang pergi dari rumah sebelum tujuh hari dari sekarang, karena ada banyak keluarga dan tetangga yang sedang memperhatikan kita.”

“Jangan buat kepergian ibu kalian sebagai bahan pembicaraan. Biarkan dia tidur tenang di alam barunya.”

Theo menatap tajam anak-anaknya.

Ketiganya tidak bicara.

Diam. Mereka hanya memandang Theo dengan tatapan mata aneh.

Setelah menganggukkan kepala, dimulai dari Ibas, Iben, dan terakhir Ikang, satu persatu mereka meninggalkan kamar kerja Theo.

Iben membaringkan tubuhnya di atas sofa, dia melihat sekeliling isi rumahnya.

Di balik kemewahannya tersimpan berjuta kesedihan yang dirasakan seorang istri karena suaminya, kekecewaan seorang ibu karena anaknya dan kebencian anak terhadap ayahnya.

Istana yang menjadi saksi bisu keluarga yang dulu sempat hidup bahagia bersama.

Meski ada ibu yang menemaniku, di rumah ini aku masih merasa sepi.

Sekarang bagaimana aku harus menjalani hari-hariku tanpa ibu?

Bukankah rumah ini terlalu besar untuk aku tinggali sendiri?

Kedua kakakku pasti akan segera pergi secepat yang mereka inginkan.

Dan ayah?

Pasti segera pula terbang ke Jakarta.

“Aku bahkan tidak mengharapkan ayah pulang untuk tinggal di tempat yang dia sebut rumah ini,” Iben melamun tak tentu arah ke mana pikiran membawanya.

“Semakin banyak saja barang mewah dan berharga yang ayahmu miliki,” Ibas menyadarkan Iben dari lamunannya.

“Terbayar impas dengan kepergian orang-orang yang seharusnya berharga bagi ayah,” jawab Iben.

“Hanya tinggal menunggu waktu untuk kehilangan segalanya. Mulai sekarang berdirilah dengan kakimu sendiri,” tambah Ibas, lalu melangkah pergi meninggalkan Iben sendiri lagi.

“Kak!” panggil Iben yang kemudian menghentikan langkah Ibas.

“Ibu membersihkan kamar kakak berdua setiap hari, hanya itu yang bisa dia lakukan agar bisa merasa menjadi seorang ibu.” (bersambung)

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer