23.6 C
Central Java
Kamis, 19 Juni 2025

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 18

Banyak Dibaca

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINIJATENG.COM –
Sejenak Iben hanyut dalam diam, dia memperhatikan kakaknya yang dia tidak tahu entah mendengarnya atau tidak.

“Kakak tidak ingin bertanya? Apa kabarku dan ibu baik baik saja? Berapa kali dalam sebulan ayah pulang? Apa kami merindukanmu? Kalau Kakak diam biarkan aku yang bertanya.”

“Apa Kakak baik-baik saja di sana? Apa Kakak rindu dengan aku dan ibu? Apa Kakak bahagia? Apa Kakak tidak ingin pulang? Apa Kakak membaca pesan dari aku dan ibu?”

“Kenapa Kakak tidak pernah membalas pesan kami? Tidak seharusnya Kakak iri padaku, ibu memang selalu ada bersamaku tapi hati dan pikirannya tidak pernah menyatu.”

BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 1
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 2
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 3
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 4
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 5
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 6
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 7
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 8
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 9
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 10
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 11
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 12

“Seperti keluarganya yang terpecah belah, jiwa, pikiran, dan hatinya juga terpecah belah. Aku selalu melihat ketakutan di matanya, kesedihan di senyumnya.”

“Setiap detik ibu merindukan kalian. Mengkhawatirkan kalian. Ayah, Kak Ikang dan Kak Ibas, kalian bisa hidup tanpa memikirkan ibu, tapi bagaimana ibu bisa hidup tanpa memikirkan kalian? Kita semua kesayangan ibu, kita semua yang menjadi alasan ibu untuk tetap bertahan hidup.”

Air mata Iben mengalir melalui ekor matanya.

Iben tidak habis pikir bagaimana ayahnya dan kedua kakaknya bersikap biasa saja setelah ibu meninggal.

Ketidakberadaan ibu membuat keadaan keluarga semakin buruk.

Pertengkaran Ibas dan ayah dan kebencian Ibas pada Ikang sepertinya sampai kapanpun tak akan selesai.

Semua ini gara-gara ayah.

Ibu meninggal juga gara-gara ayah.

Ayah terlalu egois dengan karir politiknya.

Di kepalanya isinya cuma politik, politik, dan politik.

Tidak ada yang lain.

Hanya untuk politik ayah rela meninggalkan keluarga dan perusahaan.

Di depan kamera televisi saja ayah bicara soal mengurus bangsa, negara, rakyat.

Tapi nyatanya ngurus keluarga sendiri, istri dan anak-anaknya, ayah sudah sangat kedodoran.

Di ruang sidang Dewan Yang Terhormat, ayah memberi kesempatan anggota Dewan bicara menyampaikan pendapat.

Tapi di depan istri dan anak-anaknya, ayah tampil sebagai diktator tulen.

Pernahkah ayah memberi kesempatan ibu bicara?

Pernahkah ayah memberi kesempatan kita menyampaikan pendapat?

Ayah menyiksa ibu sehingga dia tertekan.

Ayah menjajah kita sehingga kita frustasi.

Iben berhenti sejenak.

Dia tidak peduli kakaknya mendengarkan atau tidak.

Dia melanjutkan bicaranya.

Tidak pernah kusangka ibu meninggal karena serangan jantung akut.

Katakan, Kak! Katakan bagaimana aku harus ikhlas setelah melihat perlakuan ayah sebelum dan sesudah ibu meninggal.

Suami yang sama sekali tidak memperlihatkan kehilangan istri dan tidak pernah merasa bersalah tapi justru selalu menyalahkan?

Ibas lama diam tidak menjawab pertanyaan Iben.

Kamar itu kembali sepi.

Tapi sebentar kemudian, Ibas membalikkan badan menghadap ke arah Iben, dan berkata pelan seperti sedang mengigau.

“Ayah membeli waktu, ibu, dan kita dengan uang.”

Ibas melirik dan mendapati Iben sudah tertidur. (bersambung)

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer