23.6 C
Central Java
Kamis, 19 Juni 2025

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 23

Banyak Dibaca

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINIJATENG.COM –

Theo ingin Ikang belajar dan menguasai manajemen bisnis, Ibas menjadi ahli politik dan hukum, sedang Iben menjadi ekonom dan menguasai perpajakan.

Semua itu akan memudahkan Theo dalam merancang masa depan keluarga dan perusahaan.

Untuk membantunya dalam berbagai hal, Theo harus punya banyak koneksi yang bisa diajak bekerja sama dengan baik.

Menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI membuatnya berubah dan melupakan dunia sesungguhnya yang ada dalam keluarganya.

Perusahaan kayu milik keluarga itu menjadi kurang terurus karena hanya dikendalikan Theo dari jauh.

Begitu pula dengan keluarganya.

Istri dan anak-anaknya dia tinggal di Semarang.

Ipo memilih tetap tinggal di Semarang, menemani anak-anaknya yang masih sekolah.

Ipo hanya minta Theo bisa pulang setiap akhir minggu.

Pada awalnya Theo memang berusaha pulang ke Semarang setiap Jumat sore dan kembali ke Jakarta pada Senin pagi.

Tapi, jadwal itu hanya berlaku beberapa bulan saja.

Theo sepertinya lebih menikmati tinggal di Jakarta.

Theo mulai melupakan keluarganya.

Keluarga kecil yang selalu ada di sampingnya sejak dia mengawali karir dari nol.

BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 1
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 2
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 3
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 4
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 5
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 6
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 7
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 8
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 9
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 10
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 11
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 12
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 13
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 14
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 15
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 16
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 17
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 18

Lima tahun menjadi Ketua DPRD Provinsi dan tiga tahun menjadi Wakil Ketua DPR RI telah mengajarkan banyak hal pada Theo tentang sistem yang berlaku pada lembaga pemerintah.

Theo tahu betul tugas dan kewajibannya sebagai pimpinan.

Dan banyak pihak yang memanfaatkannya demi keuntungan pribadi.

Take and give, akhirnya sistem itulah yang dianut oleh Theo.

“Masih ingat kan pembicaraan kita kemarin sore?” suara seseorang di ujung sana.

“Saya tidak biasa berbicara lewat telepon, saya kosong malam ini,” jawab Theo.

Dan begitulah yang terjadi.

Selalu ada pertemuan sebelum pertemuan.

Pada kenyataannya Pimpinan Dewan, Ketua Komisi, Menteri atau Kepala Lembaga Pemerintah lainnya.

Mereka adalah partner kerja yang dipertemukan di panggung resmi pemerintahan.

Tapi menjadi akrab dan karib setelah lebih sering bertemu di hotel, club, atau venue lainnya.

“Terima kasih rapat pembahasan Revisi UU Perpajakan kemarin berjalan dengan rancak dan lancar,” kata Theo pada teman-temannya saat mengadakan pertemuan di club.

“Itu terdengar seperti berjalan sesuai rencana.”

“Hahaha… akan lebih mudah jika Presiden ada di pihak kita.”

“Sebaiknya jangan ada yang menyentuhnya,” kata Theo.

“Iya betul, jangan disentuh, sudah terlalu capek dan sebentar lagi pensiun.”

“Hahahaha…!”

“Tapi kadang-kadang bikin repot juga. Tingkahnya makin lama makin aneh saja.”

Theo seperti bersungut.

“Kan lebih baik begitu. Main tinju, naik motor, nyanyi-nyanyi, bagi-bagi hadiah. Daripada ngomong di depan wartawan. Malah mancing persoalan,” jawab yang lain.

“Kayaknya kita mesti atur strategi baru menyikapi situasi terkini yang makin menghangat ini. Teve merah itu makin lama juga makin memperjelas targetnya. Pemimpin Redaksinya perlu sedikit agak dijinakkan,” Theo bicaranya jadi makin serius.

“Iya tuh,” yang lain menimpali, “Teve Merah satu itu memang agak susah dikendalikan. Bos Besar pemiliknya susah diduga manuvernya.”

“Tapi bagus juga sih,” ada suara lain, ”dari Teve Merah itu paling tidak kita bisa melihat trend orientasi atau agenda berita mereka. Kan itu masukan yang penting untuk pemetaan opini kita juga. Kalau semua televisi seperti Teve Biru dan lainnya itu, kita malah bisa terjebak pada kenikmatan masturbasi politik. Hehehe…”

Yang lain ikut tertawa.

Theo tersenyum kecut.

Dalam hati dia mengakui pendapat sohibnya yang terdengar konyol dan menjijikkan itu.

“Oke, kita bagi-bagi tugas saja. Soal media dan televisi kayaknya Si Kambing dari Medan itu akan mampu mengatasi. Ayo, rapatkan barisan. Kita pertajam dan perkuat tanduk kita untuk menghadapi Pemilu mendatang. Satu tahun masih cukup waktu berbenah, dari atas puncak sampai akar rumput di bawah.” kata Theo seolah mau menutup pembicaraan.

“Wookeee…” yang lain menyambut bareng seperti paduan suara.

Lalu, mereka menghabiskan malam dengan berdangdut ria di karaoke.

Mereka ditemani wanita pemandu karaoke, yang rata-rata masih muda, berpakaian seksi.

Sungguh, pemandangan yang aneh. Para lelaki setengah umur, bahkan ada yang kepalanya sudah setengah botak, menyanyi dangdut di ruang tertutup, ditemani wanita-wanita muda bermake up menor, berpakaian seksi.

Sementara sambil menyanyi, para lelaki tua itu tangannya sering nggrathil menggerayangi tubuh wanita-wanita yang duduk di dekatnya.
Dan di atas meja di depan mereka, berserakan gelas-gelas dan botol-botol bir yang sudah terbuka tutupnya. (Bersambung)
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer