23.6 C
Central Java
Kamis, 19 Juni 2025

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 30

Banyak Dibaca

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINIJATENG.COM –

“Sudah kubilang jangan minta bertemu di luar jam kuliah. Waktuku adalah uang,” kata Dodit berpura-pura marah.

“Jadi pekerjaan lebih penting dari sahabat?” tanya Iben.

“Dari pekerjaan aku dapat uang, dari sahabat aku dapat kebahagiaan. Pilihan yang sulit.”

“Jadi apa yang kamu pilih?”

“Tidak ada. Aku tidak bisa memilih tapi harus ada prioritas mana yang lebih penting sekarang.”

“Seandainya saja ayahku punya pemikiran yang sama denganmu.” keluh Iben.

“Sahabat atau keluarga punya pengertian tapi pekerjaan tidak,” Dodit melirik Bosnya yang sedang berkeliling di kafe tempatnya bekerja itu.

“Jadi menurutmu ayahku berpikir seperti itu?”

“Yaa… Padahal pekerjaan selalu bisa dicari sedangkan keluarga tidak.”

“Dan ayahku harus tahu hal itu.”

“Ya begitulah. Ngomong-ngomong ada insiden apa di rumah? Kenapa galau pagi-pagi?” tanya Dodit dengan wajah meledek.

Dodit selalu menghibur Iben setiap ada masalah di keluarganya.

Dodit tidak pernah menanggapi cerita Iben dengan serius karena tidak ingin sahabatnya larut dalam kesedihan.

Meski sebenarnya Dodit khawatir dan ikut memikirkan masalah yang dihadapi sahabatnya.

BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 24
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 23
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 22
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 21

“Insidennya ini.” Kata Iben sambil meletakkan buku-buku di atas meja.

“Wow…! Ini buku-buku Je-Je. Dari mana kamu dapat? Perpustakaan kita tidak punya koleksi selengkap ini,” Dodit melihat semua buku-buku yang dibawa Iben dan terkejut saat membuka halaman pertama.

“Wow… Ini benar-benar keren!” tambahnya lagi. Dia melihat tiap lembar pertama di buku itu seolah tidak percaya ada tanda tangan penulis idolanya. Matanya berkaca-kaca menatap Iben.

“Untukmu,” kata Iben dengan tersenyum.

“Tapi dari mana kamu dapat semua ini?”

“Kakak sulungku, Kak Ikang, satu kampus dengan ‘Je-Je.’ Kebetulan dia punya buku-bukunya.”

“Wow…! Bagaimana bisa keluargamu sekeren ini? Apa kakakmu kenal siapa itu ‘Je-Je’?”

“Kakakku bilang dia orang aneh.”

“Ishh… Bilang pada kakakmu, dia bukan orang aneh. Tapi orang hebat! Bilang juga terima kasih.”

Iben hanya tersenyum, “Anggap ini bayaran sebagai sahabat. Meskipun aku tidak akan pernah mampu membayar persahabatan ini sampai kapan pun.”

Dodit terdiam. “Bagaimana dengan aku. Aku tidak bisa memberikan apapun untukmu.”

“Kamu sudah berikan banyak hal yang tidak bisa aku dapatkan dari keluargaku.”

“Kenapa kita jadi melow begini? Minum ini… minum… Hari ini aku yang traktir karena aku sedang bahagia.” Dodit menyodorkan secangkir cappuccino yang menjadi minuman favorit Iben.

“Tidak usah. Cukup. Sepertinya aku harus pergi, sekarang,” jawab Iben yang melihat Bos kafe itu berjalan ke arah mereka.

“Baiklah, aku harus punya prioritas kan?” Dodit segera membereskan buku-bukunya dan kembali bekerja.

***

Theo ingin makan malam bersama anak-anaknya di luar.

Ada hal penting yang ingin diberitahukan pada mereka.

Dan ada hal yang ingin anak-anaknya beritahukan padanya.

Mereka setuju untuk bertemu di sebuah restoran yang telah Theo pesan untuk makan malam istimewa.

“Kalian tahu kenapa ayah kumpulkan kalian seperti ini?”

“Jika kami sudah tahu seharusnya tidak perlu adakan makan malam aneh seperti ini.” jawab Iben.

“Ayah ingin beritahukan kalian. Ayah akan menikah lagi.” (Bersambung)

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer