Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)
OPINIJATENG.COM –
Sementara itu, di Gedung Kesenian, Ibas merasa gelisah karena dia tidak bisa pergi ke mana pun untuk mengecek semua persiapan.
Dia merasa terpenjara di ruang make up karena harus tampil pertama sebagai pembuka acara.
Ibas sangat resah dan saat dia mengecek handphonenya ada pesan masuk.
“Berikan penampilan terbaik untuk penggemar beratmu ini.”
Ibas membaca pesan yang ternyata dikirim oleh Iben.
Tok… Tok… Tok…
“Ini Selly.”
Ibas mempersilakan Selly masuk. Selly mendekati Ibas dan memberikan senyuman terbaiknya sebelum berbicara.
”Sudah waktunya bersiap di belakang panggung, Bos.”
“Akhirnya,” ucap Ibas santai.
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 36
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 35
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 34
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 33
“Apanya yang berakhir, Bos?” tanya Selly bingung.
“Duduk manis di ruang ini,” jawab Ibas pendek.
Ibas sudah sangat siap, dia berjalan melewati lorong-lorong dan Selly mengikutinya dari belakang. Ibas tiba-tiba berhenti.
“Bagaimana dengan tamu undangan?”
“Sejauh ini sudah banyak yang datang, ada juga tuh Wakil Ketua DPR yang kemarin sempat menolak hadir.”
“Benarkah?!”
Ibas berpura-pura terkejut meski sebenarnya dia telah menebak itu sebelumnya.
“Semua sangat antusias saat tahu Bos yang tampil mengisi opening.”
Semua lampu mati, tersisa sebuah lampu yang menyoroti Ibas yang telah berdiri di atas panggung dengan gitar akustik kesayangannya.
Terdengar teriakan dan sorak gembira dari para penggemarnya. Ibas tersenyum dan melambaikan tangannya.
“Selamat malam, Indonesiaaaaa….!” teriak Ibas sambil menggerakkan tangannya dengan gerakan seolah membuat setengah lingkaran di depan dadanya.
Itulah salam sapaan khas Ibas.
Salam Ibas disambut sorakan gegap gempita.
Lalu Ibas melanjutkan bicara.
“Malam ini kita akan bicara tentang korupsi. Lagu saya ini khusus saya persembahkan untuk para koruptor di negeri kita tercinta ini.”
Ibas berhenti sejenak, lalu mulai memetik gitarnya.
Terdengar gitar Ibas menghentak garang, disusul suaranya yang tak kalah lantang.
Hiburan rakyat
Tertawa ngakak
Nonton pelawak
Bergaya koplak
Lupa sesaat
Beban berat
Dipikul pundak
Hiburan pejabat
Terima uang
Dibawa rekanan
Pengganti tandatangan
Lupa sesaat
Jaga martabat
Menjelma bangsat
Ooo….
Rakyat koplak
Pejabat bangsat
Penonton bersorak karena Ibas, sang idola membuat lagu dengan lirik yang langsung menikam sasaran, para koruptor di negeri ini.
Dan malam ini, Ibas seolah memproklamasikan diri sebagai generasi kedua penyanyi muda di belakang Iwan Fals yang memberikan perhatian khusus pada tema anti korupsi pada lirik lagu-lagunya.
Malam itu, Ibas menyanyikan lima lagu yang semuanya mendapatkan aplaus dari penonton.
Pada akhir penampilannya, Ibas meminta semua penonton berdiri dan ikut serta menyanyikan lagunya yang sangat pendek, atraktif, tapi inspiratif, untuk anak muda sekarang ini.
Liriknya sangat pendek dan dinyanyikan berulang-ulang dengan gaya dan nada yang selalu berubah.
Mendengar lagu itu, penonton histeris.
“Anak muda Indonesia! Mari, kita nyanyi bersama untuk Indonesia. Untuk masa depan Indonesia yang bersih berwibawa. Indonesia yang bebas dari korupsi!” teriak Ibas.
Sekali lagi penonton ikut teriak histeris, “Hidup Indonesia! Bongkar Korupsi!”
Ibas pun mulai meneriakkan lagunya, “A2KI….!”
Aku…! Kamu…! Kita…! Indonesia………!
Aku…! Kamu…! Kita…! Indonesia………!
Aku…! Kamu…! Kita…! Indonesia………!
Aku…! Kamu…! Kita…! Indonesia………!
Aku…! Kamu…! Kita…! Indonesia………!
Di deretan depan kursi undangan, Theo bersama para undangan VIP lainnya, ikut berdiri mengikuti irama rancak musik rock yang dimainkan Ibas dan teman-temannya.
Di keremangan malam, para undangan yang memang kebanyakan pejabat pemerintahan dan legislator itu, tampak saling bicara dengan teman sebelahnya.
Entah apa yang mereka bicarakan.
Suara mereka tertelan oleh teriakan dan musik yang sedang membahana disertai sorakan para penonton yang kebanyakan adalah anak muda.
Ibas benar-benar menyanyi dengan hatinya.
Lirik demi lirik yang dibalut dengan melodi gitar yang dipetiknya menjadikan semua orang terlarut.
Sebelumnya Ibas telah meminta tim lighting untuk menyorot semua penonton, dengan begitu Ibas bisa melihat bagaimana orang mengapresiasi musiknya.
“Bukankah lagu seperti ini lebih cocok untuk lagu penutup?”
Dodit berbisik pada Iben, akan tetapi tidak ditanggapi sama sekali.
“Tapi maknanya sangat dalam, mungkin itu sebabnya lagu ini penting dan harus ditampilkan di awal. Atau karena yang menyanyikan kakakmu?” tambah Dodit lagi.
“Diamlah!” jawab Iben yang mulai kesal.
Ibas bisa melihat semua penonton di konser itu dari atas panggung.
Dengan bantuan lampu sorot dia memperhatikan mereka tanpa sedikitpun mengurangi fokus pada penampilannya.
Ibas melihat penggemar-penggemarnya yang berada di tribun paling depan sangat antusias.
Melihat Iben yang duduk dengan sahabatnya yang terus berbicara dan berkomentar meskipun Iben tidak menggubrisnya.
Melihat para tamu undangan yang duduk di bangku VVIP yang meski sedang menyaksikan konser tetap sibuk dengan obrolan masing-masing.
Sambil menyelam minum air, saat banyak pejabat dan pengusaha penting berkumpul adalah kesempatan besar untuk membicarakan bisnis dan menambah kolega.
Maka acara yang ada di konser justru bukanlah yang utama.
“Di mana putra bungsumu yang kamu bilang itu,” tanya seseorang pada Theo.
“Tentu saja dia datang ke sini, aku pun sedang mencarinya. Dia masih sangat muda dan berjiwa bebas, dia memilih datang dengan teman-temannya,” jawab Theo yang mencari-cari sosok Iben.
Berikutnya, satu demi satu penyanyi asuhan Ibas tampil.
Semua memberikan yang terbaik.
Ibas puas.
Teman-temannya semua puas.
Penonton juga puas.
Dan akhirnya konser ditutup dengan bersama-sama menyanyikan lagu “Padamu Negeri” yang begitu syahdu dan menyentuh.
Dalam lighting yang redup temaram, semua menyanyikan lagu itu dengan penuh perasaan.
Bahkan, di ujung belakang sana, terdengar isakan tersendat di sela-sela akhir bait lagu itu, “Bagimu Negeri, Jiwa Raga Kami…”
“Selamat! Tadi konser yang sangat hebat!”
Ibas membaca pesan dari Iben tapi tidak menanggapinya.
Setelah membacanya, ponsel segera dikantonginya kembali.
Malam itu jalanan sangat ramai.
Tidak seperti biasanya Iben pun tidak merasa kesepian.
Beberapa hari terakhir Iben merasa sangat bahagia memiliki seorang kakak.
Tapi sesak kembali menjalar di dadanya karena Kak Ibasnya akan segera menyusul Kak Ikang pergi lagi, jauh dan untuk waktu yang lama.
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***