OPINIJATENG.COM- Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jateng memberikan pernyataan sikap di akhir tahun 2021 dan menyongsong tahun 2022 mengenai kearifan berkomunikasi baik dalam ranah media massa (media mainstream) maupun media sosial.
Pernyataan sikap pada setiap akhir tahun, menjadi tradisi yang dikembangkan oleh PWI Jateng sebagai evaluasi, penilaian, dan proyeksi tentang ekspresi kecintaan dunia kewartawanan terhadap keindonesiaan.
Beberapa pokok pikiran disampaikan oleh Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah Amir Machmud NS, didampingi Sekretaris Setiawan Hendra Kelana dalam Refleksi Akhir Tahun 2021, Minggu 26 Desember 2021.
BACA JUGA:Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 62
Menurut Amir Machmud NS pokok pikiran yang disampaikannya dalam pernyataan sikap PWI 2021 yakni selama satu tahun ini, dinamika praktik bermedia, terutama ruang digital kita memperlihatkan kondisi yang bagai rimba raya.
Siapa kuat, maka dialah yang akan survive. Ruang digital terasa keruh, karena para pelaku media cenderung lemah dalam eksplorasi etika.
“Fenomena pemanfaatan media mainstream untuk memenangi opini, antara lain dengan bersikap ofensif kepada lawan politik, berjalan beriring dengan penggunaan platform-platform media sosial yang juga banyak menyampaikan unggahan-unggahan bersifat menyerang, menista, dan mem-bully,” tutur Amir Machmud.
Menurut dia, kasus-kasus yang kemudian berproses di ranah UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menggambarkan konsekuensi berupa celah eksplorasi kearifan dalam mempertimbangkan akibat-akibat.
Dalam amatannya, saat ini orang atau kelompok, dalam bidang apa pun, cenderung main posting semaunya untuk meluapkan ekspresi dan begitu mudah orang menyerang pihak lain serta begitu gampang kemudian meminta maaf.
BACA JUGA:BP4 Jateng Gelar Raker Bernuansa Kekeluargaan
Artinya, ada kesenjangan dalam mempertimbangkan risiko-risiko postingan. Begitu enteng orang mengungkapkan perasaan tanpa mengeksplorasi sikap bijak.
PWI Jateng juga melihat fenomena lain pada sepanjang 2021, yakni walaupun dalam suasana pandemi Covid-19, media terutama online tumbuh subur.
Amir Machmud mengatakan bahwa media yang tumbuh tidak diimbangi dengan keberkembangan watak berkesadaran untuk meliterasi diri sendiri sehingga yang muncul justru bobot pemberitaan yang bersinggungan dengan masalah prosedur standar jurnalistik seperti lemahnya akuntabilitas dan minimnya disiplin verifikasi.
BACA JUGA :Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 61
Ketua PWI Jateng mengatakan dalam praktik, di tengah konstelasi politik nasional saat ini, media-media terbelenggu oleh realitas perebutan ruang eksistensi yang melibatkan orang dan kelompok-kelompok dominan.
“Menjelang kontestasi besar politik 2024, wartawan dan media supaya makin mendewasakan sikap agar tidak diombang-ambingkan oleh kepentingan kekuatan-kekuatan politik yang bertarung,” kata Amir Machmud.
Pelanggaran SARA
Maraknya media online yang menyediakan netizen memberikan komentar sebuah isu publik tertentu dalam rubrik resmi media arus utama ternyata secata tidak langsung menyuburkan sikap-sikap rasis dan antidemokrasi.
Meskipun kanal ekspresi publik itu dibuka atas nama kemerdekaan berpendapat, secara langsung menjadi forum liar untuk menyampaikan apa saja tanpa filter dari aspek pelanggaran SARA, diskriminasi, dan berpotensi melukai nilai-nilai kebhinekaan.
Pada bagian lain, kemarakan aksi dan eksistensi para buzzer atau pendengung menciptakan pengembangan sikap-sikap antidemokrasi, diskriminasi, dan rasisme. Mereka banyak menyentuh dan mengeksploitasi wilayah sensitif agama, suku, dan ras.
BACA JUGA:PMI Gelar Pelatihan Upaya Mengurangi Risiko Bencana Alam
“Pengawalan eksplorasi etika media, menuntut penghayatan sikap dan karakter berjurnalistik yang berpatokan pada nilai-nilai moral. Yakni menjaga agenda sosial media untuk membangun kepercayaan publik lewat pemberitaan yang akuntabel, berdisiplin verifikasi, dan bernarasi positif. Agenda sosial media merupakan keniscayaan untuk menjaga agar sikap berjurnalistik dan sikap bermedia tetap dalam trek kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara,” ungkapnya.
Ditegaskan, konsistensi literasi digital menjadi jawaban. Agenda ini merupakan bagian dari proses pendewasaan mengelola informasi dan gawai secara terus menerus.
“Literasi digital untuk berbagai kelompok masyarakat di semua level dan struktur sosial adalah proses pendidikan dan transformasi perilaku yang tidak akan pernah usai,” tambahnya.
PWI Jateng memandang, kampus perlu didorong dan dijaga menjadi wilayah yang ikut berkontribusi mengawal nilai-nilai demokrasi, bukan justru memberi ruang kepada akademisinya untuk menjadi bagian dari elemen antidemokrasi dengan menjadi buzzer.
Pernyataan sikap pada setiap akhir tahun, menjadi tradisi yang dikembangkan oleh PWI Jateng sebagai evaluasi, penilaian, dan proyeksi tentang ekspresi kecintaan dunia kewartawanan terhadap keindonesiaan. (Sumber PWI Jateng)***