26.7 C
Central Java
Selasa, 24 Juni 2025

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 62

Banyak Dibaca

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINIJATENG.COM –

Lita tersenyum, “Aku masih ingin di sini. Besok kamu pulang duluan saja. Aku akan menyusul setelah beberapa hari.”

“Kau harus menghirup udara luar agar tidak terus menerus larut dalam kesedihan,” saran Iben.

“Apa itu caramu menghibur diri saat ibumu meninggal?”

Deg!

Iben merasa terpukul telak di jantungnya, Lita kembali mengingatkan Iben pada Ipo.

Iben terdiam beberapa saat.

Tatapan mata kosong dan pikiran kosong.

Lita jadi gelisah.

Beberapa kali memanggil Iben tapi Iben diam saja.

BACA JUGA:Musda MUI Ke-10 Harus Bermanfaat bagi Masyarakat dan Pemkab Banjarnegara

“Iben,” Lita menyentuh pundak Iben sehingga Iben terkejut.

“Are you okay?” tanya Lita.

“Iya, aku hanya sedang berpikir untuk menjawab pertanyaanmu.”

“Maaf jika aku mengingatkan pada ibumu.”

“Tidak, aku memang tidak pernah keluar rumah semenjak ibu meninggal. Mungkin itu yang membuatku berlarut-larut dalam kesedihan.”

“Terima kasih untuk saranmu.Tapi aku benar-benar ingin di sini. Melihat ke setiap inci dari mana aku berasal. Mengingat setiap detik yang aku miliki bersama ibu dulu.”

“Tapi ayah akan marah padamu.”

“Aku tidak peduli, aku berulang kali melihat dia marah padamu dan aku tidak akan takut. Dengar Iben, kamu ada bersama ibumu sesaat sebelum dia meninggal kan? Tapi hampir dua tahun aku tidak bertemu dengan ibuku dan sekarang aku bertemu dengannya pada saat sudah tidak bernyawa. Aku harap kamu bisa mengerti.”

“Baiklah,” Iben menarik nafas berat.

“Akan aku lakukan yang terbaik agar ayah tidak marah padamu,” Iben seperti berjanji.

“Jangan lukai dirimu, aku akan baik-baik saja.”

***

Tubuh terasa sangat lemas dan mengantuk.

Perjalanan dari rumah Lita yang cukup jauh membuat Iben lelah.

Selama lebih dari tiga jam Iben memacu mobilnya, karena dia tidak ingin menepi untuk sekAdar beristirahat.

Iben ingin segera sampai ke rumah.

Perjalanan terasa semakin jauh karena dia hanya sendiri di mobil dan tidak ada teman yang bisa diajak mengobrol.

Tanpa disadari Iben membayangkan sosok Lita saat duduk di sebelahnya.

Iben tersenyum, dan bertanya pada dirinya, untuk apa dia melakukan semua ini?

BACA JUGA: Bebas Korupsi, Dua Satker Kemenag Terima Predikat WBK

Buuukkk….!

Theo memukul Iben hingga tersungkur di lantai.

Darah mengalir dari sudut bibir Iben.

Baru saja sampai di rumah, Iben disambut dengan pukulan dari ayahnya.

Iben hanya diam menatap tajam ayahnya dan tidak sepatah kata pun keluar dari bibirnya.

Theo juga menatap Iben penuh kemarahan.

“Kau membawanya kabur?! Anak bodoh!” bentak Theo kemudian.

“Hahahaha…! Kau tidak percaya dengan istrimu sendiri, ayah? Kabur? Kata itu sungguh Lucu!” jawab Iben sembari bangkit.

“Dengarkan ayah! Di dunia ini tidak ada orang yang bisa dipercaya! Trust nobody!”

“Not even yourself, Dad!”

“Jangan mengajari ayah, kamu tidak tahu apa-apa!”

“Aku Iben, anak ayah. Aku tidak akan mengajari ayah, tapi akan belajar dari ayah. Tentang kesalahan-kesalahan yang selalu ayah lakukan.”

Iben meninggalkan ayahnya yang masih terlihat diam termangu.

“Ayah, jika ayah tidak percaya pada siapapun, termasuk orang-orang yang mencintai ayah. Mungkin…ayah tidak sedang hidup di dunia nyata.”

***

Kehilangan semangat untuk melakukan hal yang sangat disukai.

BACA JUGA: Harga Bahan Pokok Mulai Naik , Ganjar Kunjungi Pasar Tradisional untuk Cek Langsung

Tidak punya tujuan bahkan tidak tahu apa yang sedang dilakukan.

Semua itu sedang dirasakan Iben.

Di hatinya hanya ada perasaan “khawatir,” dan di otaknya mengingat satu nama “Lita”.

Iben tidak menyentuh satupun buku di hadapannya.

Dan sama sekali tidak memikirkan tugas kuliahnya.

Sangat jauh berbeda dengan Iben yang biasanya.

Bruuukk!

Dodit sengaja menjatuhkan tumpukan buku di hadapan Iben yang sedang melamun di perpustakaan.

“Wowww…sepertinya si kutu buku sedang absen,” ledek Dodit kemudian. Iben diam saja dan enggan menanggapi.

“Dit, jika kamu tahu ada tindak kekerasan terhadap wanita, apa yang kamu lakukan?” tanya Iben.

“Ya, menolong lah. Sebisaku tentunya…”

“Meskipun wanita itu orang yang kamu benci?” tegas Iben.

“Setahuku wanita tetap wanita, seberapapun kita membencinya. Ibu kita adalah seorang wanita. Jadi jika kita kasar pada wanita sama saja melukai ibu kita sendiri.”

Iben terdiam dan berpikir.

“Tolong kerjakan tugasku!” perintah Iben pada Dodit.

“Heh…heh…. Apa apaan ini!” Iben tidak menggubris Dodit dan meninggalkan temannya itu dengan tumpukan-tumpukan buku.

“Hei kenapa tidak minta pada mereka yang biasa menyuruhmu!”

BACA JUGA: Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 59

“Sttttttt!” Respon orang-orang di perpustakaan karena merasa terganggu dengan teriakan Dodit.

“Hei, apa lihat-lihat!” balas Dodit kemudian.

Sejenak Dodit tersenyum, sahabatnya baru saja bertanya tentang sesuatu yang berkaitan dengan wanita.

Dan “Wanita alias perempuan alias cewek” merupakan kata yang hampir tidak pernah diucapkan Iben.

Itu adalah kemajuan.

Sementara itu, dari ruang baca perpustakaan, Iben langsung lari keluar menuju Vespanya yang terparkir menyendiri di bawah pohon akasia di samping gedung.

Tidak pikir panjang, Iben langsung menggeber Vespa bututnya ke kampung Lita.

Kampung Lita ada di wilayah Kabupaten Sukoharjo, kota kecil beberapa puluh kilometer di sebelah barat selatan Kota Solo.

Iben sudah memutuskan untuk menjemput Lita di kampung.

Diajak pulang kembali ke rumahnya di Semarang.

Tanpa persiapan.

BACA JUGA: Penyakit Ain dari Pandangan Mata Dapat Merusak Kehidupan Orang Lain

Yang Iben pikirkan hanyalah sampai di rumah Lita dan menjemput Lita sebelum didahului oleh bodyguard ayahnya.

Iben memacu sepeda motornya dengan kecepatan penuh.

Vespa tua yang amat Iben sayangi itu belum pernah menempuh perjalanan panjang sebelumnya.

Belum pernah dipacu keluar kota.

Angin menerpa wajah Iben yang mengenakan helm tanpa kaca dan tubuh kurus Iben yang dibalut kemeja tanpa jaket.

Belum sampai di rumah Lita Iben mendapat masalah. Vespa bututnya mogok.

“Sial!” umpatnya, sambil menuntun mendorong motornya ke pinggir jalan.

Iben menepi, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Gelisah, marah, khawatir, membuat Iben tidak bisa berpikir secara cepat.

Dia berusaha menyalakan motornya tapi tetap saja gagal.

Iben tidak mungkin meninggalkan motor kesayangannya begitu saja.

Motor itu sangat berarti bagi Iben karena telah menjadi saksi bisu hidup Iben sejak lama.

Motor yang juga dibeli dengan uang Iben sendiri bukan uang dari Theo.

Pilihan yang sangat rumit untuk Iben.

Dan akhirnya dia memutuskan mendorong motornya hingga bengkel terdekat.

Iben memang tidak pernah memanfaatkan kekayaan ayahnya, tapi Iben belum pernah merasa sesulit ini sebelumnya.

Menunggu Vespanya diperbaiki.

Duduk terkantuk-kantuk, tanpa berbuat sesuatu.

Sungguh sangat menyiksa Iben.

Hampir satu setengah jam tukang bengkel memperbaiki Vespanya.

Ternyata harus ganti platina, ganti busi, dan ganti oli mesin.

Untung bengkelnya lengkap persediaan suku cadangnya.

Begitu Vespanya bisa nyala lagi mesinnya, Iben segera tancap gas kembali menuju ke kampung Lita.

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer