Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)
OPINIJATENG.COM –
Bagian 9
API MULAI MENYALA
Pyaaarrr….!!,
Lita menjatuhkan gelas air yang sedang dipegangnya.
Mbok Siti yang kebetulan juga berada di dapur langsung menghampiri Lita.
“Ada apa, Neng?!” tanya Mbok Siti khawatir.
Lita diam saja, tangannya gemetar, dan kakinya serasa lumpuh, ambruk.
Mbok Siti panik.
Dia berteriak minta tolong.
BACA JUGA:Lalu Lintas di Jateng Landai, Ganjar Prediksi Peningkatan Malam Hari
Tetapi rumah itu terlalu luas sehingga yang ada di luar rumah tidak mendengar teriakan Mbok Siti.
Mbok Siti bersusah payah memapah Lita ke kamarnya.
Iben yang mendengar teriakan Mbok Siti, langsung keluar kamar, berlari turun tangga.
Melihat Mbok Siti kesusahan memapah Lita, Iben segera menolong mereka.
Iben dan Mbok Siti menyaksikan Lita yang terus saja menangis tanpa air mata, mereka masih belum tahu apa yang terjadi karena Lita belum mampu berkata-kata.
Lita mengisyaratkan Mbok Siti untuk mengambilkan ponselnya.
Dengan tergesa gesa Lita menghubungi seseorang melalui ponselnya, tapi tidak ada jawaban.
Berulang kali Lita menghubungi nomor tersebut tetapi tetap tidak ada jawaban.
Hal itu membuat Iben kesal.
“Sebenarnya ada apa!” tanya Iben yang sama sekali tidak dihiraukan oleh Lita.
Iben semakin kesal dan hendak meninggalkan Lita dan Mbok Siti.
“Ha..Halo sayang,” ucap Lita kemudian.
“Bisa kita pergi ke kampungku? Ibu meninggal.”
Deg!
BACA JUGA: Gus Yahya : NU Memiliki Dua Agenda Besar
Seketika langkah Iben terhenti.
Setelah menelepon Theo tangisan Lita justru semakin menjadi.
“Bagaimana ini, Mbok,” ucap Lita susah payah sambil terus terisak.
Mbok Siti kebingungan.
“Saya bantu siapkan barang-barang untuk pulang ke kampung ya, Neng,” ucap Mbok Siti menenangkan.
“Ti.. tidak, Mbok…”
“Dia tidak bisa datang ke pemakaman ibuku. Dia tidak mungkin pulang karena dia baru saja pergi.”
Lita menangis di pelukan Mbok Siti.
Iben mengepalkan tangannya sebelum meninggalkan kamar Lita.
BACA JUGA:
Entah perasaan apa yang sedang berkecamuk di dada Iben.
Jantungnya seakan berhenti beberapa detik setelah mendengar berita kematian seorang ibu.
Iben kembali teringat pada sosok Ipo, ibunya yang masih dia rindukan hingga saat ini.
BACA JUGA:Pantau Misa Natal di Semarang, Ganjar Beberkan Indahnya Toleransi
Dan perlakuan Theo yang seolah tidak peduli membuat Iben merasakan Lita sekarang berada di posisi yang sama seperti Iben dulu.
Pikiran Iben kacau, dia mengunci kamarnya dan bersandar di balik pintu.
Untuk kali ini Iben kasihan dengan Lita dan kemarahannya bertumpuk pada Theo.
“Kau pikir siapa yang akan menguburmu setelah kau mati nanti!”, teriak Iben yang kemudian meninju pintu kamarnya.
Setelah mengambil kunci mobil Iben segera ke kamar Lita.
Iben menarik tangan Lita yang masih memeluk Mbok Siti.
“Apa-apaan kamu!” teriak Lita.
“Apa kamu mau terlambat ke pemakaman ibumu?!”
“Kamu mau mengantarku?” tanya Lita dengan wajah berbinar-binar.
Iben tidak menjawab.
Dia hanya pergi menuju garasi.
Sedangkan Lita sangat bahagia.
Dengan dibantu Mbok Siti Lita segera bersiap-siap.
Dia tidak peduli apa yang terjadi nanti.
Mungkin saja Theo akan marah karena Lita tetap pulang ke kampung, tanpa harus menunggu Theo.
BACA JUGA:7 Hal Mengetahui Kepribadian Seseorang dari Cara berbicara
Pergi meninggalkan ibu sudah membuat Lita terpenjara dalam hidup penuh penyesalan.
Jika Lita tidak bisa ke pemakaman maka dia akan merasa jiwanya telah mati karena rasa penyesalan.
“Terima kasih ya, Ben.” kata Lita lirih sambil menengok ke wajah Iben yang sedang nyopir mobil.
“Aku pernah merasakan kehilangan seorang ibu.” jawab Iben tetap dengan pandangan lurus ke depan.
“Setidaknya kamu belum pernah merasakan kehilangan seorang ayah.”
“Mungkin sudah,” jawab Iben datar.
Lita sedikit terkejut dan melihat ke arah Iben, tetapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
Menyadari perlakuan Theo pada Iben, Lita mengerti kenapa Iben berkata demikian.
“Mungkin…”
Setelah itu, sepanjang perjalanan tidak ada lagi percakapan di antara keduanya selain tentang arah dan jalan.
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***