OPINIJATENG.COM- Viralnya berita tentang kasus guru Madani Boarding School tempat 12 santriwati diperkosa Herry Wirawan (36 th), pemilik pesantren tersebut, dan melahirkan 9 bayi, menyentak, menyesakkan dada para pengelola pondok pesantren. Nama pesantren, menjadi ikut-ikutan terkena stigma negatif, karena ulah oknum guru bejat tersebut.
Kata newsdetik.com (11/12/2021) banyak terdapat kejanggalan di dalamnya. Sekolah yang dikelola Yayasan Pendidikan Sosial Manarul Huda Antapani ini, tidak berijin sebagai pesantren, hanya mempunyai satu guru, yaitu Herry sendiri. Santrinya, semuanya perempuan berusia 13 tahunan tak pernah belajar. Hal itu dikatakan pengacara sejumlah korban asal Garut, Yudi Kurnia.
Menurutnya di pesantren tersebut Herry bertindak sebagai pengelola dan guru tunggal. Tidak ada pengajar lain di pesantren tersebut. “Dia pemilik yayasan, sekaligus pengajar. Ini yang saya heran. Pesantren itu, santrinya adalah perempuan semua. Yang mengajarnya satu orang. Si oknum itu laki-laki,” katanya kepada wartawan, Jumat (10/12/2021).
Belum usai perdebatan dan kontroversi tentang terbitnya Permendikbud No. 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, yang seakan-akan menolerir terjadinya hubungan seksual laki-laki perempuan asal suka sama suka dan persetujuan, meskipun tanpa nikah, kasus oknum guru Madani Boarding School, ini memantik keseriusan dan perlunya ada regulasi penanggulangan, pencegahan, dan penanganan tindak asusila di pondok pesantren.
Dalam ikhtiar merespon hal-hal yang mengguncangkan jagad medsos dan pesantren, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah menggandeng Kerjasama dengan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, hari ini 27-28/12/2021 menggelar Halaqah Ulama dengan mengusung tema “Penyusunan Regulasi Penanggulangan dan Pencegahan kasus-kasus Asusila di Pesantren”.
Boleh jadi ada yang bertanya, apakah kasus oknum guru Madani Boarding School itu berimplikasi munculnya kekhawatiran bahwa di pondok pesantren juga terjadi kasus-kasus asusila?
Laman CNN Indonesia, Jumat, 10/12/2021 merilis, ada sejumlah dugaan kasus pelecehan seksual terhadap santri oleh pengasuh hingga pemilik pondok pesantren terjadi di berbagai wilayah.
Pesantren yang seharusnya menjadi tempat aman bagi para santri justru dimanfaatkan pengasuh melakukan kekerasan seksual.
Kasus terbaru yang terungkap terjadi di Jawa Barat dan Jawa Tengah yakni Bandung, Tasikmalaya, dan Cilacap.
Kasus lain terjadi, di Kabupaten Tasikmalaya. Ato Rinanto (Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Tasikmalaya), telah melaporkan kasus kekerasan seksual ini ke pihak kepolisian.
Terlapor merupakan guru/pengasuh di salah satu pondok pesantren. Polres Cilacap mengungkap kasus dugaan perkosaan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan seorang guru pelajaran agama berinisial M (51) di Kecamatan Patimuan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Kasus yang terjadi 24/11/2021, korbannya lebih dari satu. Kasat Reskrim Polres Cilacap AKP Rifeld Constantien Baba, Kamis (9/12) mengatakan “Yang membuat miris, korbannya lebih dari satu, totalnya adalah 15 korban siswi sekolah tingkat dasar”.
September 2021, publik dihebohkan kasus pelecehan seksual oleh dua oknum pengasuh pondok pesantren di Ogan Ilir, Sumatra Selatan. Mereka diduga melakukan tindak asusila terhadap 26 santri laki-laki dengan iming-iming uang puluhan ribu rupiah.
Kasus pelecehan seksual diduga dialami puluhan santriwati oleh oknum guru berinisial SMT di pondok pesantren di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Tersangka telah ditangkap kepolisian pada 24 September 2021.
Kasus asusila lainnya, dilakukan oleh oknum pimpinan pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur, berinisial S (50) diduga mencabuli para santriwati. Kasus itu terungkap pada Februari 2020.
Korbannya mencapai 15 santriwati dalam dua tahun terakhir. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jombang telah memvonis S selama 15 tahun penjara dan denda Rp 4 miliar.
Masih dari laman CNN Indonesia, praktik asusila diduga dilakukan oleh Pengasuh pondok pesantren berinisial AM (52) di Mojokerto, Jawa Timur yang mencabuli para santri.
Pengacara korban, M. Dhoufi menyatakan kliennya dicabuli sejak 2018 dengan iming-iming mendapat berkah kiai. Sementara Kemenag Kabupaten Mojokerto memastikan pesantren tersangka AM, belum terdaftar di kemenag.
Kasus lainnya, terjadi di Kota Lhokseumawe Aceh. Oknum AI (45) ketua Yayasan ditangkap polisi karena diduga melecehkan 15 santri yang masih anak-anak pada 2019 lalu. Kasus pelecehan seksual ini telah terjadi sejak akhir 2018.
Kasus asusila lainnya, diduga dilakukan oleh Pimpinan pondok pesantren (ponpes) berinisial SM di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan (Sulsel), November 2021. Dalam kasus ini setidaknya empat korban melapor ke Polres Pinrang.
Komnas Perempuan mencatat 51 kasus asusila yang terjadi di lingkungan Pendidikan, dalam rentang waktu 2015 sd Agustus 2020.
Dari total kasus itu, pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam menempati posisi kedua 19%, dan di posisi pertama ditempati oleh universitas sebanyak 27%.
Mencermati kasus-kasus di atas, halaqah Ulama yang digelar MUI Jawa Tengah bekerjasama dengan Direktorat PD Pontren Ditjen Pendis Kemenag RI ini sangat penting.
Tampaknya draft dan naskah akademik perlu segera disiapkan dan dimatangkan, dan semaksimal mungkin melibatkan masyarakat banyak, orang tua dan organisasi santri.
UU Nomor 15/2019 tentang Perubahan atas UU Nomor: 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Menteri yang dibentuk harus atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, berkualifikasi sebagai perundang-undangan, dan Peraturan Menteri yang dibentuk bukan atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (atas dasar kewenangan) berkualifikasi sebagai aturan kebijakan (Bilal Dewansyah, 19/5/2014).
Selamat ber-Halaqah dan segera menghasilkan regulasi yang komprehensif dalam menanggulangi kasus-kasus asusila di pondok pesantren, dan mampu mengembalikan marwah dan martabat Pondok Pesantren, sebagai tempat mulia dan benteng tafaqquh fi d-din, agar tidak tercemari kasus-kasus yang sangat dilarang keras dan sangat keji menurut ajaran Islam. Allah A’lam bi sh-shawab.
*) Prof. Dr. Ahmad Rofiq, MA. Wakil Ketua Umum MUI Jawa Tengah, Ketua PW LP Ma’arif NU Jawa Tengah (2000-2003), Sekretaris Dewan Pendidikan Jawa Tengah (2003-2011), Guru Besar Pascasarjana dan FSH UIN Walisongo Semarang, Direktur LPPOM-MUI Jawa Tengah, Ketua DPS Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang, Anggota BPS BPRS Bina FInansia, Koordinator Wilayah Indonesia Tengah MES Pusat, dan Anggota Dewan Penasehat IAEI Pusat.***