23.9 C
Central Java
Sabtu, 14 Juni 2025

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 72

Banyak Dibaca

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINI JATENG –
Lita seperti tidak menghiraukan pandangan berkilat Iben yang aneh.

Lita bangkit dari kursi.

Tubuhnya condong ke depan.

Meraih piring yang ada di depan Iben.

Lalu mengisi piring itu dengan nasi, menambahkan sayur lodeh secukupnya, mengambil ikan goreng seekor, menumpuknya di atas nasi, dan mencolek setengah sendok kecil sambal untuk dioleskan di atas ikan goreng.

Iben makin melongo melihat Lita menyiapkan piring lengkap dengan isinya untuk dirinya.

Dia tidak melihat Lita yang melakukan itu.

Dalam pandangannya, Ipo, ibunyalah yang melakukan itu semua.

Apa yang dilakukan Lita sekarang ini adalah apa yang biasa dilakukan ibunya dulu saat mereka di meja makan.

Dengan tersenyum, Lita meletakkan piring yang sudah terisi cukup penuh itu di depan Iben.

Lalu, dia sendiri mengambil piringnya, menyendok nasi, menambahkan sayur lodeh, mengambil ikan goreng dan tahu goreng, mencolek seujung sendok sambal, dan sejenak diam.

Lita memandang Iben.

“Ben? Kamu tidak apa-apa, kan? Ayo, kita mulai makan.”

Lita menyapa Iben sambil matanya lurus menatap Iben.

“Eh, ya. Maaf. Aku tidak apa-apa.” jawab Iben agak gugup.

Tapi tangannya mulai memegang sendok dan menyuapi mulutnya.

Lita pun jadi ikut diam.

BACA JUGA:Hurip Santoso Raih jadi Doktor Setelah Pertahankan Desertasi

Mereka makan dengan lamunan masing-masing.

Sesuap demi sesuap mereka makan.

Tanpa suara.

Hanya suara denting halus sendok bertemu piring saja sesekali memecah kesunyian.

Tiba-tiba Iben meletakkan sendok dan garpunya.

Matanya memandang tajam pada Lita.

“Boleh aku tanya sesuatu?”

Lita menghentikan makan.

Juga menaruh sendok dan garpu.

“Heem, ya. Tentu saja boleh. Mau tanya apa?” jawab Lita sambil sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan.

Isyarat dia benar-benar serius ingin mendengarkan pertanyaan Iben.

Iben menelan ludah.

Seperti sedang mengumpulkan keberanian untuk berbicara di depan Lita.

BACA JUGA:Ingin Sukses? 5 Orang yang Wajib Ada di Sekitarmu

“Ehm, boleh aku tahu, mengapa kamu berdandan seperti itu?” suara Iben seperti tercekik di tenggorokan.

Lita tidak langsung menjawab.

Dia malah tersenyum lebar dan mengangkat kedua tangannya.

Diletakkannya kedua tangannya di atas meja.

Di samping kanan dan kiri piringnya.

“Iben, aku tahu kamu kaget melihat aku pakai baju hijau ini.”

“Aku memang harus berterus terang padamu. Sudah beberapa minggu belakangan ini, aku sering ikut Mbok Siti membersihkan kamar ibumu.”

“Aku melihat-lihat koleksi baju ibumu. Baju yang warna hijau itu sangat cantik. Aku suka. Ingin aku mencobanya. Tetapi tidak pernah berani melakukannya.”

“Aku takut kamu marah besar kalau tahu aku mencoba pakai baju ibumu. Karena aku suka, aku pengin punya juga. Makanya, aku lalu beli kain hijau seperti baju ibumu itu.”

“Lalu aku ke tukang jahit, minta dijahitkan baju yang sama modelnya dengan baju ibumu. Terus aku melihat foto ayah dan ibumu, yang ada di dinding kamar. Aku melihat gaya rambut ibumu yang hanya diikat ekor kuda kok tampak cantik, lebih muda, walau cukup sederhana.”

“Aku pun mencoba mengikat rambutku dengan gaya ekor kuda. Dan kayaknya memang praktis namun tetap rapi dan cantik.”

“Jadi, tidak ada maksud lain. Aku hanya mengikuti rasa ingin saja dandan begini ini. Apakah kamu tidak suka? Atau bahkan marah karena aku telah meniru cara berdandan ibumu?”

BACA JUGA:Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 70

Lita diam sejenak.

Menunggu respons Iben.

Tapi Iben masih diam.

Dia melihat Lita bicara dengan tatapan aneh.

Hanya Lita sendiri yang tahu apa makna tatapan itu.

Tapi Lita merasa, memang saat inilah yang paling tepat untuk memepet mendekati Iben.

Maka, tanpa rasa takut atau cemas lagi, Lita sengaja menatap langsung mata Iben yang juga memandangnya dengan aneh.

“Oh, ya. Beberapa hari ini, aku pula yang mengganti bunga sedap malam di kamar ibumu. Aku tahu, kamu makin sibuk dengan kuliah. Kamu tak punya waktu lagi untuk rutin membeli dan mengganti bunga itu setiap hari.”

“Aku ingin membantumu. Biarlah urusan rumah ini aku dan Mbok Siti yang menangani. Kamu konsentrasi pada kuliahmu saja. Percayalah, semua urusan rumah beres.”

“Termasuk kamar ibumu. Kamu tak perlu khawatir. Aku tidak akan mengubah semua yang ada. Aku akan menjaganya seperti ibumu menjaganya. Kamu mau mempercayai aku, bukan?”

BACA JUGA: Kenali Tumor Payudara pada Pria Seperti Dialami Robby Purba

Iben menarik nafas panjang.

Dan dihembuskannya nafasnya tidak melalui hidung, tetapi melalui mulut yang membuka membentuk seperti saat melafalkan huruf “O”. Huft….

”Iya. Aku sudah tahu semuanya. Kamu menjahitkan baju seperti model baju ibu. Kamu mengikat rambut seperti model rambut ibu. Kamu pakai parfum seperti parfum yang biasa dipakai ibu. Kamu mengganti bunga sedap malam di kamar ibu. Juga urusan di meja makan ini. Kamu sudah berbuat seperti apa yang sudah biasa ibu lakukan padaku. Dan entah….kebiasaan ibu yang mana lagi yang akan kamu tiru…”

Iben berhenti sebentar.

Kedua tangannya mengusap kepala.

Dari kening, dahi, terus ke belakang.

Dan sekarang kedua telapak tangannya menempel di jidat, dengan jari tangan kanan dan kiri saling menumpuk.

“Aku tidak tahu, harus berbuat apa saat ini. Sungguh, otakku jadi tumpul. Perasaanku jadi bebal. Terus terang, aku benci kamu. Aku tidak ingin punya ibu tiri. Hanya ibuku satu-satunya wanita yang boleh menetap tinggal di rumah ini. Tapi ayah bawa kamu ke rumah ini. Aku juga benci ayah. Ayah tidak pernah membahagiakan ibu. Dia sibuk dengan dunianya sendiri. Politik telah merampas ayah dari kehidupan kami. Aku yakin, kamu sekarang sudah tahu. Bagaimana menderitanya jadi istri Theo, laki-laki yang hanya mengejar kesenangannya sendiri.”

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer