26.7 C
Central Java
Selasa, 24 Juni 2025

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 70

Banyak Dibaca

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINI JATENG –

Ingat parfum ibunya, mata Iben menengok ke meja rias.

Semua tertata rapi seperti biasa.

Dan kembali jantung Iben berdegup kencang.

Bunga sedap malam itu! Iben ingat, tadi pagi dia berangkat kuliah masih cukup pagi.

Sekitar pukul 06:30.

Dia belum sempat membeli dan mengganti bunga sedap malam di vas itu.

Sudah dua hari belum diganti.

Mestinya bunga itu mulai kuning melayu.

Tetapi, yang dilihatnya sore ini, bunga sedap malam itu masih segar.

Masih memberikan aroma harumnya yang khas di sore ini.

Iben yakin, ada orang lain yang telah menggantikan bunga itu.

Siapa?

BACA JUGA:Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 69

Iben yakin, orang itu pasti Lita.

Ya, Lita telah memasuki kamar ini.

Lita telah mengganti bunga sedap malam itu.

Lita juga telah melihat baju hijau muda ini.

Dan sekarang Lita sedang memakai baju hijau serupa.

Rambut Lita juga diikat ekor kuda.

Apakah arti semua ini?

Tiba-tiba Iben merasa badannya lemas.

Dia terhuyung-huyung.

Kakinya seolah tak mampu lagi menahan berat tubuhnya.

Iben berjalan sempoyongan ke tempat tidur.

Lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur.

Tangannya masih memegang hanger di mana baju hijau ibunya tergantung.

Baju itu menutup wajahnya yang tengadah memandang langit-langit kamar.

Perasaannya kacau tidak karuan.

Pikirannya beku seperti bongkahan es dalam suhu minus tiga puluh derajat celcius.

Sementara itu, Lita hanya melirik mencuri pandang saat Iben balik kanan dan berlari menuju ke kamar Ipo.

BACA JUGA: Jabatan dan Kebahagiaan

Lita hanya menarik nafas panjang.

Lalu pelan berdiri dan berjalan ke belakang menuju dapur.

Mbok Siti masih sibuk menyiapkan makan malam.

Dia tidak begitu memperhatikan kedatangan Lita.

“Ada yang bisa aku bantu, Mbok?” sapa Lita yang sudah berdiri di belakang Mbok Siti.

Mbok Siti kaget. Dia membalikkan badannya.

“Hah..!? Ibu…!? Ah, Neng! Bikin saya kaget dan takut saja!” Mbok Siti setengah berteriak dengan mata terbelalak.

“Kenapa, Mbok? Adakah yang aneh?” tanya Lita, tetap dengan senyum simpul di bibirnya.

“Saya sempat takut tadi, Neng. Habis Neng begitu sih pakaiannya. Baju terusan panjang hijau. Rambut diikat ekor kuda begitu. Sekilas, persis banget dengan ibu Ipo, mendiang. Siapa tidak kaget dan takut, coba?!” Mbok Siti nyerocos sendiri.

Lita hanya diam.

Senyumnya saja yang kian mengembang.

“Wah, Neng, baru yakin saya, sekarang. Berarti Neng yang mengganti bunga sedap malam di kamar ibu, tadi pagi, ya. Waktu bersih-bersih tadi, saya sempat terkejut. Kok bunga sedap malamnya sudah berganti dengan yang segar? Ternyata Neng yang sudah menggantinya. Soalnya Den Iben kan belum beli bunga, dan tadi berangkat kuliah cukup pagi.”

Mbok Siti masih melanjutkan, “Lha, waktu itu Neng lihat-lihat baju dari almari ibu. Ternyata sekarang neng bikin baju yang sama dengan baju ibu itu. Wah, Neng. Mbok bisa bayangkan, seperti apa kagetnya Den Iben melihat Neng seperti ini.”

“Ah, tidak apa-apa kok, Mbok. Iben tenang-tenang saja. Tidak heran. Apalagi kaget.” kata Lita sambil ikut sibuk mengambil sayuran yang akan dipotong-potong oleh Mbok Siti.

BACA JUGA: Teruslah Berbuat yang Terbaik

“Syukurlah, Neng. Saya ikut seneng kalau Den Iben sudah bisa menerima Neng sebagai ibu di rumah ini. Rumah ini akan semakin hangat suasananya.” Mbok Siti bicara lirih. Seperti bicara pada dirinya sendiri.

Pada saat yang sama, Iben masih telentang diam di atas tempat tidur di kamar ibunya.

Pelan-pelan pikirannya mencair.

Dia menata perasaannya.

Sore ini Lita benar-benar membuatnya shock.

Kemarin, dengan rambut diikat ekor kuda saja sudah membuatnya kaget.

Sekarang dengan baju hijau itu, benar-benar Lita seperti menjelma jadi Ipo, ibunya.

Postur tubuhnya mirip.

Langsing.

Sedang model rambutnya juga hampir sama.

Sedikit agak berombak sepanjang bahu.

Ibunya dulu sangat suka rambutnya diikat model ekor kuda.

Bila berjalan atau kepala bergerak, rambut ekor kuda itu bergerak-gerak mengikuti gerak kepala.

Rambut ikat ekor kuda memang memberi kesan sederhana.

Tetapi justru tampak lebih muda karena rambut ikat ekor kuda kebanyakan dipakai oleh anak-anak dan remaja.

Pikiran Iben melayang ke belakang, membuka kembali kenangan-kenangan indah bersama ibunya.

Bagaimana ibunya menyiapkan sendiri kopi susunya pagi dan sore?

Bagaimana ibunya memintanya memijat kakinya di tempat tidur ini, bila merasa capek setelah seharian beraktivitas bersama Mbok Siti mengurus rumah?

Dan ibunya memintanya pula menemani bila ingin belanja ke pasar.

Beli kebutuhan rumah.

BACA JUGA: 7 Tips Ampuh Menggoda Suami yang Super Sibuk dengan Pekerjaan

Tak lupa beli bunga sedap malam di kios bunga belakang pasar.

Kenangan-kenangan itu berseliweran datang dan pergi dalam kepalanya.

Rasa rindu berdekatan dengan ibunya membuat Iben benar-benar merasa tersiksa.

Ibunya yang masih bisa tertawa dan tersenyum bila ada dirinya di sampingnya.

Begitu juga dirinya, merasa hidup ini damai bahagia bila sudah berada dalam peluk dekap ibunya.

Iben membalikkan tubuhnya.

Yang tadinya terlentang sekarang menelungkup.

BACA JUGA: Google Doodle Lucu di Awal Tahun Baru 2022, Dibuat Meriah dan Lucu

Dia membenamkan wajahnya ke kasur dengan baju hijau ibunya masih menempel di wajahnya.

Berbagai perasaan masih berkecamuk di dalam dirinya.

Melihat Lita berdandan seperti ibunya, Iben merasa serba salah.

Dia kaget.

Jelas.

Ada rasa dongkol, atau bahkan marah, melihat Lita berdandan menyerupai ibunya.

Bagi Iben, ibunya adalah sosok wanita tak ada duanya di dunia ini.

Hanya ibunya yang bisa memberikan kebahagiaan kepada dirinya.

Iben merasa Lita sudah berani kurang ajar dengan baju dan ikatan rambut model khas ibunya.

“Haruskah aku menghajarnya?” gerutu Iben.

Tanpa sadar tangannya mengepal.

“Jangan, tak pantas kamu menghajar wanita.”

Ada suara lain berbisik di telinganya.

BACA JUGA:Kisah Bupati Soemitro Kolopaking Tak Hanya Blusukan Namun Blasakan, Pantas Menjadi Pahlawan

“Bahkan marah pun sesungguhnya tak perlu. Siapa tahu Lita berdandan mirip ibu itu justru untuk menarik perhatianmu?”

“Bukankah selama ini hubunganmu dengannya sangat buruk? Sesudah kematian ibunya, dan kamu mengantarkannya ke kampung, hubungan kalian sedikit mencair.”

“Ya, kamu mulai bisa memahami perasaan Lita. Dan Lita tampaknya juga berharap dapat lebih dekat denganmu. Bisa jadi, dia berdandan seperti itu karena ingin membuat kejutan padamu. Dia ingin lebih dekat denganmu. Apakah kamu tidak punya perasaan sedikit pun untuk menghargai usahanya itu?”

Suara itu makin jelas dan begitu dekat dengan daun telinganya.

“Ibuuuu….” keluh Iben.

“Aku tidak ingin punya ibu tiri.

Aku tidak ingin ada wanita lain di rumah ini selain ibu.

Aku tidak ingin rumah ini berubah walau tanpa ibu.

Ibu hanya sedang pergi jauh.

Suatu saat nanti pasti kembali.

Dan rumah ini harus tetap seperti ini sampai ibu kembali nanti.”

Iben mengadu pada ibunya.

BACA JUGA:Jelang Detik Sambut Tahun Baru 2022, Negara Mana Paling Awal dan Akhir Merayakannya?

“Ibu, Iben benci dengan ibu tiri itu. Tapi dia juga sama seperti Iben. Ibunya pergi. Dia juga sedih dan menderita karena ditinggal ibunya. Iben benci dia, bu. Iben benci.”

Iben diam sesaat.

Kembali tubuhnya menggelimpang.

Dari tengkurap kembali telentang.

Wajahnya kuyu, menatap langit-langit kamar.

“Iben benci dia, bu,” ulangnya. “Tapi….dia malah seperti ibu, sekarang.”

Di langit-langit kamar, Iben seperti melihat wajah ibunya yang masih tetap cantik.

Wajahnya teduh.

Tersenyum manis padanya.

Ibunya memakai baju terusan panjang warna hijau muda.

Dan rambutnya yang hitam diikat ekor kuda.

Bau parfum khas kesukaan ibunya tiba-tiba saja menguar di seluruh ruang kamar.

Sekejap kemudian, Iben tidak ingat apa-apa lagi.

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer