Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)
OPINI JATENG –
Sore itu, Lita pergi sendiri ke Mall.
Ada sesuatu yang ingin dia beli.
Sesampainya di Mall, dia langsung menuju ke toko kain.
Berputar-putar sebentar mencari kain yang dia inginkan.
Akhirnya, dia memperoleh kain itu.
Kain halus bahan baju berwarna hijau muda.
Dia tampak puas dengan kain yang dibelinya itu.
Dari Mall, Lita langsung menuju ke Tukang Jahit langganannya.
Di sana, Lita agak lama karena mendiskusikan model baju yang diinginkan dengan si Tukang Jahit.
“Aplikasi rendanya jangan terlalu lebar ya, mas. Maksimal selebar dua jari saja.”
Lita mencoba lebih meyakinkan si Tukang Jahit.
“Beres, mbak. Seminggu lagi saya calling ya. Bisa diambil.”
Si Tukang Jahit pun tidak mau kalah untuk meyakinkan pelanggannya.
“Oke. Sip. Aku tunggu kabarnya.” jawab Lita.
Dari tukang jahit, Lita langsung pulang ke rumah.
Hari sudah mulai gelap.
Lampu-lampu jalanan sudah menyala.
Semburat merah jingga di cakrawala barat menandakan matahari mulai tenggelam.
Senja yang indah.
Lita minta sopir taksi agak mempercepat mobilnya.
Lita berharap sebelum gelap malam menyelimuti langit, dia sudah sampai di rumah.
BACA JUGA:Jabatan dan Kebahagiaan
***
Lita sedang asyik mematut diri di depan cermin meja riasnya.
Baju model rok panjang terusan, dengan aplikasi renda di depan, dari bagian bawah kerah sampai batas bawah dada, terasa sangat pas dan nyaman membungkus tubuhnya.
Baju itu baru dia ambil dari tukang jahit, tadi pagi.
Dan sore ini sengaja dia pakai.
Dia ingin tahu, seperti apa respon Iben, saat melihat dirinya memakai baju berwarna hijau ini.
Lita masih berputar-putar di depan cermin.
Baju terusan panjang itu membungkus sempurna tubuhnya.
Yang terbuka hanya bagian kepala sampai leher, lengan tiga perempat, sedikit di bawah siku saja.
Tubuh sampai mata kaki semua tertutup.
Telapak kakinya saja yang tampak.
Kulitnya yang kuning cukup serasi dengan warna hijau muda.
Rambutnya diikat ekor kuda.
Penampilan Lita sore ini benar-benar istimewa.
Dia tampak anggun, matang, walau sepintas seperti gadis yang masih kuliah.
Pukul lima sore.
Lita mendengar suara mesin Vespa butut Iben memasuki halaman rumah.
Sebentar lagi tentu masuk garasi.
Setiap pulang kuliah di sore hari, Iben hampir selalu menuju ruang makan.
Ambil gelas, buka kulkas, tuang air dingin, lalu memuaskan rasa hausnya.
Semarang memang panas.
Sore menjelang senja pun, matahari masih bersinar tajam, panasnya masih terasa cukup menusuk kulit.
Oleh karena itu, air dingin menjadi kebutuhan pokok hampir bagi setiap orang.
Tak heran, Iben pun setiap pulang kuliah, langsung bisa menenggak dua gelas penuh air dingin.
Begitu mendengar suara Vespa memasuki halaman, Lita bergegas keluar kamar menuju meja makan.
Dengan santai dia duduk di kursi, sambil menikmati kue dan minuman yang selalu disediakan Mbok Siti setiap sore.
Posisi duduk Lita sengaja menghadap ke arah garasi.
BACA JUGA:Peningkatan Pelayanan, Bus Trans Banyumas Berhenti Sementara
Iben akan langsung melihat Lita dari depan saat menuju ke ruang makan.
Terdengar suara mesin Vespa dimatikan dari garasi.
Lalu pintu penghubung garasi dan ruang dalam terdengar terbuka.
Iben setengah berlari ke arah ruang makan.
Tetapi begitu melihat Lita yang duduk di sana dengan baju hijau rambut diikat ekor kuda, langkah Iben seketika terhenti.
Mendadak seperti motor atau mobil yang tiba-tiba macet remnya.
Matanya melotot.
Mulutnya menganga terbuka.
Tidak ada suara.
Yang terdengar hanya dengus nafasnya yang memburu.
Seperti pelari sprint yang baru saja mencapai garis finish.
Lita tetap diam, duduk manis di kursinya.
Kepalanya tertunduk, tangannya sibuk memainkan garpu untuk memotong kue, dan menyuapkan kue ke mulutnya.
Dia seolah tidak tahu kedatangan Iben.
BACA JUGA:7 Tips Ampuh Menggoda Suami yang Super Sibuk dengan Pekerjaan
Sedang Iben sendiri, melihat Lita seperti melihat hantu.
Dadanya bergolak. Jantungnya berdebar kencang.
Tapi pikirannya mendadak buntu.
Tak bisa berpikir cepat seperti kalau berada di kelas, berdiskusi dengan dosen dan mahasiswa.
Semenit dua menit Iben berdiri kaku.
Dan setelah sadar, dia langsung balik kanan, lari menuju ke kamar Ipo, ibunya.
Pintu kamar yang tergesa dibuka terdengar keras karena daun pintu beradu dengan dinding tembok.
Di dalam kamar, Iben membuka almari kaca.
Dengan cepat dia menemukan baju terusan panjang berwarna hijau muda.
Baju itu masih ada.
Berarti baju yang dipakai Lita bukan baju ibunya.
Tapi, bagaimana Lita bisa punya baju yang model dan warnanya persis dengan baju ibunya?
Baju itu termasuk baju yang dulu sering dipakai ibunya di kala santai.
Dipegangnya baju itu.
Diangkatnya hangernya tinggi-tinggi di depan matanya.
Lalu diciumnya baju itu.
Lama baju itu menempel di hidungnya.
Matanya terpejam.
Iben seperti kembali mencium aroma tubuh ibunya.
Dia sangat hafal aroma itu.
Parfum kesukaan ibunya juga masih ada di tempatnya. Di meja rias.
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***