3 Oktober 2025 02:09
Cover Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang - Horisontal

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.COM menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINI JATENG –

Lita tegak dengan bayi masih dalam gendongannya.

Theo masih duduk di kursi.

Dia tampak letih.

Tapi wajahnya masih tegak.

Memandang Lita tajam.

“Tak usah mengorek masa lalu. Malam ini semua selesai. Aku tidak ingin melihat kamu di rumah ini lagi. Pergi. Bawa anak harammu. Susullah anak keparat, kekasihmu itu. Mulai detik ini kamu bukan isteriku lagi.”

“Baik. Aku terima keputusanmu. Mulai detik ini aku sudah resmi menjadi seorang janda. Ternyata benar, apa yang dikatakan Iben. Kamu pada dasarnya tidak beda dengan para lelaki itu. Melihat diriku tak lebih dari tubuh seksi. Tubuh yang mengundang impian lelaki ingin meniduri.”

“Aku kamu ambil hanya untuk memenuhi ego lelakimu, yang bangga disebut lelaki hebat. Lelaki setengah tua beristeri wanita muda cantik bertubuh seksi. Aku hanya wanita yang kamu pamerkan pada teman-teman lelakimu. Itulah kepuasanmu. Tapi, kamu tak pernah peduli dengan keinginanku.”

“Tak pernah peduli dengan kebutuhan batinku. Lalu, mengapa kamu salahkan Iben, yang ternyata juga terpana dengan tubuh seksiku? Dia juga laki-laki. Laki-laki seperti kamu. Dia malah lebih hebat dari kamu. Dia lebih mengerti tentang kebutuhanku. Dia lebih laki-laki dari kamu.”

“Diaaaaammm….!

Theo menggebrak meja.

Lalu berdiri menghampiri Lita.

Tangannya terkepal keras.

Tapi sebelum Theo sampai di tempat Lita berdiri, terdengar suara teriakan agak tertahan dari belakang ruang makan.

“Tuaaann….!

BACA JUGA: SMP Isriati Semarang Borong Piala Olimpade Internasional

Tiba-tiba saja, Mbok Siti sudah berdiri di ruang makan.

Wajahnya kuyu.

Lalu Mbok Siti menghampiri Lita.

“Maafkan saya, Tuan. Maafkan saya, Neng. Mbok sudah tahu semuanya. Jagat Dewa Bathara. Maafkan saya yang ikut salah, sudah gagal ikut menjaga keluarga ini agar tidak pecah. Tuan, saya ikut berdosa telah membiarkan adanya prahara di rumah ini.”

Mbok Siti lalu menangis, tangannya memegang erat tangan Lita.

“Sudah Mbok. Tak perlu lagi Mbok urus dia. Biarkan dia pergi.” kata Theo seperti tanpa perasaan.

“Iya, Mbok. Mbok Siti tak usah ikut bersedih. Mbok Siti tidak bersalah. Aku yang bersalah. Aku wanita sundal. Aku penyanyi dangdut murahan. Bukankah begitu, Theo? Hahahaha…..”

Lita tertawa ngakak di tengah ruangan yang sunyi di dini hari yang penuh misteri.

Suara petir menggelegar lagi di luar.

Bahkan sekarang terdengar hujan mulai turun.

Suara jatuh air hujan di genteng rumah menambah suasana menjadi makin mencekam.

Sebentar kemudian air hujan seperti tercurah dari langit.

“Neng…” Mbok Siti masih memegang tangan Lita.

Lita masih tertawa.

Dilihatnya Mbok Siti.

Ditepuknya pundak Mbok Siti pelan.

“Tidak apa-apa, Mbok. Aku tahu cepat atau lambat hal seperti ini pasti terjadi. Terima kasih untuk kebaikan Mbok selama aku berada di rumah ini. Aku masuk rumah ini tidak membawa apa-apa. Aku keluar pun tidak akan membawa apa-apa. Aku hanya akan membawa anakku. Aku harus pergi malam ini.”

Lita sudah tidak berpikir panjang lagi.

BACA JUGA: 9 Cara Mengetahui Kepribadian Kamu melalui Medsos

Hanya dengan daster batik tipis dan selendang untuk menggendong bayinya, dia pelan-pelan melangkah menuju pintu yang masih setengah terbuka.

“Neng… jangan pergi! Neng, kasihanilah Den Ipung, Neng….!”

Mbok Siti berusaha menarik tangan Lita.

Menahan agar Lita tidak pergi.

Di luar hujan masih turun dengan derasnya.

Kilat memecah kegelapan dan petir sesekali menggelegar.

Jam dinding berdentang tiga kali.

Lita melepaskan tangannya dari pegangan Mbok Siti.

Lita seperti mendapat kekuatan, entah dari mana.

Dikibaskannya tangan Mbok Siti.

Pegangan itu lepas.

Lita melangkah pasti menuju pintu keluar.

Pikiran Lita kosong.

Kosong.

Dia tak mau berpikir lagi.

Dia ingin melepaskan semua pikiran dari otaknya.

Dia hanya ingin mengikuti langkah kakinya.

BACA JUGA: Doa Mohon Dijadikan Manusia yang Bersyukur dan Rendah Hati, Begini Doanya

Tanpa bicara lagi.

Tanpa menengok lagi.

Lita berjalan menyongsong derasnya hujan.

Seketika terdengar tangisan bayi, yang terkejut bangun dari tidurnya oleh guyuran hujan.

Bayi itu menangis melengking keras memecah sunyinya malam.

Tapi, Lita seperti tidak peduli dengan tangis anaknya.

Dia terus melangkah melintas halaman yang berserakan dipenuhi karangan bunga ucapan selamat atas kelahiran bayinya, yang ambruk dan hancur karena terjangan angin dan air hujan.

Dia terus melangkah menjauh dari rumah yang tampak berdiri megah dalam sorotan lampu yang berkilauan memantulkan lebatnya hujan.

“Neng Litaaaa….!”

Terdengar teriakan Mbok Siti di belakang.

Sedang Theo duduk menekuk punggung.

Kepalanya menelungkup di meja makan.

Tangannya juga diam seolah menopang kepalanya yang jatuh di atas meja.

Mbok Siti kaget melihat Theo duduk tanpa bergerak.

Didekatinya Theo, diguncangnya pundak Theo.

Tapi Theo tidak memberikan reaksi.

Dia tetap duduk terkulai diam.

Tak bergerak!

“Tuaaaaannn….” Mbok Siti berteriak.

BACA JUGA:Hindari Memperoleh Harta dengan Cara Batil

“Pak Anwaaarrr…. Tolooooongggg….! Mbok Siti makin keras berteriak.

Pak Anwar muncul tergopoh-gopoh dari belakang ruang makan.

Dilihatnya Mbok Siti yang mengguncang-guncang tubuh Theo.

Theo masih dalam posisi duduk diam.

Kilat menyambar.

Petir menggelegar.

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

About The Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *