26.7 C
Central Java
Selasa, 24 Juni 2025

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 48

Banyak Dibaca

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

OPINIJATENG.COM –

Lita kemudian membalikkan badan dan pergi keluar kamar menuju tangga, turun ke lantai bawah.

Dia tidak ingin lagi tahu bagaimana kelanjutan berantem antara ayah dan anak itu.

“Berhentilah menjadi pembangkang seperti Ibas, cobalah menjadi penurut seperti Ikang.”

Theo akhirnya mundur, membalikkan badan dan melangkah menuju pintu.

“Ayah..”

Iben memanggil saat ayahnya sudah ada di ambang pintu.

“Apa kemarahan ayah reda setelah menamparku?”

Pertanyaan Iben membuat Theo berhenti dan memalingkan kepala ke belakang.

Theo berpikir dan menilai perasaannya.

Sudah sejak lama Theo sadar kehilangan perasaanya.

Dia berjuang hidup dan melakukan semua hal karena ambisi dan pikiran, tidak pernah menggunakan perasaan.

Baginya perasaan hanya membuat manusia cengeng dan tidak akan mampu membuatnya bertahan menghadapi hidup dan persaingan yang sengit.

“Iya.”

Sambil sedikit menganggukkan kepala, Theo menjawab pertanyaan Iben tadi, meski dia sendiri agak ragu dengan perasaannya yang sesungguhnya.

Lalu Theo melanjutkan langkah kakinya keluar kamar.

Ketika Theo masuk kamarnya sendiri, dia melihat Lita gelisah tiduran di tempat tidur.

Lita berulang kali memperbaiki posisi tidurnya tapi tetap merasa tidak nyaman.

Theo menyusul tidur di samping Lita.

Tapi dengan Lita yang gelisah, tidak bisa tidur tenang di sampingnya, Theo jadi merasa terganggu.

“Sudahlah, semua baik-baik saja. Aku lelah dan ingin istirahat. Kamu tidurlah dengan tenang.”

“Maafkan aku…”

Lita lalu menyusupkan kepalanya ke ketiak Theo, sementara tangannya mulai meraba-raba dada dan perut suaminya.

Bertemu hanya di akhir minggu, bagi Lita sebenarnya merupakan siksaan tersendiri.

Dia masih muda.

Darahnya masih panas, mudah terbakar oleh sentuhan feromon pada inderanya yang masih sangat sensitif.

Suasana kamar yang temaram oleh lampu tidur, ditambah rasa sepi selama seminggu tidur sendiri, dan himpitan tekanan emosi yang menyesakkan dada karena selalu bertengkar dengan Iben, semua itu membutuhkan pelepasan.

Lita ingin membongkar semua yang membebani dirinya dalam bentuk kebersamaan penuh kemanjaan dengan suaminya.

Tapi, tampaknya Theo tidak menyadari keinginan Lita.

Theo sudah mendengkur dengan tarikan nafas sangat teratur, menandakan tidurnya sangat lelap.

Theo sudah tidak merasakan lembutnya elusan tangan Lita di seputar dada dan perutnya.

Mengetahui Theo sudah tidur pulas, Lita tambah gelisah sendiri.

Akhirnya, dia menarik tangannya dari atas tubuh suaminya.

Dia membalikkan badan, memunggungi Theo, dan berusaha memejamkan mata untuk menyusul tidur.

Tapi walau matanya terpejam, ternyata otaknya terus saja berputar-putar di luar kendalinya.

Lita merasakan hari ini adalah hari yang benar-benar menyiksanya lahir dan batin.

Bagi Iben, peristiwa yang baru saja terjadi lebih menegaskan posisinya yang sudah secara langsung berhadapan dengan ayahnya.

Rasa perih dan panas pada kedua pipinya karena tamparan ayahnya tadi tidaklah membuatnya sakit.

Entah kenapa, Iben justru seperti menikmati rasa sakit di kedua pipinya itu.

Dia merasa ada kenikmatan dan kepuasan tersendiri ketika telapak tangan ayahnya mendarat dengan telak di kedua pipinya.

Yang justru membuatnya sakit adalah kata-kata umpatan dari Lita tadi.

Kata-kata itu terus saja memenuhi pikiran Iben, terus saja terngiang-ngiang di telinganya, seolah diucapkan lagi berulang-ulang.

Dia terus saja teringat saat Lita mengucapkannya.

Iben merasa Lita telah mengambil posisi Ipo, ibunya.

Dan Iben tidak ingin itu terjadi.

Kesalahan Lita di mata Iben adalah Lita telah merampas kenangan indahnya bersama Ipo di rumah ini.

Jadi kalau Iben marah dan benci pada Lita, menurutnya semua itu sudah seharusnya, karena wanita itu pantas mendapatkan balasan atas kesalahannya.

Kembali Iben teringat kata-kata Lita.

Tapi ucapan Lita tadi ada benarnya juga.

Sampai kapanpun Iben tidak akan pernah bertemu dengan wanita seperti Ipo, ibunya.

Tok… Tok… Tok..

“Ini Mbok Siti, Den.”

“Masuk, Mbok.”

“Saya mengantar susu.”

“Iya, Mbok. Taruh saja di meja.”

Iben menjawab dengan malas-malasan. Iben kemudian berbaring membelakangi Mbok Siti, untuk menyembunyikan merah di pipinya.

“Den, boleh saya bertanya?”

“Kenapa?”

Terdengar Mbok Siti menarik nafas panjang sebelum mengatakan sesuatu.

“Apakah tadi Tuan Theo marah lagi pada Den Iben?”

Tanpa Iben duga, cairan bening mengalir dari matanya. Dia tetap di posisinya, berbaring memunggungi dan tidak menjawab apa pun pada Mbok Siti. Dan diam itu berarti ‘Iya.’

Mbok Siti sudah sangat hafal dengan sifat dan perilaku Iben, yang sudah diasuhnya sejak kecil.

“Apa Den Iben baik-baik saja?”

Mbok Siti diam sebentar, lalu melanjutkan, “Saya mohon jangan berbohong pada saya, Den. Saya ingin melaksanakan tugas dari ibu dengan baik.”

“Tugas apa, Mbok?”

Iben seperti terkejut.

Kemudian berbalik menghadap ke arah Mbok Siti.

Iben sangat antusias mendengar Mbok Siti berkata tentang hal yang berkaitan dengan ibunya.

Gantian Mbok Siti yang terkejut melihat memar di pipi Iben.

Tanpa berkata sepatah pun, Mbok Siti segera berlari keluar kamar.

Sesaat kemudian dia sudah berlari lagi masuk ke dalam kamar sambil membawa baskom kecil berisi air dan es batu.

Dengan kelembutan seorang ibu, Mbok Siti lalu mengompres pipi Iben yang memar biru kemerahan.

“Mbok Siti ke mana saja, tadi?”

“Aku ke bawah mengambil ini, Den. Maaf tidak permisi, tadi saya panik.”

Mbok Siti meletakkan baskom berisi air es di ujung meja dekat tempat tidur.

“Bukan itu. Dari tadi Mbok Siti ke mana?”

“Maaf Den, tadi Nonya Lita meminta saya belanja sangat banyak, jadi saya pergi cukup lama. Permisi Den,” Mbok Siti kemudian mengompres pipi Iben yang sebelah lagi.

“Apa Mbok Siti tahu apa yang dia lakukan, kalau aku tidak ada di rumah?”

“Iya, Den, saya tahu. Dia sering mengadakan pesta dengan teman-temannya saat tidak ada orang di rumah. Dan mungkin beliau meminta saya belanja karena takut saya mengganggu acaranya.”

BACA JUGA: Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 45
BACA JUGA: Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 44

Iben tersenyum kesal mendengar cerita Mbok Siti.

“Mbok tidak ingin melihat Den Iben bertengkar lagi dengan Tuan Theo karena Nyonya Lita.”

“Tidak apa-apa Mbok. Toh akhirnya kami tetap saja bertengkar seperti biasanya. Jadi, apa yang ibu perintahkan padamu, Mbok?”

Iben bertanya mengingatkan kembali Mbok Siti tentang ceritanya yang sempat tertunda.

“Ibu meminta saya untuk selalu menjaga putra kesayangannya, yaitu Den Iben.”

“Sudah Mbok, biar saya saja yang mengompres. Mbok Siti istirahat saja, sudah malam.”

Iben mengambil handuk dari tangan Mbok Siti.

Ada sepercik perasaan bahagia mengembang di hati Iben.

Dia bahagia mengetahui kenyataan bahwa ibunya sangat menyayanginya.

Pesan ibunya pada Mbok Siti menegaskan kualitas hubungannya dengan ibunya selama ini. Cerita Mbok Siti tadi sedikit banyak mengobati kerinduan Iben pada ibunya.

Iben mulai menyadari, ibunya selalu berada di sampingnya.

Baik dia ataupun ibunya tidak pernah ada yang berpikir untuk saling meninggalkan.

Walaupun sudah tidak ada, ibunya tetap berusaha ada melalui kehadiran Mbok Siti.

Ibunya meminjam tangan Mbok Siti untuk tetap dapat mengelus dan membelainya dengan penuh kasih sayang.

Kepergian ibunya adalah jalan Tuhan yang tidak pernah manusia ketahui. Karena itulah dia tidak perlu merasa iri dengan kedua kakaknya yang ditinggali memori berharga seperti surat itu.

Dia memiliki sesuatu yang jauh lebih berharga dari sekedar surat atau benda apapun, yaitu kasih sayang ibu.

Iben berharap kedua kakaknya juga merasakan hal yang sama seperti yang dia rasakan, yaitu menyadari betapa ibu mereka sangat menyayangi dan mencintai ketiganya tanpa terkecuali.

Di Amerika, Ikang meletakkan ballpoint yang sedang digunakannya untuk menulis, dia kemudian memegang dadanya yang merasa aneh, seperti ada kerinduan.

Sedangkan di Australia, senar gitar Ibas putus lagi, dia juga merasakan hal yang sama, seperti ada kerinduan.

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer