Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

OPINIJATENG.COM –
Tidak banyak yang mengenal Iben sebagai putra Wakil Ketua DPR RI atau adik seorang musisi berbakat di kampusnya.
Iben hanya punya sedikit teman dan satu sahabat, yaitu Dodit.
Meskipun Iben pendiam dan jarang bergaul, teman-temannya menyukainya karena Iben cerdas dan mudah dimintai bantuan.
Baik mahasiswa ataupun dosen sering meminta tolong pada Iben untuk membantu menyelesaikan pekerjaan mereka.
Iben selalu membantu orang lain dengan senang hati, hingga terkadang dia tidak menyadari kalau dia sedang dimanfaatkan.
“Ayo pulang,” ajak Dodit pada Iben yang masih asyik mengerjakan tugas milik orang lain di perpustakaan.
“Sebentar lagi,” jawab Iben tanpa melihat ke arah Dodit.
“Mau sampai kapan kamu mau mengerjakan semua itu?”
Iben tidak mengacuhkan Dodit, “Kalau mau pulang, pulang saja dulu. Aku bisa pulang sendiri,” jawab Iben yang menyadari Dodit masih menunggunya.
“Kamu akan mendapat masalah dengan mengerjakan semua ini.”
Dodit kesal kemudian duduk di samping Iben dan merebut buku-buku yang sedang dipegangnya.
“Apa yang salah? Aku hanya ingin menolong mereka,” jawab Iben santai.
“Menolong kamu pikir dengan mengerjakan semua ini? Sekarang mereka bergantung padamu, besok mereka bergantung padamu lagi, selamanya mereka akan bergantung padamu. Tidak! Kamu tidak akan mendapat masalah, tapi kamu membuat orang lain dalam masalah.”
“Ini sudah terlanjur, jadi tolong kembalikan semua itu, aku harus menyelesaikannya.”
Tapi Dodit tidak dengan mudah memberikan buku-buku itu pada Iben. Dia masih ingin mendebat Iben.
“Sebenarnya apa yang kamu inginkan? Kamu sudah punya banyak uang. Kenapa harus melakukan ini. Apa yang kamu dapatkan?”
“Aku tidak akan mengatakannya padamu.”
“Kenapa? Kamu takut aku merebut pekerjaanmu atau kamu tidak punya jawaban untuk pertanyaanku?”
Iben terdiam, dia menerawang rak rak buku di perpustakaan. Melihat kelakuan Iben, Dodit menarik nafas panjang.
“Keluarlah, dan lihat apa yang mereka lakukan.”
Dodit meminta Iben mengikutinya keluar dari Perpustakaan.
“Kamu sibuk mengerjakan tugas mereka tapi mereka sibuk main atau pacaran. Kamu dimanfaatkan. Apa kamu sadar?”
“Ini hubungan simbiosis mutualisme.”
“Mutualisme apanya!”
“Karena kami saling memanfaatkan.”
Iben kemudian masuk ke perpustakaan lagi, meninggalkan Dodit yang masih bingung dan tidak mengerti maksud Iben. Akhirnya Dodit mengikuti berjalan di belakang Iben.
“Aku hanya tidak ingin cepat pulang. Setidaknya tugas mereka memberiku alasan untuk berada di perpustakaan lebih lama.”
Mendengar jawaban terus terang dari Iben, Dodit mulai mengerti maksud Iben.
“Baiklah, ayo pulang,” ajak Iben yang kemudian memunguti buku-buku yang berserakan di meja. Dodit tersenyum dan segera membantu Iben merapikan buku-buku itu untuk dikembalikan lagi ke tempat asalnya.
Di rumah, Iben sudah di tunggu di meja makan. Lita duduk sendirian dengan makanan-makanan yang sudah tersaji di meja makan.
Melihat Iben datang Lita memberikan senyum terbaiknya, tetapi Iben sama sekali tidak mau melihatnya.
Iben lapar, ingin segera makan dan kembali ke kamar, maka dari itu dia hanya fokus pada makanannya.
Tetapi ada satu tas plastik dengan bungkusan di dalamnya di dekat kursi tempat duduknya.
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 43
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 42
“Ini untukmu, aku sengaja membelinya khusus untukmu. Pasti cocok,” kata Lita lembut sambil menyerahkan tas yang berisi sepatu bermerek dan mahal yang dibelinya tadi siang.
Benda itulah yang mengganggu pikiran Iben sejak tadi, sekarang dia tahu benda apa itu dan untuk siapa benda itu. Iben meraihnya dan Lita terlihat sangat senang.
“Lain kali jangan membawa sampah ke meja makan.”
Iben membuang sepatu itu ke tempat sampah dan pergi ke kamarnya. Mbok Siti yang melihat kejadian itu segera mengambil sepatu yang dibuang Iben dan memberikannya pada Lita.
“Kamu pikir aku orang miskin yang mau menyentuh barang dari tong sampah?!”
Lita membentak dan melotot pada Mbok Siti. Mbok Siti jadi serba salah tingkah.
“Ambil saja, untuk anakmu!”
Lita bicara dingin kemudian meninggalkan meja makan.
Tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya, Mbok Siti lalu membawa keranjang sampah berisi bungkusan sepatu baru itu ke belakang, lalu meletakkannya di sudut ruang dapur.
Lita kehilangan nafsu makannya dan segera masuk ke kamarnya.
Lita sangat lelah baik hati ataupun pikirannya.
Dia ingin sekali mengadukan semua tindakan Iben pada Theo.
Tapi ini hari Rabu, Theo masih dua hari lagi baru pulang.
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***