Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)
OPINIJATENG.COM –
Lita bertanya lagi penuh antusiasme.
“Maafkan saya, Nyonya. Ibu Ipo memang sangat jarang keluar. Ibu-ibu di sekitar sini kadang-kadang saja ada yang main ke rumah, ngobrol-ngobrol sebentar dengan ibu Ipo. Selebihnya saya kurang begitu tahu.”
“Ya sudah, kamu boleh pergi.”
“Terima kasih. Permisi.”
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 43
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 41
Sudah Lita duga, Ipo adalah wanita sederhana dan polos. Dia tidak bisa mengimbangi dunia Theo yang kejam, dan dia hanya bisa menerima semua perlakuan Theo terhadapnya sebagai bentuk dari kasih sayang. Bagi Lita, Ipo adalah wanita yang menyedihkan dan dia tidak ingin hidupnya berakhir menyedihkan seperti Ipo.
Hari demi hari, Lita merasa bosan dengan rutinitas yang itu-itu saja. Dia mulai mencari kesenangan di luar. Dia ingin melakukan semua hal yang biasa dilakukan orang kaya untuk menghilangkan kejenuhannya. Dia pergi ke mall untuk berbelanja. Membeli pakaian, tas, sepatu, hingga perhiasan-perhiasan bermerek dengan harga-harga mahal. Dia juga membelikan beberapa pakaian untuk Theo dan Iben.
“Benar-benar tidak enak pergi sendirian,” keluh Lita yang mulai sering kesusahan membawa pulang tas belanjaannya yang begitu banyak.
Lita mencari-cari mobilnya, “Ah sial! Di mana Pak Anwar, si supir itu, kenapa tidak datang dan membawakan belanjaanku.”
Bruuukkk…!
Lita melemparkan belanjaannya ke seseorang yang sedang tertidur.
”Bangun! Kamu pikir aku siapa harus membawa barang belanjaan sebanyak ini sendirian. Aku kesulitan dan kamu enak-enakan tidur?!”
“Maa… .ma. maaf, Nyonya.”
Pak Anwar, supir keluarga itu bangun dan ketakutan.
“Ayo, cepat pulang! Dan ingat aku bisa memecatmu kapan saja!”
“Ba.. baik Nyonya.”
Pak Anwar segera memasukkan belanjaan ke bagasi mobil.
Di dalam mobil Lita termenung. Meski dia berbelanja, membeli apapun yang dia inginkan, menghabiskan banyak uang, tetapi dia tidak merasa bahagia. Yang ada di hatinya tetap saja rasa sepi dan kosong. Melihat Pak Anwar sudah duduk di belakang kemudi, Lita mencoba duduk santai dan menarik nafas panjang.
“Aku mungkin masih belum terbiasa saja. Aku harus membiasakan diri dengan semua ini. Lain kali aku harus mengajak pembantu tua itu untuk menemaniku berbelanja,” ucapnya dalam hati.
Sesampai di rumah, Mbok Siti ikut sibuk membantu Pak Anwar menurunkan barang-barang belanjaan.
Sedangkan Lita langsung masuk ke kamarnya. Dia merasa cukup lelah, kakinya terlalu lama memakai high heels ketika tadi berkeliling mall yang luas. Mbok Siti heran melihat belanjaan Lita karena tidak menemukan sayuran dan kebutuhan dapur lainnya.
Mbok Siti kemudian menyadari Lita sangat berbeda dengan Ipo.
Ipo selalu belanja sesuai kebutuhan dan tidak menghambur-hamburkan uang.
Ipo lebih senang belanja sayuran dan kebutuhan dapur daripada pakaian dan perhiasan.
Mbok Siti kemudian meletakan semua barang di kamar Lita.
“Mbok, kalau ada orang dari salon yang datang, tolong antar ke kamarku, ya.”
“Baik, Nyonya”
“Oh iya satu lagi. Buat suasana rumah yang tenang ya, aku ingin lulur dan spa di rumah.”
“Iya, Nyonya.”
Mbok Siti tersenyum mendengar permintaan Lita yang sepertinya tidak menyadari apa yang dia katakan. Rumah besar itu selalu sepi dan tidak akan ada orang yang mengganggu kegiatannya, karena semua orang tidak peduli. Begitulah kira-kira yang dipikirkan Mbok Siti.
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***