Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)
OPINIJATENG.COM –
Malam harinya, Lita gelisah menunggu Theo pulang.
Ini hari Jumat, jadwalnya Theo pulang.
Tapi sejak tadi sore, telepon Theo sulit dihubungi.
Tampaknya Theo memang stereotip lelaki dan suami yang tidak suka dihubungi istri.
Istri hanya boleh menunggu saat suami yang menghubungi.
Seringkali Lita kesal, ketika dihubungi Theo hanya menjawab singkat lalu memutus pembicaraan.
Bila dihubungi dengan What’sApp (WA), tidak juga segera menjawab.
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 39
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 38
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 37
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 36
Akhirnya Lita bosan, dan lebih banyak menunggu telepon Theo saja. Hanya dalam situasi-situasi tertentu yang penting, Lita berusaha mengontak Theo.
Sejak selesai makan malam tadi, Lita mondar mandir di kamarnya.
Karena tidak tahan menunggu di dalam dia ke luar dan menunggu suaminya itu datang dengan perasaan gelisah dan tidak sabar.
“Sebaiknya tidak usah ditunggu, Nyonya,” suara Mbok Siti mengagetkan Lita.
“Aku kan istrinya, terserah aku mau melakukan apa. Kamu cuma pembantu tidak usah ikut campur,” jawab Lita ketus dan berusaha menutupi rasa malunya karena suami yang ditunggu belum juga menampakkan batang hidungnya.
Lita kembali ke kamar, menunggu, dan tertidur.
“Selamat pagi.”
Sapaan itu membangunkan Lita dari tidurnya.
Dia menggeliatkan badan, lalu melirik jam dinding.
Pukul dua lebih lima belas menit, dini hari.
“Pagi sayang, akhirnya kamu pulang juga, aku menunggumu semalaman,” ucap Lita dengan wajah kecewa.
“Aku sangat sibuk, jadi mulai sekarang jangan menungguku lagi, oke? Saat aku di rumah maka semua waktuku jadi milikmu,” Theo mengelus rambut Lita.
“Baiklah, tapi setidaknya kamu bisa memberi tahu aku saat kamu sibuk, dan lagi aku sangat bosan di rumah dan juga kesal!”
“Baik, maafkan aku. Kenapa kamu bosan? Kamu bisa lakukan apapun sesuka hatimu di sini. Dan siapa yang berani membuat istriku kesal?”
“Siapa lagi kalau bukan anakmu!”
“Aku akan menegurnya, apa itu yang kamu inginkan?”
Theo lekas memeluk Lita.
“Tentu,” jawab Lita merasa menang.
Masih ada sisa malam bagi Lita dan Theo pada dini hari ini.
Bagaimanapun Theo dan Lita masih pengantin baru.
Kehangatan dalam kebersamaan masih penuh dengan sensasi yang melenakan.
Maka, begitu Theo membaringkan diri di sisinya, Lita segera memeluknya erat, sementara Theo, walau usia sudah sedikit di atas lima puluh, berkat olahraga rutin dan bantuan suplemen berbagai obat dan vitamin, membuat staminanya tetap terjaga dan terpelihara dengan baik.
Lita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, yang dia tahu dia ingin melakukan semua hal yang menyenangkan untuk mengobati luka-luka di hatinya selama ini.
Sedangkan Theo, baginya pekerjaan adalah nomor satu.
Dia memberikan segalanya pada Lita agar tidak mengganggu waktu-waktu berharga dengan pekerjaannya.
Theo melakukan apapun yang diminta Lita agar Lita mau melakukan apa pun yang diperintahkannya.
Pagi hari, Lita dan Theo menikmati sarapan berdua.
Iben belum juga turun dari kamarnya untuk sarapan.
Lita merasa tidak sabar, ingin melihat Iben dimarahi oleh ayahnya, karena dengan begitu dendamnya terobati.
“Apa Iben tidak sarapan?”
Lita bertanya.
Dia merasa Theo tidak menyadari kalau tempat duduk Iben masih kosong.
Theo melirik kursi Iben yang kosong itu dan lekas memanggil Mbok Siti, “Mbok! Mbok Siti.”
“Iya, Tuan”,
“Tolong panggil Iben dan suruh dia sarapan.”
Mbok Siti mengangguk dan melihat Iben yang ternyata sedang menuruni tangga.
“Den Iben sudah di sini, Tuan. Saya permisi,” ucap Mbok Siti yang kemudian kembali ke dapur.
“Kamu sudah di sini rupanya, duduklah. Ayah ingin bicara.”
Theo berkata pada Iben yang ada di belakangnya tanpa membalikkan badannya.
Iben mendengar permintaan ayahnya tetapi tidak mempedulikannya.
Dia mengambil sepotong roti isi di piringnya dan kemudian pergi.
Tanpa berucap sepatah kata pun, tanpa berpamitan.
Melihat Iben yang tidak sopan Theo merasa sangat kesal.
Lita justru semakin senang karena dengan demikian Theo menjadi semakin marah pada Iben.
“Kamu lihat itu, sayang. Anakmu sangat tidak sopan, bahkan pada ayah kandungnya sendiri.”
Lita berusaha memprovokasi Theo.
“Akan aku bicarakan ini nanti, aku sudah ditunggu relasi.”
Theo lalu berdiri dan siap berangkat pergi diantar dengan raut wajah Lita yang kecewa.
Lita menghabiskan waktu di rumah besar itu sendirian.
Dia melakukan banyak hal, jalan-jalan berkeliling rumah, membaca majalah, menonton televisi.
Dia boleh melakukan apapun, tapi apa pun yang dilakukannya akan berujung membosankan.
Tok… tok…tok…
“Ya, masuk…”
Mbok Siti masuk ke kamar Lita untuk mengantar biskuit yang diminta Lita.
Dia meletakan biskuit di meja dan kemudian pergi, tetapi Lita menahannya.
“Tunggu! Aku ingin bertanya,” ucap Lita sembari menutup majalah yang sedang dibacanya.
“Tentang apa, Nyonya?”
Mbok Siti tegak menghadap Lita dengan sopan.
“Apa yang biasanya dilakukan Ipo dulu, kalau di rumah?”
Mbok Siti tersenyum seolah mengerti Lita yang sebenarnya sedang kesepian.
“Beliau setiap pagi menyiapkan sarapan untuk suami dan putranya. Setelah semua orang pergi, beliau membersihkan kamarnya dan kamar anak-anaknya sendiri. Dia juga memasak dan menyiapkan makan malam.”
”Hanya itu? Tidak ada arisan, belanja, merawat tubuh ke salon? Apa dia tidak pernah keluar rumah?”
Lita merasa heran bahkan sedikit aneh mendengar cerita tentang Ipo.
“Setahu saya beliau jarang keluar rumah jika tidak ada keperluan penting.”
“Lalu, coba ceritakan, bagaimana dengan tetangga-tetangga di sini, maksudku para ibu-ibu di sekitar sini. Apa mereka tidak pernah ada acara kumpul-kumpul, semacam arisan, gitu?”
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***