Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)
OPINIJATENG.COM –
Sudah beberapa kali setiap sarapan, Theo menegur Iben agar bersikap sopan pada Lita yang sekarang sudah menjadi ibunya.
Tapi, Iben tidak pernah mendengarkan omongan ayahnya dan selalu pergi meninggalkan meja makan sebelum ayahnya selesai berbicara.
Theo kesal dengan sikap Iben yang semakin tidak sopan.
Setiap yang Theo lakukan agar Iben bersikap sopan justru membuat Iben semakin tidak sopan.
Lita kesal dengan segala perlakuan Iben yang selalu tidak sopan padanya, bahkan cenderung kasar dan menghina.
Tapi Lita tidak bisa melakukan apapun selain mengadukannya pada Theo.
Pada akhirnya Lita kecewa karena sepertinya Theo juga tidak bisa bersikap keras mengatasi anaknya sendiri.
Akhirnya, Lita memutuskan untuk tidak peduli dengan apa pun selain dirinya.
Lita tidak peduli dengan Iben lagi dan tidak akan berusaha membuat Iben menyukainya sebagai ibu tiri.
Hati Iben yang terluka membuatnya merasa tidak bersalah pada Theo dan Lita.
Iben kecewa pada Theo, yang dalam pandangan matanya menyia-nyiakan Ipo, ibunya.
Bahkan sampai ibunya meninggal.
Di mata Iben, ayahnya tetap tidak menghargai ibunya.
Belum dua bulan ditinggal pergi istrinya, Theo sudah membawa pulang wanita muda untuk dijadikan istri kedua.
Itu yang membuat Iben enggan menganggap Theo sebagai ayah.
Dia juga sangat membenci Lita dan tidak akan pernah menganggapnya sebagai ibu.
Kemarahan Iben membuatnya bertindak sesuka hati.
Iben sebenarnya tidak berniat untuk melukai siapapun, dia hanya melakukan apa yang menurutnya benar untuk dilakukan.
Sedangkan kata-kata kasar yang keluar dari mulutnya untuk Lita, dia tidak pernah dan tidak ingin mengontrolnya.
Dia sangat membenci Lita karena menganggap Lita membakar kemarahan di hatinya.
Iben berpikir dia telah terluka maka dia berhak melukai, dan luka yang dirasa olehnya belum sebanding dengan apa yang dia lakukan pada Lita.
Di rumah besar dan mewah, Lita makin merasa sendirian dan kesepian.
Dia merasa sia-sia jika tidak melakukan apapun dengan apa yang dia miliki dan dia bisa lakukan sekarang.
Lita membuat pesta dan mengundang teman-temannya, penyanyi dan pemusik dangdut, untuk datang ke rumah.
Dia bersenang-senang bersama teman-temannya.
“Sepertinya kamu sudah jadi tuan putri sekarang,” ucap salah satu temannya.
“Ya seperti inilah kelihatannya, hahaha…” Jawab Lita sambil tertawa.
“Aku benar-benar ingin sepertimu.”
Lita tersenyum menanggapi pernyataan itu.
Dia merasa tidak begitu beruntung karena demi mendapatkan kehidupan mewah yang bergelimang harta dia harus merelakan hatinya terluka.
“Bagaimana dengan putranya? Aku dengar mereka bertiga semuanya tampan dan umur mereka tidak jauh berbeda dengan kita kan?”
“Iya, yang sulung dan tengah, mereka lebih tua dari kita beberapa tahun. Tapi yang bungsu masih 19 tahun dan hanya dia yang tinggal di rumah ini. Kakak-kakaknya di luar negeri. Yang sulung di Boston, Amerika dan yang tengah di Sydney, Australia.”
“Oh, bagaimana cara mendekati mereka, yaaa…”
Salah satu yang kelihatannya paling muda di antara mereka, nyeletuk sambil tiduran di sofa.
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 44
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 43
“Jangan mimpi!”
Lita menjawab setengah berteriak.
“Eh, kenapa?”
Lita tidak sadar dia telah membentak temannya, Lita kemudian tersenyum.
“Kalian pikir aku mau punya menantu seperti kalian?”
Lita berkata sambil tertawa.
Walau di dalam hatinya bukan itu alasannya.
Dia tidak ingin orang lain tahu tentang keadaan sebenarnya yang ada di keluarga ini.
Tertawa, tetapi tidak bahagia itulah yang dirasakan Lita.
Bersama dengan teman-temannya, bersenang-senang, berhura-hura, dan menghabiskan banyak uang.
Semua itu tetap tidak bisa mengisi hati dan pikirannya, yang tetap kosong dan kesepian. Lita tahu teman-temannya hanya memanfaatkannya, tapi baginya itu tidak masalah.
Selagi Lita masih punya banyak uang untuk membuat pesta dan membagi-bagikan barang-barang berharga, Lita tahu mereka akan tetap setia merubung dan menghiburnya.
Suara musik dangdut terdengar sangat keras memecah keheningan malam di rumah yang selalu sepi itu.
Iben yang baru pulang sudah merasa geram melihat rumahnya ramai terlihat sibuk, dan suara musik dangdut menggema sampai di pinggir jalan.
“Sialan! Ini pasti ulah wanita itu lagi.”
Segera setelah memarkir Vespanya di garasi, Iben melangkah memasuki ruang depan.
Kedatangan Iben menjadi perhatian semua yang ada di ruangan i
tu. Masih dengan ransel kuliah di punggung, Iben melangkah menuju buffet di mana tersusun rapi stereo-set lengkap di sana.
Dia meraih remote control yang tergeletak di dekat televisi layar lebar yang sedang menampilkan seorang penyanyi dangdut berjoget sensual dalam satu lagu karaoke.
Iben segera memencet tombol off untuk mematikan musiknya.
Semua orang yang sedang asyik berpesta kebingungan dan mengalihkan perhatian mereka kepada Iben.
Lita mencoba tetap bersikap manis.
Lita melewati kerumunan tamu dan berjalan mendekati Iben yang masih berdiri dengan tatapan mata yang sangat dingin.
“Apa yang kamu lakukan?” Tanya Lita.
“Seharusnya itu jadi pertanyaanku, apa yang kamu lakukan?!”
Lita terdiam, tidak menjawab.
Dia tidak ingin ribut dengan Iben di depan teman-temannya.
Lita tidak ingin teman-temannya tahu bahwa mereka tidak pernah rukun.
”Iben, perkenalkan mereka ini teman-temanku. Teman-teman, ini dia Iben, putraku yang bungsu. Cakep bukan?”
Lita berusaha membangun suasana bersahabat dengan Iben.
Dia lebih mendekat, berdiri di samping Iben, kemudian merangkul lengannya.
Iben bereaksi sebaliknya, tangan Lita yang merangkulnya ditepis, dijauhkan dari pundaknya.
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***