Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)
OPINIJATENG.COM –
Lita bosan dengan suasana rumah yang itu-itu saja.
Dia ingin mengubah dekorasi interior seluruh rumah.
Dia memanggil ahli desain interior dan meminta mereka mendekor ulang rumah itu sesuai selera dan keinginannya.
Mengetahui Lita akan mengubah dekorasi interior seisi rumah, Mbok Siti khawatir.
Mbok Siti tahu persis, hal itu akan kembali menyulut kemarahan Iben, karena desain dekorasi rumah sepenuhnya adalah atas ide dan kreasi Ipo.
Iben tidak pernah suka sesuatu yang berkaitan dengan ibunya diubah oleh siapapun.
Iben akan terus menjaga semua itu sebagai kenangan yang sangat berharga.
“Nyonya maafkan saya…”
“Apa? Aku tidak membutuhkan saranmu.”
Lita memotong bicara Mbok Siti dengan nada ketus.
“Den Iben tidak akan suka dengan perubahan ini.”
Kembali Mbok Siti bicara dengan sedikit ragu-ragu.
“Aku tidak akan memintanya untuk suka. Aku melakukan ini untuk diriku dan suamiku.”
“Tapi dekorasi ini…”
Kalimat Mbok Siti belum selesai sudah terhenti oleh bentakan Lita.
“Apa?! Milik Ipo? Kenapa Ipo, Ipo, dan Ipo saja yang selalu kalian bicarakan. Berhentilah membicarakan orang yang sudah mati.”
“Jaga ucapanmu!”
Tiba-tiba saja terdengar keras bentakan Iben yang ternyata sudah ada di belakang Lita.
Ternyata Iben sudah ikut mendengarkan semua pembicaraan sebelumnya.
Tampaknya itu alasan Mbok Siti tidak melanjutkan kalimatnya tadi.
Dia berhenti bicara bukan karena dipotong oleh Lita, tetapi dia melihat sudah ada Iben di belakang Lita.
Lita melirik tajam pada Mbok Siti karena tidak memberitahukan kedatangan Iben.
Merasa tidak nyaman akhirnya Mbok Siti pamit pergi ke belakang.
“Berhenti bersikap tidak sopan pada ibuku. Dan jangan berani bahkan hanya untuk memikirkan sedikit keburukan tentang ibuku.”
Lita diam. mereka saling tatap penuh kemarahan.
“Perintahkan pada mereka untuk berhenti bekerja!”
Iben menunjuk pada para pekerja yang baru mulai menata ruangan untuk persiapan desain ulang interiornya.
“Tidak akan!”
Lita menjawab dengan nada tinggi, tak mau kalah.
Plaak!
Sebuah tamparan cukup keras mendarat di pipi Lita. Pipi putih itu seketika memerah.
“Jangan pernah ganggu karya ibuku!”
Setelah berkata begitu, Iben langsung meminta para tukang untuk berhenti melakukan pekerjaanya.
Iben memberi mereka uang sebagai ganti rugi tidak jadi bekerja dan meminta mereka mengembalikan semuanya seperti semula.
Berulang kali Lita mengelus pipinya yang merah kena tampar.
Dia merasakan sakit tamparan di pipinya, tapi baru kali ini dia merasakan sakitnya tamparan juga sampai di ulu hatinya.
Sangat sakit dan membuatnya tidak mampu membendung air matanya lagi.
Lita terus saja memegangi pipinya meski yang terasa jauh lebih sakit adalah hatinya.
“Aku tidak percaya kamu berani melakukan ini pada seorang wanita. Jika kamu menganggap ayahmu buruk, hal ini menandakan kamu jauh lebih buruk darinya,” ucap Lita pelan, tapi sangat jelas terdengar di kuping Iben.
Sebenarnya Iben memikirkan hal yang sama.
Dia tidak pernah membayangkan bisa menampar seorang wanita, melakukan kekerasan fisik pada wanita, meskipun wanita itu adalah ibu tiri yang sangat dibencinya.
Yang sebenarnya ingin dia lakukan hanyalah meluapkan semua kemarahannya dan berharap akan hilang setelah menampar Lita, seperti yang sudah dilakukan Theo padanya.
Tapi ternyata itu tidak berpengaruh apa pun.
Tamparan itu tidak meredakan emosinya, tidak menghilangkan kemarahannya, tapi justru menciptakan perasaan baru yaitu merasa bersalah.
“Dan karena kamu penyebab semua masalah ini, maka kamu lebih buruk dariku.”
Iben tetap tidak mau mengakui kesalahannya meski dia merasa bersalah.
Dia berpikir mencari pembenaran bahwa Lita wajar menerima itu karena telah berani mengganggu karya almarhumah ibunya.
“Kenapa aku selalu salah di matamu? Aku sudah berusaha tidak mengusik duniamu tapi apa pun yang aku lakukan tetap saja salah.”
Lita lalu duduk di kursi, pikirannya kacau seperti pasrah dan putus asa.
“Bukankah kamu sudah tahu alasannya? Itu semua karena keberadaanmu di sini adalah kesalahan.”
Iben meninggalkan Lita yang menangis sampai tidak bisa mengucapkan apapun lagi.
Sesaat kemudian, Iben sudah menstarter Vespanya dan pergi keluar entah ke mana.
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***