26.6 C
Central Java
Minggu, 22 Juni 2025

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 57

Banyak Dibaca

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINIJATENG.COM –

Dan jawaban Iben kembali menjadi bahan tertawaan Lita.

“Sudah jangan banyak omong. Sekarang cepat dorong!”

“Yang benar saja!” bentak Lita kesal.

“Kenapa kamu marah?! Aku bukan tukang ojek yang bisa dibentak-bentak. Kamu kan cuma nebeng numpang. Jadi harus mau dorong!”

“No…!”

“Ya sudah. Kamu jalan kaki saja sampai ke rumah. Masih jauh.”

“Kamu ini benar benar…!”

Lita tidak mampu meneruskan kata-katanya.

Dengan terpaksa Lita mendorong motor Iben.

Ini benar-benar siksaan bagi Lita.

Kepalanya masih sedikit pusing.

Tubuhnya masih terasa sakit semua karena benturan waktu kecelakaan tadi.

Sepatunya berhak cukup tinggi, sehingga jalan kaki saja masih terpincang-pincang.

Dan sekarang Iben memaksanya mendorong Vespa mogok…

Sedang Iben tertawa dalam hati.

Kali ini dia benar-benar menang.

BACA JUGA: Menyongsong Hari Ibu : Mewaspadai Bangkitnya Malin Kundang Kembali

Iben tidak pernah menyangka sebelumnya kalau Lita benar benar polos, atau bodoh?

Lita tidak menyadari Iben sedang berbohong tentang motor mogok.

Iben juga heran kenapa Lita tidak menyadari jalan ini adalah jalan yang sama saat dia mengalami kecelakaan tadi?

“Ngomong-ngomong, kenapa tadi kamu mengikutiku?”

Iben bertanya pada Lita, sekaligus memastikan apakah ingatan Lita masih normal pasca benturan kecelakaan tadi.

“Siapa bilang? Aku tidak pernah mengikutimu!

“Okay! Kalau tidak mengaku, aku tidak akan beritahu di mana mobil mahalmu itu.”

“Oke-oke! Aku bosan di rumah.” jawab Lita.

Iben menaikkan sebelah alisnya, seolah ingin jawaban lebih.

Lita melanjutkan kalimatnya, “Aku hanya ingin tahu tempat nongkrongnya anak muda! Sekarang beritahu di bengkel mana mobilku?!”

“Bengkel? Itu mobilmu.” Iben menunjuk ke arah mobil yang masih dalam posisi nungging menabrak tanggul jalan.

“Ibeeeenn…!” Teriak Lita penuh kemarahan.

Dia segera berlari ke arah mobilnya.

“Mana kuncinya, mana kuncinya?!”

“Apa ada barang-barangku yang hilang. Di pinggir jalan seperti ini pasti banyak pencuri!” rengek Lita.

“Tidak perlu berlebihan, mobilmu cuma sedikit penyok dan sedikit lecet.”

“Apaaaaa?!”

BACA JUGA:Gebrakan Jateng Entaskan Kemiskinan Ekstrem

“Jika kamu benar orang kaya, bukan begitu reaksimu,” jawab Iben sambil membuka pintu dan masuk ke dalam mobil.

“Hei! Mau kau bawa ke mana mobilku! Hei, tunggu aku! Aku ikut!!” teriak Lita sambil menggedor-gedor kaca mobil.

Iben menyalakan mesin mobil.

Lalu mengeluarkan mobil dari jebakan tanggul jalan.

Mobil pelan berjalan mundur, berputar arah dan berhenti di tepi jalan dengan arah yang benar.

Lalu Iben keluar dari mobil dan membiarkan pintu tetap terbuka.

Dan mesin mobil pun tetap dalam keadaan menyala hidup.

“Sudah. Pulang sendiri,” kata Iben.

“Tunggu, tunggu!”

“Apalagi?!” jawab Iben kesal.

“Aku tidak tahu jalan pulang.”

“Ya Tuhan, kenapa ada manusia sebodoh ini?”

“Heh! Jaga bicaramu. Aku tidak bodoh. Tapi ayahmu tidak pernah mengizinkanku melihat jalanan. Gorden mobil selalu ditutup kalau sedang pergi dengan ayahmu ataupun sendiri,” jelas Lita panjang lebar.

“Di situlah kebodohanmu! Kamu mau melakukan apapun tanpa tahu tujuan di balik perintah itu.” jawab Iben membuat Lita terdiam untuk mencerna maksud kalimatnya.

“Daerah hutan karet Gunungpati saja tidak tahu. Sudahlah kamu ikuti saja aku, seperti yang kamu lakukan tadi pagi.”

Iben menyalakan mesin Vespanya.

Sekali genjot stang starternya, mesin menggerung hidup.

Dan itu membuat Lita terkejut.

Matanya spontan mendelik ke arah Iben.

“Kamu menipuku! Dasar anak kurang ajar!”

Lita membentak Iben.

BACA JUGA: Telinga Berdenging? Kenali 5 Penyebabnya

Iben tak acuh saja.

Dengan kesal Lita masuk ke mobil dan membanting pintu.

Iben masih nangkring di sadel Vespa.

Dia belum menjalankan Vespanya.

Lita juga sudah siap di belakang setir mobil.

Siap mengikuti di belakang Iben.

Dia masih kesal karena telah ditipu, dibodohi Iben.

“Heh, beri tahu saja jalannya. Jangan harap aku mau mengikuti kamu lagi.”

“Apa kamu tidak berpikir kenapa barang-barangmu tidak hilang? Dasar bodoh, kamu sudah ada di kompleks perumahan orang kaya yang megah dan luas. Kompleks ini sudah memakai sistem pengamanan canggih, sangat sulit ditembus pencuri atau perampok. Orang-orangnya tidak perlu mencuri karena sudah bingung bagaimana cara menghabiskan uang sendiri,” jawab Iben panjang lebar seolah ingin mengatakan betapa sempitnya ruang otak di kepala Lita.

“Kamu yang bodoh, aku tanya arah, bukan mau mendengarkan kesombonganmu.”

“Aku hanya memberi tahu orang yang katanya kaya sejak lahir tapi tidak hapal kompleks perumahan elit. Dari sini lurus saja sampai mentok pertigaan besar. Belok aja ke kanan terus, nanti kamu akan sampai Tugu Muda. Dari sana kamu tentu sudah tahu harus ke mana untuk sampai rumah.”

Lita kesal dan segera tancap gas meninggalkan Iben yang menertawai dirinya.

“Ternyata seperti ini jauh lebih menyenangkan,” gumam Iben tanpa sadar.

BACA JUGA: Asah Kesabaran Merawat Orangtua

Saat Lita sampai rumah dan masuk ke kamarnya dia terkejut karena Theo sudah pulang.

“Dari mana saja kau, kenapa kepalamu? Kok luka berdarah begitu?” Tanya Theo.

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer